25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

KPK Diminta Telusuri Transaksional Aset Negara

MEDAN,SUMUTPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Penelusuran Aliran Transaksi Keuangan (PPATK) diminta menelusuri aliran dana dari transaksi kasus penjualan lahan HGU PTPN II. Kuat dugaan, lahan yang terletak di Jalan Pancing Medan itu dijual oleh beberapa pemegang saham PT PSP.

“KPK bisa melakukan supervisi atas kasus yang sedang ditangani kejaksaan bila kasus ini menyangkut dugaan pencucian uang. Kasus hukum dari dugaan transaksional penjualan aset negara ini, tidak bisa berhenti begitu saja,” ujar Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (Marak), Agus Yohanes, Senin (24/9).

“Meski orang bersangkutan seperti HH dan SH (pemegang saham nomine) di PT PSP, mengikuti program tax amnesty,” sambungnya.

Agus menegaskan, pengampunan pajak yang merupakan bagian dari program pemerintah tersebut, bukan serta merta bisa dimanfaatkan oleh pelaku pencucian uang dari kasus kejahatan yang sudah dilakukan.

Tax amnesty justru bukan untuk melegalkan kasus pencucian hukum agar tidak bisa dijerat pidana, apalagi penjualan aset negara.

“Bila ada orang yang beranggapan bahwa pelaku dalam penjualan lahan negara tidak bisa diproses hukum karena sudah mengikuti tax amnesty, itu merupakan kesalahan besar. Tidak ada alasan untuk menghentikan perkara tersebut. Namun, kita masih berkeyakinan bahwa kejaksaan masih profesional dan melakukan pendalaman dari kasus penjualan lahan negara yang sedang ditangani itu,” katanya.

“Sebagian dari masyarakat mungkin belum mengetahui, bahwa program tax amnesty itu bukan untuk menutupi kejahatan. Untuk kasus pencucian uang dari penjualan aset negara tersebut, ada baiknya ditangani langsung oleh lembaga antikorupsi. Sehingga, penanganan kasusnya tidak memakan waktu yang lama,” ungkapnya.

Informasi diperoleh, HH yang merupakan salah satu pemegang saham nomine di PT PSP, sudah menjalani pemeriksaan di gedung Kejaksaan Tinggi Sumut, Jumat (21/9) lalu.

Namun, SH yang juga merupakan pemegang saham nomine di perusahaan tersebut, belum memenuhi surat panggilan kedua oleh kejaksaan.

“Kejati Sumut bisa melakukan upaya paksa jika SH tidak memenuhi panggilan kedua. Upaya paksa ini bisa dilakukan kejaksaan bila orang bersangkutan tidak memberikan alasan tidak bisa hadir,” kata Agus.

Beredar kabar, SH sedang berada di Australia. Belum diketahui, SH pergi ke luar negeri setelah kasus ini muncul atau belum.

“Tidak hadir di panggilan kedua maka itikad baiknya dalam menghormati hukum sangat patut dipertanyakan,” tegas Agus.

Sebelumnya, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, Sumanggar Siagian mengaku, kejaksaan masih melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket) dari kasus dugaan penjualan aset negara tersebut. Namun, Sumanggar mengaku belum memonitor perkembangan dari penanganan kasus itu.

Seperti yang diketahui, beberapa petinggi PT PSP diperiksa penyidik kejaksan tinggi. Kasus ini berawal dari jual-beli lahan seluas sekitar 3,3 hektare (Ha) di Desa Sampali. Tidak jauh dari Rumah Sakit Haji Medan.

Penjualan lahan dengan nilai Rp40 Miliar di tahun 2016 itu, mengandalkan surat tanah dari kecamatan. Lahan itu ternyata milik dari PTPN II yang masa hak guna usaha (HGU) berakhir di tahun 2023.(azw/ala)

MEDAN,SUMUTPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Penelusuran Aliran Transaksi Keuangan (PPATK) diminta menelusuri aliran dana dari transaksi kasus penjualan lahan HGU PTPN II. Kuat dugaan, lahan yang terletak di Jalan Pancing Medan itu dijual oleh beberapa pemegang saham PT PSP.

“KPK bisa melakukan supervisi atas kasus yang sedang ditangani kejaksaan bila kasus ini menyangkut dugaan pencucian uang. Kasus hukum dari dugaan transaksional penjualan aset negara ini, tidak bisa berhenti begitu saja,” ujar Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (Marak), Agus Yohanes, Senin (24/9).

“Meski orang bersangkutan seperti HH dan SH (pemegang saham nomine) di PT PSP, mengikuti program tax amnesty,” sambungnya.

Agus menegaskan, pengampunan pajak yang merupakan bagian dari program pemerintah tersebut, bukan serta merta bisa dimanfaatkan oleh pelaku pencucian uang dari kasus kejahatan yang sudah dilakukan.

Tax amnesty justru bukan untuk melegalkan kasus pencucian hukum agar tidak bisa dijerat pidana, apalagi penjualan aset negara.

“Bila ada orang yang beranggapan bahwa pelaku dalam penjualan lahan negara tidak bisa diproses hukum karena sudah mengikuti tax amnesty, itu merupakan kesalahan besar. Tidak ada alasan untuk menghentikan perkara tersebut. Namun, kita masih berkeyakinan bahwa kejaksaan masih profesional dan melakukan pendalaman dari kasus penjualan lahan negara yang sedang ditangani itu,” katanya.

“Sebagian dari masyarakat mungkin belum mengetahui, bahwa program tax amnesty itu bukan untuk menutupi kejahatan. Untuk kasus pencucian uang dari penjualan aset negara tersebut, ada baiknya ditangani langsung oleh lembaga antikorupsi. Sehingga, penanganan kasusnya tidak memakan waktu yang lama,” ungkapnya.

Informasi diperoleh, HH yang merupakan salah satu pemegang saham nomine di PT PSP, sudah menjalani pemeriksaan di gedung Kejaksaan Tinggi Sumut, Jumat (21/9) lalu.

Namun, SH yang juga merupakan pemegang saham nomine di perusahaan tersebut, belum memenuhi surat panggilan kedua oleh kejaksaan.

“Kejati Sumut bisa melakukan upaya paksa jika SH tidak memenuhi panggilan kedua. Upaya paksa ini bisa dilakukan kejaksaan bila orang bersangkutan tidak memberikan alasan tidak bisa hadir,” kata Agus.

Beredar kabar, SH sedang berada di Australia. Belum diketahui, SH pergi ke luar negeri setelah kasus ini muncul atau belum.

“Tidak hadir di panggilan kedua maka itikad baiknya dalam menghormati hukum sangat patut dipertanyakan,” tegas Agus.

Sebelumnya, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, Sumanggar Siagian mengaku, kejaksaan masih melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (Pulbaket) dari kasus dugaan penjualan aset negara tersebut. Namun, Sumanggar mengaku belum memonitor perkembangan dari penanganan kasus itu.

Seperti yang diketahui, beberapa petinggi PT PSP diperiksa penyidik kejaksan tinggi. Kasus ini berawal dari jual-beli lahan seluas sekitar 3,3 hektare (Ha) di Desa Sampali. Tidak jauh dari Rumah Sakit Haji Medan.

Penjualan lahan dengan nilai Rp40 Miliar di tahun 2016 itu, mengandalkan surat tanah dari kecamatan. Lahan itu ternyata milik dari PTPN II yang masa hak guna usaha (HGU) berakhir di tahun 2023.(azw/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/