32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Babak Baru Konflik Timur Tengah

ARAB Spring yang dimulai di Tunisia pada 2010 telah membuka babak baru dalam perpolitikan di kawasan Arab. Satu per satu rezim otoriter tumbang, mulai dari rezim Ben Ali (Tunisia), Muamar Khadafi di Libya, sampai dengan Husni Mubarakn
di Mesir. Satu rezim yang masih cukup kuat, yakni Presiden Bashar al-Assad di Suriah. Belakangan Suriah terjebak oleh isu penggunaan senjata kimia terhadap para kaum pemberontak alias oposisi yang menginginkan tumbangnya Presiden Bashar al-Assad.
Penggunaan senjata kimia dalam perang sipil di Suriah menyisakan dua kubu besar di kalangan internasional. Kubu pertama, yakni mereka yang ingin menyerang Suriah dan kelompok kedua, yang menentang invasi. Kubu pertama dipimpin oleh Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris. Hanya, kongres Inggris menolak keinginan Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk terlibat dalam penyerangan. Sejumlah negara Teluk, seperti Arab Saudi dan Qatar, diketahui telah sejak lama memasok senjata buat oposisi.
Kubu kedua, yakni kelompok negara yang menentang serangan tersebut. Rusia merupakan negara yang berdiri paling depan dalam barisan ini, selain Cina dan Iran. Bagi Rusia, Suriah merupakan pertaruhan gengsinya dengan AS. Berbeda dengan Iran yang memiliki kedekatan secara aliran dengan Presiden Bashar al-Assad (sama-sama Syiah), Rusia memiliki hubungan bisnis dan historis yang cukup panjang dengan rezim Assad.

Hubungan Rusia (dulu Uni Soviet) telah berlangsung selama beberapa dekade, bahkan sejak ayah Bashar al-Assad, Hafez al-Assad, berkuasa. Pada 1972, Hafez al-Assad telah meneken perjanjian pakta pertahanan keamanan dengan Rusia. Selama era itu, Moskow mengirimkan senjata senilai 135 juta dollar AS ke Damaskus. Pada 1980, Assad dan Presiden Uni Soviet Leonid Brezhnev kembali meneguhkan pakta kerja sama lanjutan selama 20 tahun terakhir.

Pemimpin Soviet terakhir, Mikhail Gorbachev, pada 1987 pernah mengatakan menjamin akan terus melanjutkan bantuan ekonomi dan militernya untuk Suriah. Janji ini terus dipegang hingga Hafez al-Assad digantikan oleh Bashar al-Assad. Di sisi lain, partai politik di Suriah dikuasai oleh Partai Bath yang dikategorikan masuk dalam kelompok sayap kiri. Kedekatan pandangan atau ideologi politik dengan Uni Soviet ini merekatkan keduanya. Selain dengan Suriah, Uni Soviet juga dekat dengan rezim Irak Saddam Husein yang telah diluluh-lantakkan oleh AS dan sekutu.

Karena itu, jika Assad berhasil digulingkan dan Suriah berhasil ditaklukkan Barat dan sekutunya, ini bisa menjadi tamparan besar buat Presiden Rusia Vladimir Putin. Padahal, Putin telah berjanji akan mengembalikan masa kejayaan Rusia setelah sebelumnya ‘Negeri Beruang Merah’ itu bergelut dalam persoalan ekonomi.

Koran Washington Post menulis ada empat alasan mengapa Rusia ingin melindungi Assad. Pertama, Rusia memiliki pangkalan di Suriah yang cukup strategis. Pangkalan ini merupakan markas militer terakhir Rusia di luar negara-negara Uni Soviet. Kedua, Rusia masih memiliki jiwa mental perang dingin. Dia ingin tetap mempertahankan aliansi militer terakhirnya. Ketiga, Rusia membenci ide intervensi Barat seperti yang dilakukan terhadap Suriah. Keempat, Suriah telah membeli perlengkapan militer cukup besar dari Rusia. Sejak abad 20, Rusia mungkin telah menjual lebih dari 1,5 miliar dollar AS senjata ke Suriah. Belakangan, Rusia dikabarkan telah menjual pesawat tempur MiG-29 dan s-300 ke Suriah.

