26 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Kisah Berani Para Pengubur Jenazah Pasien Ebola di Sierra Leone

foto: BBC Mariatu Kagbo menjadi relawan tim pengubur jenazah untuk melindungi kehormatan perempuan.
foto: BBC
Mariatu Kagbo menjadi relawan tim pengubur jenazah untuk melindungi kehormatan perempuan.

SUMUTPOS.CO- Saat Mariatu Kagbo keluar rumah dan berjalan menuju jalan besar, sejumlah orang berteriak: “Ebola!”

Teriakan itu mungkin hanya ejekan, tetapi bisa juga mewakili ekspresi ketakutan yang ada di dalam hati orang-orang di Old Wharf, wilayah pinggiran ibu kota Sierra Leone, Freetown.

Ketakutan bahwa Kagbo bisa membawa virus itu ke rumah-rumah warga karena dia bekerja sebagai pengubur jenazah pasien Ebola.

“Mereka menghina saya. Kadang mereka melakukan kekerasan,” kata Kagbo, perempuan berusia 37 tahun, ibu enam anak, yang menjadi relawan Palang Merah.

“Mereka bisa berbicara sesukanya. Tetapi saya berbicara pada diri sendiri – jika bukan saya yang melakukannya, siapa lagi?”

Setelah setengah jam berdesakan duduk di angkutan umum, Kagbo bertemu dengan koleganya Waterloo – salah satu kota yang terkena dampak terburuk Ebola.

“Dua meninggal,” kata atasannya saat mereka naik mobil menuju desa terdekat Tombo.

Warga telah berkumpul di luar sebuah rumah kecil di dekat tepi air. Beberapa wanita yang meratap. Seorang pria mendekati mereka dan mengatakan bahwa orang lain telah tertular.

“Kami hanya datang untuk yang mati,” kata salah seorang anggota tim.

Untuk perempuan

Butuh sekitar 10 menit untuk Kagbo dan semua kolega pria untuk mengenakan pakaian pelindung, sarung tangan, dan kaca mata.

“(Baju) itu panas. Saya berkeringat. Saya minum banyak sekali air. Tetapi saya terbiasa, saya sudah takut untuk masuk ke dalam. Kami memiliki pelindung yang bagus,” katanya.

Kagbo adalah orang pertama yang masuk ke rumah.

“Ketika perempuan meninggal, saya menutupi tubuh mereka dengan hormat sehingga laki-laki tidak melihat mereka telanjang. Inilah mengapa saya bergabung – untuk para perempuan.”

“Demi Tuhan, ini tidak mudah. Saya melihat tanda (Ebola) di sana, darah mengucur ke luar. Saya sangat ketakutan karena dia masih sangat muda. Perempuan muda dan laki-laki tua. Oh Tuhan…”

Dia meneguk air, berdiri, dan menatap sepatu botnya, menggeleng perlahan selama beberapa menit.

“Pada malam hari ketika saya berbaring saya melihat wajah mereka. Saya mengalami mimpi buruk,” katanya kemudian.

Tidak ada upacara

Semua jenazah kemudian disiram disinfektan dan di bawa ke pemakaman khusus di Waterloo.

Sebuah tas berisi sarung tangan dan alat pelindung kotor lainnya ditempatkan di atas jenazah.

Beberapa ranting dan daun menutupi atasnya. Lalu kemudian, mereka menguburnya.

Kagbo selesai pukul 17.00 setiap hari, tetapi dia lebih senang menunggu beberapa jam untuk akhirnya naik bus pulang.

Lebih tenang, dan lebih mudah, dia menjelaskan, untuk kembali pulang ke desanya dalam keadaan gelap. (BBC)

foto: BBC Mariatu Kagbo menjadi relawan tim pengubur jenazah untuk melindungi kehormatan perempuan.
foto: BBC
Mariatu Kagbo menjadi relawan tim pengubur jenazah untuk melindungi kehormatan perempuan.

SUMUTPOS.CO- Saat Mariatu Kagbo keluar rumah dan berjalan menuju jalan besar, sejumlah orang berteriak: “Ebola!”

Teriakan itu mungkin hanya ejekan, tetapi bisa juga mewakili ekspresi ketakutan yang ada di dalam hati orang-orang di Old Wharf, wilayah pinggiran ibu kota Sierra Leone, Freetown.

Ketakutan bahwa Kagbo bisa membawa virus itu ke rumah-rumah warga karena dia bekerja sebagai pengubur jenazah pasien Ebola.

“Mereka menghina saya. Kadang mereka melakukan kekerasan,” kata Kagbo, perempuan berusia 37 tahun, ibu enam anak, yang menjadi relawan Palang Merah.

“Mereka bisa berbicara sesukanya. Tetapi saya berbicara pada diri sendiri – jika bukan saya yang melakukannya, siapa lagi?”

Setelah setengah jam berdesakan duduk di angkutan umum, Kagbo bertemu dengan koleganya Waterloo – salah satu kota yang terkena dampak terburuk Ebola.

“Dua meninggal,” kata atasannya saat mereka naik mobil menuju desa terdekat Tombo.

Warga telah berkumpul di luar sebuah rumah kecil di dekat tepi air. Beberapa wanita yang meratap. Seorang pria mendekati mereka dan mengatakan bahwa orang lain telah tertular.

“Kami hanya datang untuk yang mati,” kata salah seorang anggota tim.

Untuk perempuan

Butuh sekitar 10 menit untuk Kagbo dan semua kolega pria untuk mengenakan pakaian pelindung, sarung tangan, dan kaca mata.

“(Baju) itu panas. Saya berkeringat. Saya minum banyak sekali air. Tetapi saya terbiasa, saya sudah takut untuk masuk ke dalam. Kami memiliki pelindung yang bagus,” katanya.

Kagbo adalah orang pertama yang masuk ke rumah.

“Ketika perempuan meninggal, saya menutupi tubuh mereka dengan hormat sehingga laki-laki tidak melihat mereka telanjang. Inilah mengapa saya bergabung – untuk para perempuan.”

“Demi Tuhan, ini tidak mudah. Saya melihat tanda (Ebola) di sana, darah mengucur ke luar. Saya sangat ketakutan karena dia masih sangat muda. Perempuan muda dan laki-laki tua. Oh Tuhan…”

Dia meneguk air, berdiri, dan menatap sepatu botnya, menggeleng perlahan selama beberapa menit.

“Pada malam hari ketika saya berbaring saya melihat wajah mereka. Saya mengalami mimpi buruk,” katanya kemudian.

Tidak ada upacara

Semua jenazah kemudian disiram disinfektan dan di bawa ke pemakaman khusus di Waterloo.

Sebuah tas berisi sarung tangan dan alat pelindung kotor lainnya ditempatkan di atas jenazah.

Beberapa ranting dan daun menutupi atasnya. Lalu kemudian, mereka menguburnya.

Kagbo selesai pukul 17.00 setiap hari, tetapi dia lebih senang menunggu beberapa jam untuk akhirnya naik bus pulang.

Lebih tenang, dan lebih mudah, dia menjelaskan, untuk kembali pulang ke desanya dalam keadaan gelap. (BBC)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/