30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jaksa Tak Boleh Punya Hubungan Saudara dengan Terdakwa

Foto: Bayu/PM Sidang Hagania di PN Medan, Senin (23/6/2014).
Foto: Bayu/PM
Sidang Hagania di PN Medan, Senin (23/6/2014).

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kasus tabrakan maut yang menewaskan seorang warga dan melukai tiga orang lainnya dengan terdakwa anak anggota DPRD Sumatera Utara, mendapat perhatian dari Kejaksaan Agung. Pasalnya, disebut-sebut jaksa penuntut umum (JPU) yang menangani perkara Runggu Sitepu dan terdakwa Hagania br Sinukaban, memiliki pertalian hubungan keluarga.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony T Spontana, hubungan saudara antara jaksa dan terdakwa sangat tidak diperkenankan. Bahkan, kalau terbukti benar, maka hal tersebut dapat dikategorikan pelanggaran kode etik kejaksaan.

“Itu tidak boleh. Kan sudah diatur dalam kode etik penegak hukum. Karena jika masih ada hubungan saudara antara jaksa dengan terdakwa, dikhawatirkan dapat menimbulkan conflict of interest (konflik kepentingan). Selain itu juga kredibilitas penegak hukum dalam menangani perkara menjadi diragukan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (26/6).

Namun tentu terhadap dugaan tersebut, menurut Tony, perlu dilakukan pengajian terlebih dahulu. Karena aturan sudah sangat jelas dan itu diketahui oleh semua penegak hukum. Sehingga sangat aneh rasanya jika ada jaksa yang tetap memaksakan diri menangani perkara, ketika diketahui memiliki hubungan keluarga.

“Hakim saja itu kalau ada hubungan keluarga dengan terdakwa, harus mundur kok. Jadi sama saja dengan jaksa,” katanya.

Selain itu Tony juga mengingatkan, bahwa dalam persidangan, jaksa pada intinya harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali lebih dalam terkait dakwaan yang disangkakan. Bukan justru memperlemah dakwaan dengan pertanyaan yang meringankan terdakwa.Ia mengungkapkan hal tersebut, saat dimintai tanggapannya terkait dugaan jaksa Runggu, justru mengajukan pertanyaan yang meringankan. Salah satu contoh, terkait pertanyaan apakah antara terdakwa dengan para korban telah melakukan perdamaian setelah peristiwa tabrakan maut terjadi. Menjawab pertanyaan tersebut, terdakwa pada persidangan mengatakan jika mereka telah melakukan perdamaian.

“Dalam persidangan, jaksa harus mendalami kasus sesuai pasal yang disangkakan. Jadi intinya harus mencari jawaban untuk memberatkan terdakwa sehingga sesuai dengan pasal yang disangkakan. Bukan justru memperlemah. Tapi dalam hal ini harus dilihat case by case. Tidak bisa disamaratakan semua kasus,” ujarnya.

Tony mencontohkan, dalam sebuah perkara, dapat saja jaksa seolah-olah menanyakan sesuatu yang ringan atau seolah-olah berpihak. Tapi kemudian lewat jawaban dari pertanyaan tersebut, dikembangkan ke sejumlah pertanyaan lain yang belum jelas sesuai dakwaan.“Untuk masalah ini (pertanyaan meringankan), memang tidak ada aturannya. Tidak diatur dalam kode etik. Cuma intinya jaksa itu kan menangani perkara untuk mencari keadilan berdasarkan hukum. Jadi harus benar-benar sesuai dengan koridor. Makanya inti pertanyaan harus mengarah pada yang sesuai dengan dakwaan,” katanya.

Sebagaimana diketahui, sidang dengan terdakwa Hagania akhirnya digelar di Pengadilan Negeri Medan, Senin (23/6) petang. Dalam dakwaan, JPU menyatakan Hagania telah melakukan kelalaian berkendara hingga menewaskan satu orang pengguna jalan, dan melukai tiga orang lainnya. Perbuatan itu, lanjut jaksa, melanggar Pasal 310 ayat 4 junto 106 UU RI Tentang Lalu Lintas dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

“Terdakwa telah melakukan kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang,” jelas Runggu dihadapan majelis hakim yang diketuai SB Hutagalung SH,MH.

Pantauan wartawan koran ini, jaksa diduga sengaja membaca dakwaan dengan suara pelan, hingga tak begitu jelas terdengar. Anehnya lagi, sidang kasus ini juga terkesan dikebut. Usai membaca dakwaan, sidang langsung dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan saksi.(gir)

Foto: Bayu/PM Sidang Hagania di PN Medan, Senin (23/6/2014).
Foto: Bayu/PM
Sidang Hagania di PN Medan, Senin (23/6/2014).

