29 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Debut Bersama di Film Bola

Film Cahaya dari Timur: Beta Maluku
Film Cahaya dari Timur: Beta Maluku

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Euforia Piala Dunia 2014 akan semakin lengkap dengan hadirnya film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (CDT). Mengambil cerita tentang sepak bola di Tulehu, Ambon, CDT tayang di bioskop mulai 19 Juni mendatang.

CDT mengambil kisah perjuangan seorang pria bernama Sani Tawainella. Dia adalah putra Maluku yang pulang kampung dari Jakarta setelah gagal merintis karir sebagai pesepak bola profesional. Sani kemudian menghidupi keluarga dengan menjadi tukang ojek. Sementara itu, situasi kampungnya, Tulehu, tengah panas karena konflik agama. Kerusuhan antar penduduk menjadi pemandangan sehari-hari. Banyak korban jiwa.

Di antara kesulitan hidup dan keinginan menyelamatkan anak-anak kampung, Sani berjuang melalui sepak bola. Dia melatih anak-anak tersebut. Hingga akhirnya, dia ditugaskan membawa timnya mewakili Maluku di kejuaraan nasional. Cerita tersebut merupakan kisah nyata yang kemudian dimainkan apik oleh aktor-aktornya. Ada Chico Jerikho yang memerankan Sani. Lalu, Jajang C. Noer, Shafira Umm, Abdurrahman Arif (Adul), serta pemain-pemain lokal seperti Aufa Assagaf dan Bebeto Leutually.

Sutradara film ini Angga Dwimas Sasongko mengungkapkan bahwa banyak orang yang melakukan debut di film ini. “Di sini saya juga melakukan debut sebagai produser,” katanya.

Selain itu, ada Glenn Fredly yang melakoni debut sebagai produser. Posisi penulis skenario juga menjadi debut Irfan Karisma. “Untuk pemain, sebagian besar jadi debut mereka. Ini film pertama Chico Jerikho, Shafira Umm, dan debut Aufa Assegaf serta Bebeto Leutually serta beberapa anak lainnya,” lanjut Angga.

Cerita tentang awal mula pembuatan film ini sebetulnya bermula pada 2007. Saat itu Angga datang ke Tulehu, Ambon, untuk menggarap film dokumenter tentang konflik. Selama beberapa hari di sana, Angga ditemani Sani, tukang ojek yang pernah ikut seleksi timnas di Jakarta. “Dari situ saya mendapat cerita lain tentang sosok Sani ini,” katanya. Di sisi lain, Angga menginginkan membuat film lagi. Tapi, dia tidak mau bikin film drama cinta semacam Hari Untuk Amanda lagi. “Saya mau step up,” tegasnya.

Cerita tentang Sani Tawainella ini kemudian dikembangkan menjadi skenario. “Saya mulai tawarkan ke production house. Selama kurang lebih dua tahun saya tawarkan dan tidak laku,” ungkapnya. Sebab, cerita CDT dianggap kurang seksi. Bukan drama cinta remaja, dianggap SARA, dan punya unsur politik. Hingga kemudian dia bertemu Glenn pada 2010. Glenn bersedia membantu Angga dari belakang.

“Tapi, rupanya Angga minta saya untuk ikut menjadi produser. Tadinya saya nggak mau. Jadi produser musik sih oke. Tapi, kalau film, nanti dulu deh,” ucap Glenn yang juga ikut bermain dalam film tersebut. Namun, akhirnya dia bersedia juga. Apalagi, belakangan Glenn sangat bersemangat untuk menyuarakan aspirasi dari Maluku. Dia memiliki beberapa proyek charity serta rumah seni di sana. Belum lagi, dia adalah pria yang memiliki darah Maluku. “Meski lahir dan besar di Jakarta, saya adalah Maluku,” tegasnya.

