MEDAN, SUMUTPOS.CO – Prof Sumadio Hadisaputra Apt, akhirnya angkat bicara perihal status tersangka yang ditetapkan Kejaksaan Agung (Kejagung) kepadanya. Namun, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU) itu mengaku tidak mengetahui bahwa dirinya dinyatakan sebagai tersangka. Dan dia pun lebih banyak diam saat wawancara.
Sepata dua kata yang dia ucapkan tak lebih soal status dugaan tersangka yang diberika Kejagung. “Belum, saya belum ada terima pemberitahuan soal itu (penetapan tersangka),” katanya saat ditemui Sumut Pos di Fakultas Farmasi USU Jalan Tridaharma Komplek USU Medan, Rabu (23/7).
Dia pun tampak gugup kala disambangi siang kemarin. Mulutnya kikuk menjawab konfirmasi. Jari-jari tangannya terlihat bergetar. Bahasa tubuhnya begitu kaku dengan raut wajah yang gugup. “Saya tidak tahu soal itu,” ulangnya lagi.
Ditanya apakah ia pernah diperiksa oleh tim Kejagung perihal temuan BPK RI terhadap indikasi korupsi di fakultasnya, ia juga enggan berkomentar banyak. “Kalau soal itu tanya saja ke universitas (Biro Rektor USU),” kata Sumadio.
Malah, Prof Sumadio menolak keras wartawan memberitakan soal indikasi korupsi di Fakultas Farmasi USU. “Sudahlah untuk apa dimuat. Biasa itu, diamkan saja,” ujarnya.
Disinggung dengan sikap penolakannya yang tak ingin diberitakan seakan mengindikasikan keterlibatan dirinya dalam kasus tersebut, Sumadio buru-buru menyanggah hal dimaksud. “Enggak, belum ada saya diperiksa. Ngapain dimuat juga dimuat, buat pusing,” katanya dengan nada memelas.
Dia kembali menekankan, bahwa Kejagung sampai saat ini belum memberi tahu perihal penetapan dirinya sebagai tersangka atas kasus tersebut. “Makanya enggak usah dimuatlah. Bisa bikin imej kita jelek itu,” tuturnya.
Dikonfirmasi soal temuan BPK dimana terdapat pekerjaan tiang pancang dan urugan tanah terhadap pembangunan gedung Fakultas Farmasi tidak sesuai kontrak sebesar Rp1.339.021.854,00 pada TA 2010, Prof Sumadio berdalih dengan mengatakan tidak mengetahui persoalan tersebut. “Oh enggak tahu saya. Untuk lebih jelas tanya saja ke universitas (biro rektor),” sebutnya.
Pun begitu saat disinggung posisi atau letak dari tiang pancang di fakultas tersebut, ia hanya bergeming alias tak menjawab.
Seperti diketahui, berdasarkan LHP BPK RI 2011 atas Pengadaan Barang dan Jasa Tahun Anggaran 2008, 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara (USU), dimana pada temuan pemeriksaan itu terdapat pekerjaan tiang pancang dan urugan tanah terhadap pembangunan gedung Fakultas Farmasi tidak sesuai kontrak sebesar Rp1.339.021.854,00. Pada TA 2010, USU melalui DIPA Nomor: 0512.0/999-06.1/2009 tanggal 7 Mei 2009 memperoleh alokasi anggaran BA 999-06 sebesar Rp46.156.579.000,00 yang digunakan untuk pekerjaan pembangunan gedung Fakultas Farmasi USU dan pengadaan alat kesehatan.
Pekerjaan pembangunan gedung dan pengadaan alat kesehatan Fakultas Farmasi dilaksanakan oleh PT Sige Sinar Gemilang-PT Borisdo Jaya (joint operating) sesuai Surat Perjanjian Nomor: 09/FARMASI/SP/X/2009 tanggal 17 Oktober 2009 senilai Rp42.142.020.000,00, dengan jangka waktu pekerjaan selama 68 hari atau berakhir pada 23 Desember 2009.
Anehnya, sampai dengan berakhirnya pemeriksaan, tim BPK RI tidak memperoleh data pemancangan maupun berita acara pemancangan dari konsultan manajemen konstruksi maupun kontraktor pelaksana. Dengan kondisi tersebut tidak dapat diketahui berapa titik maupun panjang pemancangan senyatanya dan berdasarkan penjelasan tertulis kontraktor pelaksana diketahui pekerjaan pemancangan tersebut diserahkan kepada pihak lain. Atas hal tersebut PPK menjelaskan tidak pernah menerima berita acara tiang pancang kalendering pemancangan dari kontraktor pelaksana maupun konsultan manajemen konstruksi.
Seperti diberitakan Sumut Pos, sebelum Tim Kejagung turun ke USU beberapa waktu lalu, penyidik KPK sempat berniat memeriksa 16 rektor yang terkait dengan proyek perusahaan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Dalam laporan keuangan grup Permai milik Nazaruddin itu pula ditemukan adanya aliran uang ke Dekan Farmasi USU Prof Dr Sumadio Hadisaputra.
Hanya saja langkah Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK) itu sempat mendapat penolakan dari berbagai universitas. Paling keras menolak adalah pihak Universitas Udayana, Bali. Penyidikan itu bermula dari temuan dugaan sejumlah aliran dana dari perusahaan Nazaruddin ke sejumlah petinggi universitas negeri di berbagai tempat.
Aliran dana tersebut tercatat dalam laporan keuangan group Permai milik Muhammad Nazaruddin. Dalam dokumen yang diperoleh, sejumlah rektor, dekan, dan pejabat pembuat komitmen di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tercatat menerima aliran dari PT Anak Negeri yang merupakan perusahaan di bawah payung grup Permai milik Nazaruddin.
Dokumen yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Yulianis, mantan Direktur Keuangan PT Anak Negeri, terungkap bahwa PT Anak Negeri memenangkan proyek di sejumlah universitas. Dalam dokumen itu pula muncul deretan panjang daftar pihak yang diduga menerima dana dari perusahaan milik tersangka kasus korupsi Hambalang tersebut.
Di situ ada catatan keuangan untuk Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Sumadio Hadisaputra. Dalam dokumen tertulis laporan: “Biaya support u/ Calon PPK USU via Transfer ke Rek. Mandiri a/n Prof. Dr. Sumadio tgl 3-12-08 (Pengajuan Syarifah). Uang dr Kas Yuli dengan nilai Rp10 juta.”
Dan ketika hal itu dikonfirmasi ulang, sang profess bak menjelma menjadi ‘Mr Bungkam’. (prn/rbb)