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kasus tabrakan maut yang menewaskan seorang warga dan melukai tiga orang lainnya dengan terdakwa anak anggota DPRD Sumatera Utara, mendapat perhatian dari Kejaksaan Agung. Pasalnya, disebut-sebut jaksa penuntut umum (JPU) yang menangani perkara Runggu Sitepu dan terdakwa Hagania br Sinukaban, memiliki pertalian hubungan keluarga.

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony T Spontana, hubungan saudara antara jaksa dan terdakwa sangat tidak diperkenankan. Bahkan, kalau terbukti benar, maka hal tersebut dapat dikategorikan pelanggaran kode etik kejaksaan.

“Itu tidak boleh. Kan sudah diatur dalam kode etik penegak hukum. Karena jika masih ada hubungan saudara antara jaksa dengan terdakwa, dikhawatirkan dapat menimbulkan conflict of interest (konflik kepentingan). Selain itu juga kredibilitas penegak hukum dalam menangani perkara menjadi diragukan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (26/6).

Namun tentu terhadap dugaan tersebut, menurut Tony, perlu dilakukan pengajian terlebih dahulu. Karena aturan sudah sangat jelas dan itu diketahui oleh semua penegak hukum. Sehingga sangat aneh rasanya jika ada jaksa yang tetap memaksakan diri menangani perkara, ketika diketahui memiliki hubungan keluarga.

“Hakim saja itu kalau ada hubungan keluarga dengan terdakwa, harus mundur kok. Jadi sama saja dengan jaksa,” katanya.

Selain itu Tony juga mengingatkan, bahwa dalam persidangan, jaksa pada intinya harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali lebih dalam terkait dakwaan yang disangkakan. Bukan justru memperlemah dakwaan dengan pertanyaan yang meringankan terdakwa.Ia mengungkapkan hal tersebut, saat dimintai tanggapannya terkait dugaan jaksa Runggu, justru mengajukan pertanyaan yang meringankan. Salah satu contoh, terkait pertanyaan apakah antara terdakwa dengan para korban telah melakukan perdamaian setelah peristiwa tabrakan maut terjadi. Menjawab pertanyaan tersebut, terdakwa pada persidangan mengatakan jika mereka telah melakukan perdamaian.

“Dalam persidangan, jaksa harus mendalami kasus sesuai pasal yang disangkakan. Jadi intinya harus mencari jawaban untuk memberatkan terdakwa sehingga sesuai dengan pasal yang disangkakan. Bukan justru memperlemah. Tapi dalam hal ini harus dilihat case by case. Tidak bisa disamaratakan semua kasus,” ujarnya.

Tony mencontohkan, dalam sebuah perkara, dapat saja jaksa seolah-olah menanyakan sesuatu yang ringan atau seolah-olah berpihak. Tapi kemudian lewat jawaban dari pertanyaan tersebut, dikembangkan ke sejumlah pertanyaan lain yang belum jelas sesuai dakwaan.“Untuk masalah ini (pertanyaan meringankan), memang tidak ada aturannya. Tidak diatur dalam kode etik. Cuma intinya jaksa itu kan menangani perkara untuk mencari keadilan berdasarkan hukum. Jadi harus benar-benar sesuai dengan koridor. Makanya inti pertanyaan harus mengarah pada yang sesuai dengan dakwaan,” katanya.

Sebagaimana diketahui, sidang dengan terdakwa Hagania akhirnya digelar di Pengadilan Negeri Medan, Senin (23/6) petang. Dalam dakwaan, JPU menyatakan Hagania telah melakukan kelalaian berkendara hingga menewaskan satu orang pengguna jalan, dan melukai tiga orang lainnya. Perbuatan itu, lanjut jaksa, melanggar Pasal 310 ayat 4 junto 106 UU RI Tentang Lalu Lintas dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

“Terdakwa telah melakukan kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang,” jelas Runggu dihadapan majelis hakim yang diketuai SB Hutagalung SH,MH.

Pantauan wartawan koran ini, jaksa diduga sengaja membaca dakwaan dengan suara pelan, hingga tak begitu jelas terdengar. Anehnya lagi, sidang kasus ini juga terkesan dikebut. Usai membaca dakwaan, sidang langsung dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan saksi.(gir)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/