Dalam tanggapan terakhirnya soal rencana serangan Barat ke Suriah, Putin meminta AS dan sekutunya agar membuktikan terlebih dahulu apakah Assad benar menggunakan senjata kimia atau tidak. Dia juga menilai ini hanya provokasi dari negara-negara tertentu. Rusia merupakan salah satu negara tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.

Rusia bersama Cina berulang kali mengeblok keinginan Barat yang ingin menjatuhkan Assad melalui resolusinya. Kecurigaan Putin bahwa senjata kimia itu merupakan propaganda kelompok tertentu dapat dimaklumi. Karena, memang saat insiden serangan senjata kimia itu berlangsung, militer pemerintah di bawah kendali Assad memiliki posisi cukup kuat dan tidak dalam keadaan terdesak.

Media Iran Press TV, dalam salah satu artikelnya mengatakan, isu senjata kimia berasal dari intelijen Arab Saudi. Laporan ini memang tidak sepenuhnya bisa diterima. Namun, konflik di Suriah bisa menguntungkan Arab Saudi, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, mereka bisa mendapatkan keuntungan dari naiknya harga minyak sedangkan dari politik, jika Assad jatuh, mereka akan menambah satu sekutu baru di negara Arab.

Kini, bola terakhir ada di tangan AS dan Rusia. Jika AS menyerang dan Rusia membalas dengan memberikan bantuan ke tentara Assad, ini bisa menjadi babak baru perang di Timur Tengah. Perang ini bisa melibatkan Iran dan Hezbullah Lebanon yang mendukung Assad melawan kelompok Suni Arab yang didukung Barat. (afp/wp/val)

ARAB Spring yang dimulai di Tunisia pada 2010 telah membuka babak baru dalam perpolitikan di kawasan Arab. Satu per satu rezim otoriter tumbang, mulai dari rezim Ben Ali (Tunisia), Muamar Khadafi di Libya, sampai dengan Husni Mubarakn
di Mesir. Satu rezim yang masih cukup kuat, yakni Presiden Bashar al-Assad di Suriah. Belakangan Suriah terjebak oleh isu penggunaan senjata kimia terhadap para kaum pemberontak alias oposisi yang menginginkan tumbangnya Presiden Bashar al-Assad.
Penggunaan senjata kimia dalam perang sipil di Suriah menyisakan dua kubu besar di kalangan internasional. Kubu pertama, yakni mereka yang ingin menyerang Suriah dan kelompok kedua, yang menentang invasi. Kubu pertama dipimpin oleh Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris. Hanya, kongres Inggris menolak keinginan Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk terlibat dalam penyerangan. Sejumlah negara Teluk, seperti Arab Saudi dan Qatar, diketahui telah sejak lama memasok senjata buat oposisi.
Kubu kedua, yakni kelompok negara yang menentang serangan tersebut. Rusia merupakan negara yang berdiri paling depan dalam barisan ini, selain Cina dan Iran. Bagi Rusia, Suriah merupakan pertaruhan gengsinya dengan AS. Berbeda dengan Iran yang memiliki kedekatan secara aliran dengan Presiden Bashar al-Assad (sama-sama Syiah), Rusia memiliki hubungan bisnis dan historis yang cukup panjang dengan rezim Assad.

Hubungan Rusia (dulu Uni Soviet) telah berlangsung selama beberapa dekade, bahkan sejak ayah Bashar al-Assad, Hafez al-Assad, berkuasa. Pada 1972, Hafez al-Assad telah meneken perjanjian pakta pertahanan keamanan dengan Rusia. Selama era itu, Moskow mengirimkan senjata senilai 135 juta dollar AS ke Damaskus. Pada 1980, Assad dan Presiden Uni Soviet Leonid Brezhnev kembali meneguhkan pakta kerja sama lanjutan selama 20 tahun terakhir.

