29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Soal Majelis Hakim PN Bekasi Dilapor ke Bawas MA; Mediasi Sudah Gagal, tak Wajar Hakim Tolak Gugatan Cerai

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Klas IA Khusus Bekasi yang menolak gugatan cerai, dinilai kurang etis atau tidak wajar. Pasalnya dalam perkara itu, proses mediasi sudah gagal dilakukan oleh kedua belah pihak.

Hal ini dikatakan praktisi hukum Kota Medan, Jonson David Sibarani kepada wartawan, Rabu (24/11), terkait Majelis Hakim PN Klas IA Khusus Bekasi yang dilaporkan ke Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung RI, KY, dan Ketua MA.

Menurut Jonson David Sibarani yang juga tokoh Batak, kalau mengenai lembaga adat Batak Dalihan Natolu yang dijadikan hakim sebagai dasar untuk menolak gugatan cerai, hal itu sudah keliru karena masuk kategori hukum adat bukan hukum positif.

Memang, kata David menambahkan, masyarakat Batak sangat kental dengan prinsip atau istilah “Dalihan Natolu”, tapi jangan dijadikan sebagai dasar untuk menunda para pihak yang ingin bercerai ke pengadilan sebab bertolak belakang dengan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975, ujarnya.

Kemudian sambung David, kalau memang upaya dari pihak Dalihan Natolu sudah gagal, ya silahkan tempuh ke pengadilan. “Saya sepakat itu Perkawinan Batak Nasrani adalah penggabungan Hukum Adat, Hukum Agama dan Hukum Positif (negara). Maka ada baiknya tetap menggunakan ketiga hukum itu saat mau cerai,” ucapnya.

“Kalau sudah ditempuh dan hakim masih menolak, ya sudah tidak wajarlah. Jadi, sah-sah saja jika ada pihak yang melaporkan hakim. Itu hak para pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan,” tegasnya lagi.

Praktisi hukum yang berkantor Hukum Metro di Kota Medan Jl Yos Sudarso Km 7,2 ini menambahkan, jika ada klien mereka orang Batak Nasrani yang ingin bercerai, mereka selalu menganjurkan harus menempuh proses mediasi secara hukum adat terlebih dahulu, kemudian baru melanjutkan menempuh hukum positif (negara). “Dalihan Natolu itu beda-beda di tiap-tiap keluarga dan marga,” tandasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Law Office Raja Tahan Panjaitan SH dan Partners melaporkan tiga hakim PN Bekasi, Ranto Indra Karta, Abdul Rofik dan Rakhman Rajagukguk ke Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung dan ke Badan Pengawasan MA RI. Laporan tersebut, karena patut diduga dalam penanganan perkara perdata nomor: 564/Pdt.G/2020/PN.Bks melakukan pelanggaran kode etik.

Kepada wartawan dalam press rilisnya, Selasa (23/11), menyatakan selaku Kuasa Hukum dari Penggugat dalam perkara Gugatan Cerai di Pengadilan Negeri Bekasi Kelas 1A Khusus tersebut, LAW OFFICE RAJA TAHAN PANJAITAN, SH & PARTNERS melaporkannya.

Bahwa patut diduga ketiga majelis hakim yang memeriksa dan menangani perkara a qou dalam putusannya terkesan menunjukkan dan melakukan perbuatan “Abuse Of Power” (penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk penyimpangan jabatan atau pelanggaran resmi);

Adapun “Abuse Of Power” yang dilakukan oleh majelis hakim menurut hemat penasehat hukum ‘JS’ selaku principal yakni sebagai berikut: sebelum pemeriksaan pokok dilakukan, upaya mediasi sesuai aturan PERMA Nomor : 01 Tahun 2016 sudah terlebih dahulu ditempuh, namun mengalami jalan buntu atau tidak berhasil (deadlock);

Kemudian seiring berjalan pemeriksaan pokok perkara, majelis hakim masih berusaha dan berupaya untuk mendamaikan dengan berbagai cara, namun tetap gagal dan mengalami kebuntuan;

Selanjutnya, selama pemeriksaan perkara, majelis hakim mengabaikan azas peradilan yang baik (azas pemeriksaan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana amanat pasal 2 (dua) ayat 4 (empat) UU RI No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) karena mengikuti permintaan Tergugat untuk menunda-nunda pemeriksaan saksi Penggugat yang diketahui keberadaannya datang dari luar Bekasi (Pekan Baru, Sumatera);

Lalu dalam putusannya, majelis hakim terkesan tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada karena menyebut, gugatan Penggugat premature dan tidak dapat diterima dengan alasan pertimbangan hukum bahwa Penggugat dan Tergugat adalah orang Batak, dimana menurut adat batak perceraian adalah cacat besar bagi keluarga besar sehingga harus terlebih dahulu melibatkan lembaga adat batak yang bernama DALIHAN NATOLU untuk menyelesaikan masalahnya. (rel/adz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Klas IA Khusus Bekasi yang menolak gugatan cerai, dinilai kurang etis atau tidak wajar. Pasalnya dalam perkara itu, proses mediasi sudah gagal dilakukan oleh kedua belah pihak.

