TRIPOLI- Berbagai serangan dari pasukan oposisi terus dilumpuhkan pasukan Muamar Kadhafi, akibatnya pasukan Kadhafi kembali menguasai sejumlah kota di Timur Libya. Melihat keadaan ini, Amerika Serikat (AS) menggunakan badan intelijennya, Central Intelligence Agency (CIA).
Seperti dikutip dari AP News, salah seorang pejabat AS mengungkapkan pasukan Khadafi mulai menggunakan ken daraan biasa dan tidak lagi menggunakan tank. Ini menyebabkan pasukan koalisi sulit membedakan pasukan Kadhafi dengan pasukan oposisi ataupun kendaraan sipil.
Perubahan strategi perang yang dilakukan pasukan Kadhafi ini membuat AS dikabarkan frustrasi dengan keadaan ini. Apalagi, peran militer Amerika di Libya saat ini mulai dibatasi dan kepemimpinan telah diambil alih NATO mulai Rabu (30/3).
Tapi, keadaan ini tak membuat AS kalah strategi, kini AS menggunakan badan intelijennya, CIA untuk membantu pasukan oposisi melawan Kadhafi. “Kami akan menggunakan bantuan intelijen, dan kami sudah memiliki kontak dengan oposisi,” kata salah seorang sumber, seperti dikutip dari CNN.
Kabar ini cepat-cepat dibantah Gedung Putih. “Belum ada kebijakan yang dibuat untuk membantu persenjataan kepada oposisi atau kelompok mana pun di Libya,” kata juru bicara Gedung Putih, Jay Carney.
Sementara itu, pasukan oposisi mengaku penarikan mundur pasukan sebagai bagian dari strategi yang mereka jalankan. Kolonel Ahmad Bani dari pasukan oposisi mengatakan pasukannya memberi kesempatan kepada pasukan koalisi untuk lebih gencar melakukan serangan udara.
Pasukan oposisi memang terus kehilangan sejumlah kota yang sebelumnya telah dikuasai. Selain melepas Bin Jawad, oposisi juga kehilangan Ras Lanuf dan Brega yang kini jatuh ke tangan pasukan Khadafi. Ajdabiya, di sebelah timur Brega, kini menjadi basis pertahanan mereka.
Tanpa bantuan tentara koalisi dan NATO, pasukan pemberontak kalah telak dari pasukan Kadhafi. Salah satu pemimpin pemberontak, Abdullah Hadi meminta NATO untuk turun tangan. “Saya meminta satu saja pesawat NATO untuk memukul mundur mereka. Yang kami perlukan saat ini adalah perlindungan dari udara. Mereka harus membantu kami,” ujar Hadi.
Sementara itu opsi mempersenjatai tentara pemberontak oleh pasukan koalisi masih terus bergulir. Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton, mengatakan bahwa AS percaya bahwa mempersenjatai oposisi adalah perbuatan yang legal pada situasi sekarang ini. Namun, belum ada keputusan untuk melakukan hal tersebut.
Sedangkan, Presiden AS Barack Obama diketahui telah memerintahkan operasi rahasia untuk mendukung pemberontak di Libya. Misinya demi mengusir pemimpin Libya Muamar Khadafi. Obama diketahui menandatangani perintah itu sekitar dua atau tiga minggu lalu, demikian ditulis Reuters, dari sumber di pemerintahan, Kamis (31/3).
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Libya, Moussa Koussa tiba di Inggris, Kamis (31/3) sekaligus menyatakan meninggalkan pemerintah Muammar Kadhafi.
Kantor luar negeri Inggris mengatakan, Rabu (30/3) bahwa Koussa dalam perjalanan dari Tunisia ke London di bawah kehendak bebasnya sendiri, para pejabat mengatakan dia mengundurkan diri jabatannya. (bbs/jpnn)
Seperti dikutip dari BBC, pejabat Inggris mendesak para pendukung Kadhafi untuk mengikuti jejak Moussa Koussa. Meski demikian seorang juru bicara pemerintah Libya, Moussa Ibrahim, membantah menteri luar negeri telah membelot, mengatakan bahwa dia berada di Inggris untuk “misi diplomatik.”
Sebelum Moussa Koussa, Menteri Dalam Negeri, Abdel Fatah Yunes mengundurkan diri pada awal konflik dan bergabung dengan oposisi dalam pertempuran di timur.
Seperti dikutip dari VOA para pejabat Amerika menyebut pengunduran diri Koussa itu sangat signifikan, dan menjadi ujud tumbuhnya perpecahan di dalam pemerintah Libya. Apalagi, selama ini Moussa Koussa adalah orang kepercayaan Kadhafi dan menjabat sebagai kepala intelijen nya selama lebih dari satu dekade. (bbs/jpnn)