Glenn pun menyumbangkan kemampuannya di bidang musik. Dia menggarap semua soundtrack-nya. “Selama empat tahun ini kami kerjakan. Sampai akhirnya filmnya bisa diputar,” ujar Angga. (jan/c17/ayi)

Film Cahaya dari Timur: Beta Maluku
Film Cahaya dari Timur: Beta Maluku

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Euforia Piala Dunia 2014 akan semakin lengkap dengan hadirnya film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (CDT). Mengambil cerita tentang sepak bola di Tulehu, Ambon, CDT tayang di bioskop mulai 19 Juni mendatang.

CDT mengambil kisah perjuangan seorang pria bernama Sani Tawainella. Dia adalah putra Maluku yang pulang kampung dari Jakarta setelah gagal merintis karir sebagai pesepak bola profesional. Sani kemudian menghidupi keluarga dengan menjadi tukang ojek. Sementara itu, situasi kampungnya, Tulehu, tengah panas karena konflik agama. Kerusuhan antar penduduk menjadi pemandangan sehari-hari. Banyak korban jiwa.

Di antara kesulitan hidup dan keinginan menyelamatkan anak-anak kampung, Sani berjuang melalui sepak bola. Dia melatih anak-anak tersebut. Hingga akhirnya, dia ditugaskan membawa timnya mewakili Maluku di kejuaraan nasional. Cerita tersebut merupakan kisah nyata yang kemudian dimainkan apik oleh aktor-aktornya. Ada Chico Jerikho yang memerankan Sani. Lalu, Jajang C. Noer, Shafira Umm, Abdurrahman Arif (Adul), serta pemain-pemain lokal seperti Aufa Assagaf dan Bebeto Leutually.

Sutradara film ini Angga Dwimas Sasongko mengungkapkan bahwa banyak orang yang melakukan debut di film ini. “Di sini saya juga melakukan debut sebagai produser,” katanya.

Selain itu, ada Glenn Fredly yang melakoni debut sebagai produser. Posisi penulis skenario juga menjadi debut Irfan Karisma. “Untuk pemain, sebagian besar jadi debut mereka. Ini film pertama Chico Jerikho, Shafira Umm, dan debut Aufa Assegaf serta Bebeto Leutually serta beberapa anak lainnya,” lanjut Angga.

Cerita tentang awal mula pembuatan film ini sebetulnya bermula pada 2007. Saat itu Angga datang ke Tulehu, Ambon, untuk menggarap film dokumenter tentang konflik. Selama beberapa hari di sana, Angga ditemani Sani, tukang ojek yang pernah ikut seleksi timnas di Jakarta. “Dari situ saya mendapat cerita lain tentang sosok Sani ini,” katanya. Di sisi lain, Angga menginginkan membuat film lagi. Tapi, dia tidak mau bikin film drama cinta semacam Hari Untuk Amanda lagi. “Saya mau step up,” tegasnya.

Cerita tentang Sani Tawainella ini kemudian dikembangkan menjadi skenario. “Saya mulai tawarkan ke production house. Selama kurang lebih dua tahun saya tawarkan dan tidak laku,” ungkapnya. Sebab, cerita CDT dianggap kurang seksi. Bukan drama cinta remaja, dianggap SARA, dan punya unsur politik. Hingga kemudian dia bertemu Glenn pada 2010. Glenn bersedia membantu Angga dari belakang.

“Tapi, rupanya Angga minta saya untuk ikut menjadi produser. Tadinya saya nggak mau. Jadi produser musik sih oke. Tapi, kalau film, nanti dulu deh,” ucap Glenn yang juga ikut bermain dalam film tersebut. Namun, akhirnya dia bersedia juga. Apalagi, belakangan Glenn sangat bersemangat untuk menyuarakan aspirasi dari Maluku. Dia memiliki beberapa proyek charity serta rumah seni di sana. Belum lagi, dia adalah pria yang memiliki darah Maluku. “Meski lahir dan besar di Jakarta, saya adalah Maluku,” tegasnya.

Glenn pun menyumbangkan kemampuannya di bidang musik. Dia menggarap semua soundtrack-nya. “Selama empat tahun ini kami kerjakan. Sampai akhirnya filmnya bisa diputar,” ujar Angga. (jan/c17/ayi)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/