26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tersangka Penembak Polisi Alami Penyiksaan, Kontras: Serahkan Diri tapi Malah Ditembak

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan penembakan dan penyiksaan yang dialami Kamiso, tersangka penembak Aiptu Robin Silaban anggota Polsek Medan Barat, kini berbuntut panjang. Pasalnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut resmi mendampingi istri Kamiso, mengadu ke Propam Mabes Polri dengan Nomor: SPSSP2/3245/XI/Bagyanduan tertanggal 13 November 2020.

USAI MENGADU: Istri Kamiso didampingi Staf Kontras Sumut saat mengadu ke Propam Mabes Polri dan Komnas HAM.
USAI MENGADU: Istri Kamiso didampingi Staf Kontras Sumut saat mengadu ke Propam Mabes Polri dan Komnas HAM.

“Kuasa yang kami jalankan berkaitan dengan posisi Kamiso selaku korban dugaan penembakan dan atau penyiksaan. Tidak termasuk dalam konteks mendampingi Kamiso sebagai tersangka,” ujar Staf Advokasi KontraS Sumut, Ali Isnandar, Sabtu (14/11).

Berbekal Surat Kuasa, kata dia, mereka juga membuat laporan ke Komnas HAM, LPSK, dan Ombudsman di Jakarta.

“Pada dasarnya kami selalu mendukung kepolisian dalam mengungkap fakta-fakta kejahatan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk pada kasus Kamiso. Akan tetapi, kami sangat mengecam keras cara-cara penyiksaan yang kerap dilakukan oleh kepolisian pada saat penyelidikan/penyidikan,” tegasnya.

Ali menambahkan, Kontras Sumut juga menemukan keanehan dalam Surat Penangkapan Kamiso yang tertuang dalam Nomor: SP Kap/898/X/RES.16/2020 Reskrim tanggal 28 Oktober 2020.

Dalam Surat Penangkapan itu disebutkan Kamiso ditangkap tanggal 28 Oktober. Sementara yang terjadi Kamiso sudah menyerahkan diri sejak tanggal 27 Oktober. “Kami sangat menolak bahasa polisi yang menggunakan istilah penangkapan pada Kamiso. Istilah tersebut akan mengaburkan fakta yang sebenarnya bahwa Kamiso bukan ditangkap melainkan menyerahkan diri, bahkan sebelum polisi mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan,” jelasnya.

Ali menegaskan, Kontras Sumut akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Dia berharap agar kasus ini dapat diusut secara hukum sehingga memberi rasa keadilan pada korban dan keluarganya.

“Pada dasarnya orang yang sudah ber itikad baik menyerahkan diri tentu karena dia memiliki kesadaran tinggi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Menyerahkan diri juga termasuk bagian dari membantu tugas kepolisian. Karenanya tidak etis jika tetap diperlakukan dengan kasar,” katanya.

Bagaimana tidak, lanjutnya, seseorang yang sudah menyerahkan diri saja tapi tetap diperlakukan sewenang-wenang oleh kepolisian. Jika hal itu yang terjadi, maka semua upaya untuk membangun kesadaran hukum masyarakat selama ini akan menjadi sia-sia.

“Jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian sebagai lembaga yang bertugas menjamin keamanan dan keselamatan warga negara diragukan oleh masyarakat. Oleh karenanya, pelaku harus segera diperiksa dan dihukum dengan seadil-adilnya,” tegasnya lagi.

Sebelumnya, Kamiso terlibat baku tembak dengan Aiptu Robin Silaban di salah satu doorsmeer di Jalan Gagak Hitam, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Selasa (27/10) lalu. Usai kejadian, Kamiso menyerahkan diri ke polisi melalui anggota Polsek Percut Seituan, dengan cara terlebih dahulu menelepon temannya berinisial R.

Melalui telepon, Kamiso meminta R untuk menghubungi polisi berinisial B karena Kamiso berniat menyerahkan diri ke polisi. Kamiso pun memberitahukan lokasi tempat dia berada agar secepatnya dijemput oleh polisi, di mana B merupakan anggota Polsek Percut Seituan.

Menurut R, pasca dia menelepon B, kemudian sekitar pukul 15.00 WIB Kamiso langsung dijemput oleh B bersama seorang rekan seprofesinya. Kamiso dijemput oleh B di depan Mushola Nurul Islam Jalan Komplek Lapangan Desa Sampali untuk diantar menyerahkan diri ke kantor polisi. Dia dibawa menggunakan sepeda motor tanpa diborgol.

Menurut pengakuan Kamiso kepada Kontras Sumut, setelah dibawa ke Polsek Percut Seituan, dia tidak langsung dibawa ke hadapan penyidik. Namun, Kamiso dibawa lagi oleh polisi yang tidak dikenalinya ke suatu tempat yang dia tidak tahu, karena pada saat itu kedua matanya ditutup dan tangannya diborgol ke belakang.

Di tempat itu dia disekap selama dua malam. Tubuhnya ditendang, mulutnya dipukul pakai benda keras. Usai disekap, esok harinya tanggal 29 Oktober dini hari sekitar pukul 01.00 WIB, dia dibawa lagi menggunakan mobil dengan mata tetap ditutup dan tangannya diborgol.

Di pinggir jalan dia diturunkan dan di situlah kedua kakinya ditembak oleh polisi. Kemudian sekitar pukul 17.00 WIB barulah dia d-BAP di Polrestabes Medan tanpa didampingi advokat.