Pemimpin Soviet terakhir, Mikhail Gorbachev, pada 1987 pernah mengatakan menjamin akan terus melanjutkan bantuan ekonomi dan militernya untuk Suriah. Janji ini terus dipegang hingga Hafez al-Assad digantikan oleh Bashar al-Assad. Di sisi lain, partai politik di Suriah dikuasai oleh Partai Bath yang dikategorikan masuk dalam kelompok sayap kiri. Kedekatan pandangan atau ideologi politik dengan Uni Soviet ini merekatkan keduanya. Selain dengan Suriah, Uni Soviet juga dekat dengan rezim Irak Saddam Husein yang telah diluluh-lantakkan oleh AS dan sekutu.

Karena itu, jika Assad berhasil digulingkan dan Suriah berhasil ditaklukkan Barat dan sekutunya, ini bisa menjadi tamparan besar buat Presiden Rusia Vladimir Putin. Padahal, Putin telah berjanji akan mengembalikan masa kejayaan Rusia setelah sebelumnya ‘Negeri Beruang Merah’ itu bergelut dalam persoalan ekonomi.

Koran Washington Post menulis ada empat alasan mengapa Rusia ingin melindungi Assad. Pertama, Rusia memiliki pangkalan di Suriah yang cukup strategis. Pangkalan ini merupakan markas militer terakhir Rusia di luar negara-negara Uni Soviet. Kedua, Rusia masih memiliki jiwa mental perang dingin. Dia ingin tetap mempertahankan aliansi militer terakhirnya. Ketiga, Rusia membenci ide intervensi Barat seperti yang dilakukan terhadap Suriah. Keempat, Suriah telah membeli perlengkapan militer cukup besar dari Rusia. Sejak abad 20, Rusia mungkin telah menjual lebih dari 1,5 miliar dollar AS senjata ke Suriah. Belakangan, Rusia dikabarkan telah menjual pesawat tempur MiG-29 dan s-300 ke Suriah.

Dalam tanggapan terakhirnya soal rencana serangan Barat ke Suriah, Putin meminta AS dan sekutunya agar membuktikan terlebih dahulu apakah Assad benar menggunakan senjata kimia atau tidak. Dia juga menilai ini hanya provokasi dari negara-negara tertentu. Rusia merupakan salah satu negara tetap Dewan Keamanan (DK) PBB.

Rusia bersama Cina berulang kali mengeblok keinginan Barat yang ingin menjatuhkan Assad melalui resolusinya. Kecurigaan Putin bahwa senjata kimia itu merupakan propaganda kelompok tertentu dapat dimaklumi. Karena, memang saat insiden serangan senjata kimia itu berlangsung, militer pemerintah di bawah kendali Assad memiliki posisi cukup kuat dan tidak dalam keadaan terdesak.

Media Iran Press TV, dalam salah satu artikelnya mengatakan, isu senjata kimia berasal dari intelijen Arab Saudi. Laporan ini memang tidak sepenuhnya bisa diterima. Namun, konflik di Suriah bisa menguntungkan Arab Saudi, baik secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, mereka bisa mendapatkan keuntungan dari naiknya harga minyak sedangkan dari politik, jika Assad jatuh, mereka akan menambah satu sekutu baru di negara Arab.

Kini, bola terakhir ada di tangan AS dan Rusia. Jika AS menyerang dan Rusia membalas dengan memberikan bantuan ke tentara Assad, ini bisa menjadi babak baru perang di Timur Tengah. Perang ini bisa melibatkan Iran dan Hezbullah Lebanon yang mendukung Assad melawan kelompok Suni Arab yang didukung Barat. (afp/wp/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/