Site icon SumutPos

Dirut Atakana Abdul Karim Resmi jadi DPO

Kredit fiktif-Ilustrasi
Kredit fiktif-Ilustrasi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kepolisian Daerah (Polda) Sumut terpaksa menyematkan identitas Dirut PT. Atakana Company, Muhammad AKA alias Muhammad Abdul Karim, dalam daftar pencarian orang (DPO). AKA secara resmi ditetapkan status DPOnya berdasarkan surat No: DPO/83/IV/2016/Ditreskrimum yang ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Kombes Pol Dono Indarto per tanggal 08 April 2016.

Dalam surat DPO yang dilengkapi foto tersebut, Polda Sumut menyebutkan ciri-ciri lengkap AKA. Selain bertubuh tambun, pengusaha perkebunan sawit itu juga dijelaskan berkulit sawo matang, berambut ikal pendek, tinggi sekitar 165 cm dengan berat kurang lebih 80 kg, mata bulat kecil, hidung sedang dan bibir tipis. AKA pun disebut tercatat sebagai warga Jalan Rajawali No. 91 A, Kelurahan Sei Sikambing B, Kecamatan Medan Sunggal.

AKA dinyatakan menghilang dan tak lagi menempati kediamannya lantaran perkara pidana menyuruh/menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik dan atau penipuan, sebagaimana muatan Pasal 266 jo Pasal 378 KUH Pidana. Perkara ini disidik Polda Sumut berdasarkan laporan pengusaha Harbindar Singh tanggal 20 Januari 2012. Dan, laporan ini diregistrasi oleh Ditreskrimum Polda Sumut dengan No: LP/46/I/2012/SPKT III.

Lewat keterangan yang pernah dirilis berbagai media pada medio 2015 lalu, Harbindar Singh mengaku menderita kerugian lebih dari Rp 4 miliar akibat ulah AKA. Menurutnya, AKA selama ini telah menipu banyak orang dan meraup keuntungan ilegal ratusan miliar rupiah.

“Korban lain, Boy Hermansyah mengalami kerugian Rp 103 miliar. Sebenarnya tahun 2012 lalu AKA sudah ditetapkan tersangka kasus penipuan dan penggelapan oleh Polresta Kota Medan. Tapi karena ada intervensi anggota Komisi III DPR RI, kasusnya mengendap,” ujar Harbindar Singh.

Ia mengungkap, penipuan dilakukan AKA dengan modus penjualan kebun sawit maupun saham yang dimilikinya di PT. Atakana Company.

Boy Hermansyah cukup populer di telinga publik Sumatera Utara maupun Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Nama pengusaha skala internasional ini kerap menghiasi media massa lantaran kasus dugaan kredit fiktif yang disidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu). Ternyata, kasus kredit fiktif yang mendera Boy juga bermula dari jerat tipu AKA.

Pada 12 Agustus 2010, PT Balai Lelang Star mengirimkan surat jadwal pelelangan kebun kelapa sawit milik PT Atakana Company. Ini lantaran perusahaan tersebut mempunyai kredit macet tingkat kolektibilitas 5 di Bank BNI 46 Medan.

PT Atakana Company selanjutnya mengirimkan surat ke BNI untuk memohon pembatalan lelang, dengan alasan akan menjual sendiri kebunnya. Perusahaan itu menyebut Boy Hermansyah sebagai pengusaha yang menunjukkan minat serius membeli.

AKA kemudian terus membujuk Boy agar mau membeli kebun sawit seluas 3.455 hektar di Desa Brandang, Kecamatan Rantau Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, NAD, itu dengan harga Rp 115 miliar. Setelah tiga kali menolak, Boy akhirnya bersedia membeli. Boy membayar uang muka dengan uang sendiri sebesar Rp34 miliar.

Guna melunasi pembayaran, Boy selaku Direktur PT. Bahari Dwi Kencana Lestasi (PT. BDKL), mengajukan permohonan kredit pada BNI Medan. Pihak bank menyetujui fasilitas kredit kepada PT. BDKL sebesar Rp129 miliar, dengan agunan sembilan aset bernilai total Rp300 miliar, termasuk sertifikat HGU Nomor 102/18 Juni 1996 atas kebun sawit seluas 3.455 yang dibelinya dari PT. Atakana Company.

Berdasarkan persetujuan ini, kredit macet PT. Atakana Company di BNI Medan sebesar Rp61 miliar dibayar lunas melalui pola auto debet.

Dengan pelunasan kredit macet plus uang muka, Boy sudah membayar pembelian Rp103 miliar. Sisa Rp 12 miliar, sesuai kesepakatan akan diselesaikan setelah terjadi balik nama sertifikat HGU kebun sawit dari atas nama PT. Atakana Company menjadi PT. BDKL. Akuisisi kebun itu disetujui seluruh pemegang saham PT. Atakana Company. Proses akuisisi tersebut juga dicatat dalam akta Nomor 3 dan akta Nomor 14 yang dibuat notaris Diana Uli pada 16 November 2010.

Saat Boy mengurus proses balik nama sertifikat HGU kebun sawit yang dibelinya, AKA justru membuat surat pemblokiran. Surat yang dikirim ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu dibuat resmi berkop PT. Atakana Company, dengan Nomor: 017/III/ATAKANA/2011 tanggal 1 Maret 2011, yang ditandatangani sendiri oleh AKA.

Tak hanya itu, AKA juga membuat laporan ke Polda Aceh dan Polda Sumut, yang intinya tidak mengakui adanya proses jual beli atas kebun sawit tersebut. Motifnya tak lain untuk merebut kembali kebun sawit dari tangan Boy Hermansyah.

Waktu terus berjalan, de facto kebun sawit pun benar-benar dikuasai kembali oleh AKA. Di sisi lain, kasus jual-beli ini menggelinding dan membesar bak bola salju. Perikatan kredit antara PT. BDKL dan BNI 46 Medan pun berubah menjadi kasus kredit fiktif senilai Rp129 miliar.

Kuasa Hukum PT. BDKL Ramli Tarigan, SH. mengatakan pihaknya sangat berharap polisi dapat segera menangkap AKA. Sebab, AKA merupakan oknum yang paling bertanggungjawab atas kisruh hukum dari perikatan kredit PT. BDKL dengan BNI 46. “Dengan ditangkapnya AKA, dapat dipastikan persoalan jadi terang secara hukum, bahwa yang dilakukan oleh PT. BDKL adalah akuisisi perusahaan dan pengajuan kredit yang lazim di dunia bisnis,” ujar Ramli saat dimintai tanggapan terkait buronnya AKA, Minggu (22/5). (gib/deo)

Exit mobile version