Sebagian besar negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab menawarkan bantuan untuk intervensi militer AS di Syria.
WASHINGTON- Negara-negara Arab dilaporkan itu siap mengeluarkan dana terkait rencana serangan militer Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya ke Syria.
“Kami sedang membangun dukungan dengan negara-negara lain, di antaranya Liga Arab,” kata Menteri Luar Negeri (Menlu) AS John Kerry, seperti dilaporkan, AFP, kemarin.
“Negara-negara tertentu telah berbicara mengenai tindakan ini, termasuk Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Turki, dan Perancis,” katanya menambahkan.
Kerry juga meneangkan kalau dukungan itu sangat nyata. “Sehubungan dengan negara-negara Arab yang menawarkan untuk menanggung biaya dan membantu, jawabannya sangat mendalam, mereka memiliki itu. Tawaran itu di atas meja,” paparnyan
Di depan Komite untuk Urusan Luar Negeri Senat AS, Kerry mengungkapkan, AS telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 100 negara dan 57 di antaranya sudah sepakat, sementara 37 dari mereka mengatakan secara terbuka.
“Sedikitnya 31 negara atau organisasi telah menyatakan secara terbuka atau privat, bahwa rezim Assad bertanggung jawab atas serangan ini, dan itu sebelum paket bukti kami satukan. Beberapa dari mereka telah meminta untuk menjadi bagian dari operasi militer. Orang-orang Turki, satu anggota NATO, telah mengutuk Assad, dan meminta menjadi bagian dari operasi Itu,” katanya lagi.
“Perancis juga mengajukan diri untuk menjadi bagian dari operasi. Begitu juga beberapa personil lain yang secara sukarela. Tapi terus terang. Kita punya lebih banyak relawan yang dapat kita gunakan untuk jenis operasi ini,” kata Kerry menambahkan.
Kerry tampil di hadapan komite Urusan Luar Negeri Senat pada hari kedua guna membujuk para anggota parlemen menyetujui serangan militer terbatas terhadap Syria.
Washington telah memimpin tuduhan bahwa rezim Presiden Syria, Bashar Al Assad, melepaskan gas sarin pada 21 Agustus terhadap penduduk di pinggiran kota Damaskus. Serangan itu, menurut laporan intelijen AS, telah menewaskan sekitar 1.400 orang.
Presiden Barack Obama menegaskan bahwa rezim Assad telah menyeberangi garis merah terkait penggunaan senjata mengerikan itu dan harus dihukum sehingga kemampuan militernya terdegradasi .
Panel Senat AS, Rabu waktu setempat atau Kamis (4/9) dini hari waktu Indonesia, memutuskan untuk menyetujui pengerahan militer AS ke Syria. Persetujuan itu diputuskan melalui pemungutan suara setelah debat maraton dan sengit selama dua hari. Keputusan panel itu akan segera dibawa ke sidang penuh senat untuk kemudian dilanjutkan ke kongres.
Suara komite pada Rabu malam itu berakhir dengan mensahkan militer AS merespon rezim Assad, namun, pensahan itu selanjutnya akan dibawa ke Senat penuh untuk perdebatkan.
Komite terbatas yang terdiri dari 18 anggota itu mendukung aksi militer AS di Syria dengan margin 10 berbanding 7 untuk mendukung penggunaan kekuatan militer, sementara satu anggota parlemen abstain. Jika Kongres menyetujui permintaan presiden, tentara AS segera memulai serangan terbatas di Syria.
Sementara itu, tokoh oposisi Syria menyebut rencana serangan AS ke Syria sebagai agresi terhadap negara yang berdaulat oleh satu negara anggota PBB terhadap anggota yang lain.
Selagi para anggota Kongres AS mempertimbangkan apakah akan menggunakan kekuatan militer terhadap Syria atas tuduhan penggunaan senjata kimia, sebagian orang di Damaskus justru bersatu untuk menghadapi kemungkinan apapun.
Penundaan serangan AS ini telah membuat sejumlah orang di Damaskus merasa lega, bahkan ada yang berharap AS akan mundur dari ancamannya untuk menyerang atau memberi waktu agar lebih siap untuk menghadapi serangan.
Sana Naser, Sekjen Partai Syria Baru, sebuah kelompok oposisi, mengatakan Presiden Barack Obama ‘melepaskan’ tanggung jawabnya dengan menyerahkan keputusan kepada Kongres.
Naser merasa yakin jika Kongres AS akan menyetujui aksi militer, terutama setelah pemerintah Obama menempatkan begitu banyak kapal perang dan awaknya. Uji rudal bersama antara AS-Israel di wilayah Laut Tengah pada Selasa (3/9) semakin memperkuat pandangan tersebut. Hanya saja, Naser menolak untuk menyebut kemungkinan tindakan AS terhadap Syria sebuah ‘serangan’.