Hal ini dikatakan praktisi hukum Kota Medan, Jonson David Sibarani kepada wartawan, Rabu (24/11), terkait Majelis Hakim PN Klas IA Khusus Bekasi yang dilaporkan ke Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung RI, KY, dan Ketua MA.

Menurut Jonson David Sibarani yang juga tokoh Batak, kalau mengenai lembaga adat Batak Dalihan Natolu yang dijadikan hakim sebagai dasar untuk menolak gugatan cerai, hal itu sudah keliru karena masuk kategori hukum adat bukan hukum positif.

Memang, kata David menambahkan, masyarakat Batak sangat kental dengan prinsip atau istilah “Dalihan Natolu”, tapi jangan dijadikan sebagai dasar untuk menunda para pihak yang ingin bercerai ke pengadilan sebab bertolak belakang dengan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975, ujarnya.

Kemudian sambung David, kalau memang upaya dari pihak Dalihan Natolu sudah gagal, ya silahkan tempuh ke pengadilan. “Saya sepakat itu Perkawinan Batak Nasrani adalah penggabungan Hukum Adat, Hukum Agama dan Hukum Positif (negara). Maka ada baiknya tetap menggunakan ketiga hukum itu saat mau cerai,” ucapnya.

“Kalau sudah ditempuh dan hakim masih menolak, ya sudah tidak wajarlah. Jadi, sah-sah saja jika ada pihak yang melaporkan hakim. Itu hak para pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan,” tegasnya lagi.

Praktisi hukum yang berkantor Hukum Metro di Kota Medan Jl Yos Sudarso Km 7,2 ini menambahkan, jika ada klien mereka orang Batak Nasrani yang ingin bercerai, mereka selalu menganjurkan harus menempuh proses mediasi secara hukum adat terlebih dahulu, kemudian baru melanjutkan menempuh hukum positif (negara). “Dalihan Natolu itu beda-beda di tiap-tiap keluarga dan marga,” tandasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Law Office Raja Tahan Panjaitan SH dan Partners melaporkan tiga hakim PN Bekasi, Ranto Indra Karta, Abdul Rofik dan Rakhman Rajagukguk ke Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung dan ke Badan Pengawasan MA RI. Laporan tersebut, karena patut diduga dalam penanganan perkara perdata nomor: 564/Pdt.G/2020/PN.Bks melakukan pelanggaran kode etik.

Kepada wartawan dalam press rilisnya, Selasa (23/11), menyatakan selaku Kuasa Hukum dari Penggugat dalam perkara Gugatan Cerai di Pengadilan Negeri Bekasi Kelas 1A Khusus tersebut, LAW OFFICE RAJA TAHAN PANJAITAN, SH & PARTNERS melaporkannya.

Bahwa patut diduga ketiga majelis hakim yang memeriksa dan menangani perkara a qou dalam putusannya terkesan menunjukkan dan melakukan perbuatan “Abuse Of Power” (penyalahgunaan kekuasaan, dalam bentuk penyimpangan jabatan atau pelanggaran resmi);

Adapun “Abuse Of Power” yang dilakukan oleh majelis hakim menurut hemat penasehat hukum ‘JS’ selaku principal yakni sebagai berikut: sebelum pemeriksaan pokok dilakukan, upaya mediasi sesuai aturan PERMA Nomor : 01 Tahun 2016 sudah terlebih dahulu ditempuh, namun mengalami jalan buntu atau tidak berhasil (deadlock);

Kemudian seiring berjalan pemeriksaan pokok perkara, majelis hakim masih berusaha dan berupaya untuk mendamaikan dengan berbagai cara, namun tetap gagal dan mengalami kebuntuan;

Selanjutnya, selama pemeriksaan perkara, majelis hakim mengabaikan azas peradilan yang baik (azas pemeriksaan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana amanat pasal 2 (dua) ayat 4 (empat) UU RI No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) karena mengikuti permintaan Tergugat untuk menunda-nunda pemeriksaan saksi Penggugat yang diketahui keberadaannya datang dari luar Bekasi (Pekan Baru, Sumatera);

Lalu dalam putusannya, majelis hakim terkesan tidak berdasar hukum dan cenderung mengada-ada karena menyebut, gugatan Penggugat premature dan tidak dapat diterima dengan alasan pertimbangan hukum bahwa Penggugat dan Tergugat adalah orang Batak, dimana menurut adat batak perceraian adalah cacat besar bagi keluarga besar sehingga harus terlebih dahulu melibatkan lembaga adat batak yang bernama DALIHAN NATOLU untuk menyelesaikan masalahnya. (rel/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/