SUMUTPOS.CO – Mawar, bocah 11 tahun asal Jakarta Timur yang ditinggal orangtuanya di Bandara Kuala Namu karena menolak melayani pria hidung belang, masih dalam perlindungan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan. Saat ini pihak PKPA masih berusaha memulihkan arasa trauma Mawar yang tak hanya mendapat siksaan fisik, tapi nyaris juga dijadikan pelacur oleh ayah kandung dan ibu tirinya.
Hal ini diakui salah seorang pegawai PKPA yang ditemui kru koran ini di kantornya, Jl. Abdul Hakim, Pasar I, Setia Budi, Medan Selayang, Rabu (20/11) siang.
“Melindungi anak malang seperti Mawar ini sudah menjadi tanggungjawab dan tugas kami. Saat ini kami masih berusaha memulihkan rasa traumanya. Bukan hanya Mawar saja, banyak lagi anak-anak lain yang mengalami nasib yang sama. Mereka juga menjadi korban perdagangan manusia yang dilakukan pihak yang tak bertanggung jawab,” ujar wanita yang mengenakan jilbab hitam itu.
Ditambahkan wanita yang minta namanya dirahasiakan itu, melindungi dan menyelamatkan anak-anak dari ketidak adilan adalah tujuan utama PKPA. “Kita akan mengembalikan hak-hak mereka yang telah dihancurkan oleh pihak tak bertanggung jawab. Karena itu, kami minta polisi segera menangkap dan menghukum berat pelaku,” tandasnya.
Terpisah, Wakapolsek Patumbak AKP T Niari Sinaga yang ditemui di ruang kerjanya mengaku, untuk mengusut kasus ini pihaknya telah berkordinasi dengan Polda dan Polresta Medan. “Saya rasa bukan manusia orangtuanya itu. Masak anak sendiri yang masih bocah gitu mau dijadikan pelacur. Pelaku ini sangat keji, jadi harus ditindak tegas,” kata Niari.
Dari hasil penyelidikan, Jampang Ginting (40) dan ibu tirinya Kasiana (38) tak hanya berniat menjual korban, tapi ijazah SD korban juga dikoyak. Korban sudah menyelesaikan pendidikannya di SD Negeri Ciputat, tapi ijazah bocah malang itu telah dikoyak oleh ibu tirinya. Itu ia lakukan karena tak mau mengeluarkan biaya sekolah korban. “Anak ini memang selalu merasakan penderitaan setelah dirinya ditinggal mati oleh ibu kandungnya, Elita. Dia terus minta sekolah, makanya ditinggal,” ujar Niari. Karena itu, pihaknya berjanji akan segera menangkap orangtua korban.
“Tapi bukan personel kita, melainkan Polresta Medan dan Poldasu yang akan menanganinya. Pasalnya kita tak punya Unit PPA,” tukasnya. Sekedar mengingatkan, Mawar sengaja dibawa orangtuanya dari Jakarta untuk dijual pada pria hidung belang di Medan. Karena menolak dijadikan pelacur, Mawar akhirnya ditinggal begitu saja di Bandara Kuala Namu. Tak tau harus pergi kemana lagi, bocah malang asal Jakarta Timur itu sempat seharian terlunta-lunta. Bahkan, sebelum ditolong dan diserahkan warga ke kantor polisi, korban juga nyaris diperkosa seorang sopir angkot.
SEPARUH KEKERASAN PADA ANAK KEJAHATAN SEKSUAL
Dari Januari-Oktober 2013, ada 2.792 kasus pelanggaran hak anak dan 1.424 di antaranya merupakan kasus kekerasan. Separuh dari 1.424 kasus kekerasan adalah kejahatan seksual.
“(Kita) Perang terhadap kejahatan seksual terhadap anak,” ujar Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait.
Arist mengatakan itu dalam jumpa pers Hari Anak Universal 2013 ke-24 yang ditetapkan oleh PBB dengan tema ‘Mewujudkan Indonesia Bebas Kekerasan terhadap Anak’ di kantor Komnas PA di Jl TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (20/11).
Menurut Arist, kejahatan seksual ini harus menjadi isu bersama untuk melawan kejahatan seksual. Indonesia berkewajiban untuk melapor secara berkala karena sudah terikat konsensi PBB tentang hak anak.
Di tempat yang sama, Sekjen Komnas PA, Samsul Ridwan memaparkan, dari 1.424 kasus kekerasan anak selama Januari-Oktober 2013, 452 merupakan kasus kekerasan fisik, 730 kasus kekerasan seksual, dan 242 kekerasan psikis.
“52 Persen dari 1.424 kasus kekerasan anak yang masuk ke Komnas Anak adalah kasus kejahatan seksual. Kita tahu kasus kematian RI, anak kelas 5 SD yang diduga mengalami kekerasan seksual berulang kali. Ada juga bayi 9 bulan, yang meninggal dunia akibat virus yang ditularkan pamannya akibat kekerasan seksual,” kata Samsul.
Samsul menambahkan, kasus kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan terdekat anak. Dari 1.424 kasus, 650 kasus dilakukan oleh keluarga korban.
“Pemerintah tidak bisa hanya menyalahkan orangtua. Perlindungan anak harus diberikan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah. Negara harus mengambil peran untuk menguatkan keluarga,” ucap Samsul.(cr-1/deo/net/bbs)