“Penembakan itu cukup membuat Kamiso menderita. Pasalnya, proyektil peluru yang bersarang di kakinya baru diangkat setelah tanggal 10 November lalu, sehingga kian membusuk. Berbeda dengan Aiptu Robin Silaban yang segera mendapat tindakan medis pasca kejadian,” pungkas Ali. (man/azw)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan penembakan dan penyiksaan yang dialami Kamiso, tersangka penembak Aiptu Robin Silaban anggota Polsek Medan Barat, kini berbuntut panjang. Pasalnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut resmi mendampingi istri Kamiso, mengadu ke Propam Mabes Polri dengan Nomor: SPSSP2/3245/XI/Bagyanduan tertanggal 13 November 2020.

USAI MENGADU: Istri Kamiso didampingi Staf Kontras Sumut saat mengadu ke Propam Mabes Polri dan Komnas HAM.
USAI MENGADU: Istri Kamiso didampingi Staf Kontras Sumut saat mengadu ke Propam Mabes Polri dan Komnas HAM.

“Kuasa yang kami jalankan berkaitan dengan posisi Kamiso selaku korban dugaan penembakan dan atau penyiksaan. Tidak termasuk dalam konteks mendampingi Kamiso sebagai tersangka,” ujar Staf Advokasi KontraS Sumut, Ali Isnandar, Sabtu (14/11).

Berbekal Surat Kuasa, kata dia, mereka juga membuat laporan ke Komnas HAM, LPSK, dan Ombudsman di Jakarta.

“Pada dasarnya kami selalu mendukung kepolisian dalam mengungkap fakta-fakta kejahatan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk pada kasus Kamiso. Akan tetapi, kami sangat mengecam keras cara-cara penyiksaan yang kerap dilakukan oleh kepolisian pada saat penyelidikan/penyidikan,” tegasnya.

Ali menambahkan, Kontras Sumut juga menemukan keanehan dalam Surat Penangkapan Kamiso yang tertuang dalam Nomor: SP Kap/898/X/RES.16/2020 Reskrim tanggal 28 Oktober 2020.

Dalam Surat Penangkapan itu disebutkan Kamiso ditangkap tanggal 28 Oktober. Sementara yang terjadi Kamiso sudah menyerahkan diri sejak tanggal 27 Oktober. “Kami sangat menolak bahasa polisi yang menggunakan istilah penangkapan pada Kamiso. Istilah tersebut akan mengaburkan fakta yang sebenarnya bahwa Kamiso bukan ditangkap melainkan menyerahkan diri, bahkan sebelum polisi mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan,” jelasnya.

Ali menegaskan, Kontras Sumut akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Dia berharap agar kasus ini dapat diusut secara hukum sehingga memberi rasa keadilan pada korban dan keluarganya.

“Pada dasarnya orang yang sudah ber itikad baik menyerahkan diri tentu karena dia memiliki kesadaran tinggi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Menyerahkan diri juga termasuk bagian dari membantu tugas kepolisian. Karenanya tidak etis jika tetap diperlakukan dengan kasar,” katanya.

Bagaimana tidak, lanjutnya, seseorang yang sudah menyerahkan diri saja tapi tetap diperlakukan sewenang-wenang oleh kepolisian. Jika hal itu yang terjadi, maka semua upaya untuk membangun kesadaran hukum masyarakat selama ini akan menjadi sia-sia.

“Jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian sebagai lembaga yang bertugas menjamin keamanan dan keselamatan warga negara diragukan oleh masyarakat. Oleh karenanya, pelaku harus segera diperiksa dan dihukum dengan seadil-adilnya,” tegasnya lagi.

Sebelumnya, Kamiso terlibat baku tembak dengan Aiptu Robin Silaban di salah satu doorsmeer di Jalan Gagak Hitam, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan, Selasa (27/10) lalu. Usai kejadian, Kamiso menyerahkan diri ke polisi melalui anggota Polsek Percut Seituan, dengan cara terlebih dahulu menelepon temannya berinisial R.

Melalui telepon, Kamiso meminta R untuk menghubungi polisi berinisial B karena Kamiso berniat menyerahkan diri ke polisi. Kamiso pun memberitahukan lokasi tempat dia berada agar secepatnya dijemput oleh polisi, di mana B merupakan anggota Polsek Percut Seituan.

Menurut R, pasca dia menelepon B, kemudian sekitar pukul 15.00 WIB Kamiso langsung dijemput oleh B bersama seorang rekan seprofesinya. Kamiso dijemput oleh B di depan Mushola Nurul Islam Jalan Komplek Lapangan Desa Sampali untuk diantar menyerahkan diri ke kantor polisi. Dia dibawa menggunakan sepeda motor tanpa diborgol.

Menurut pengakuan Kamiso kepada Kontras Sumut, setelah dibawa ke Polsek Percut Seituan, dia tidak langsung dibawa ke hadapan penyidik. Namun, Kamiso dibawa lagi oleh polisi yang tidak dikenalinya ke suatu tempat yang dia tidak tahu, karena pada saat itu kedua matanya ditutup dan tangannya diborgol ke belakang.

Di tempat itu dia disekap selama dua malam. Tubuhnya ditendang, mulutnya dipukul pakai benda keras. Usai disekap, esok harinya tanggal 29 Oktober dini hari sekitar pukul 01.00 WIB, dia dibawa lagi menggunakan mobil dengan mata tetap ditutup dan tangannya diborgol.

Di pinggir jalan dia diturunkan dan di situlah kedua kakinya ditembak oleh polisi. Kemudian sekitar pukul 17.00 WIB barulah dia d-BAP di Polrestabes Medan tanpa didampingi advokat.

“Penembakan itu cukup membuat Kamiso menderita. Pasalnya, proyektil peluru yang bersarang di kakinya baru diangkat setelah tanggal 10 November lalu, sehingga kian membusuk. Berbeda dengan Aiptu Robin Silaban yang segera mendapat tindakan medis pasca kejadian,” pungkas Ali. (man/azw)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/