Berbicara melalui telepon dari Damaskus, Naser menyebutnya dengan isitilah agresi terhadap negara yang berdaulat, oleh satu negara anggota PBB terhadap anggota yang lain. Dan karena itu, kata Naser, serangan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional.
Sementara itu, Anas Aljazayri, anggota organisasi Syria Observatory untuk Korban Kekerasan dan Terorisme, berpendapat bahwa AS tidak akan pernah berani menyerang Syria. Menurutnya, Presiden Obama menyadari berperang dengan Syria bukanlah hal yang mudah.
“Kami tidak takut dan kami tidak khawatir dan kami sangat yakin tidak akan ada serangan terhadap Syria,” kata Aljazayri.
Tapi jika serangan itu tidak terjadi, ia menyatakan bahwa pemerintah dan militer Syria sudah siap. Ia mengatakan mereka telah bersiap-siap bukan hanya selama konflik dalam negeri dua setengah tahun ini, ketika AS dan para pemimpin negara-negara Barat lainnya menyerukan Presiden Bashar al-Assad untuk mundur.
Aljazayri juga meremehkan Liga Arab dan keputusannya pekan ini yang mendukung tindakan PBB menentang Syria.
Ia mengatakan Liga Arab tidak pernah mendukung kepentingan negara-negara Arab, dan telah ‘bersekongkol’ menentang pemerintah resmi Syria sejak awal pemberontakan terhadap Assad. Sebelumnya memang Liga Arab telah menangguhkan keanggotaan Syria pada tahun 2011 lalu.
Dari ajang pertemuan para pemimpin dunia dari G-20 yang akan bertemu di St Petersburg, Rusia, berbeda pendapat mengenai rencana Amerika Serikat menggempur Syria sebagai respon AS terhadap serangan senjata kimia Assad pada pemberontak Syria.
Pertemuan G-20 dijadwalkan berlangsung pada Kamis (5/9) hanya beberapa jam seusai Senat AS bersepakat memberikan dukungan kepada Presiden Barack Obama menggunakan kekuatan militer terhadap Syria. Keputusan ini pertama kali diambil oleh Senat tentang tindakan militer sejak Oktober 2002 saat memberikan suara mendukung invasi AS ke Iraq.
Washington dan penyokong utama Syria, Rusia, secara terbuka berada pada posisi berlawanan mengenai aksi militer Obama yang kini tengah sibuk menggalang kekuatan internasional. Obama mengatakan dalam sebuah pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di St Petersburg, bahwa dia mencoba membujuk Putin tentang perlunya gempuran terhadap Presiden Bashar al-Assad yang dituding menyebabkan lebih dari 1.400 orang tewas dengan senjata kimia.
“Kredibilitas AS dan dunia dipertaruhkan,” kata Obama saat berada di Stockholm dalam perjalanan menuju Rusia.
Di lain pihak, Iran sejak Kamis (5/9), menegaskan, tetap mendukung Syria ‘hingga akhir’ dalam menghadapi kemungkinan serangan militer AS dan sekutunya. Demikian pernyataan komandan pasukan elite Iran, Quds Qassem Soleimani.
“Tujuan AS bukan untuk melindungi hak asasi manusia, melainkan untuk menghancurkan garis depan perlawanan (terhadap Israel),” kata Soleimani.
“Kami akan mendukung Syria hingga akhir,” lanjut Soleimani dalam sebuah pidato di hadapan Dewan Pakar, sebuah lembaga yang menjadi penasihat pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Namun, Soleimani tidak menerangkan dengan rinci dukungan seperti apa yang akan diberikan. Terlebih lagi, Iran selalu membantah tudingan Barat yang menuduh negeri itu mengirim senjata dan pasukan untuk mendukung rezim Bashar al-Assad.
Setahun lalu, pemimpin pasukan garda revolusi Iran, Mohammad Ali Jafari, mengatakan, anggota pasukan Quds dari unit operasi luar negeri berada di Syria hanya untuk memberikan ‘nasihat dan saran’ bagi militer Syria.
Menhan Iran Hossein Dehqan menampik negerinya sudah mengirim pasukan dan senjata untuk Syria. “Syria tidak membutuhkan senjata dari kami karena Syria sudah memiliki sistem anti-serangan udara,” ujar Dehqan.
Presiden Hassan Rohani menegaskan, Iran akan melakukan apa pun untuk mencegah serangan militer terhadap rezim Assad. “Setiap serangan terhadap Syria tak hanya bertentangan dengan kepentingan kawasan, tetapi juga bertentangan dengan sekutu AS di kawasan ini,” kata Rohani. (rtr/afp/ap/al-jazeera/jpnn)