25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tak Ada Deru Knalpot, Kereta Kuda Jadi Alternatif

Keinginan keras Menteri BUMN Dahlan Iskan agar Indonesia segera mampu membuat dan memasalkan mobil listrik bukanlah gagasan yang meng-awang-awang. Di Zermatt, Swiss, semua sarana transportasinya meng-gunakan tenaga listrik. Tak satu pun kendaraan berbahan bakar minyak (BBM) diizinkan masuk di kota yang terletak di atas awan, di punggung Alpen, itu Swiss punya banyak daya pikat.

LEAK KUSTIYA, Zermatt

Jam tangan dengan keawetan turun-temurun, wine, panorama putih salju, hingga tantangan penaklukan puncak Alpen, Matterhorn. Satu lagi yang menjadi kebanggaan Swiss adalah keunikan Zermatt. Kota yang berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut itu menjadi tujuan wisata yang populer di Eropa karena sikapnya yang tegas: menolak polusi asap dan suara knalpot kendaraan.

KOTA: Suasana salah satu sudut Kota Zermatt, Swiss (kiri)
KOTA: Suasana salah satu sudut Kota Zermatt, Swiss (kiri)

Zermatt sungguh daerah yang tenang. Banyak mobil, tapi tidak bising. Karena semua kendaraan: taksi, angkot, bus, kereta, yang lalu-lalang di kota itu nyaris tak mengeluarkan suara. Kecuali suara gesekan roda yang menggelinding di atas aspal. Prototipe mini suasana Kota Zermatt agak mirip dengan arena mainan anak-anak boom-boom car di tempat-tempat hiburan.

Mobil meluncur ke sana-kemari, tapi tak dibarengi raung suara yang keluar dari knalpot. Selain sarana transportasi yang ada di jalan raya, kereta angkutan masal antarkota dan pengangkut wisatawan ke puncak-puncak pegunungan pun semuanya bertenaga listrik. Tak ada yang menggunakan BBM.

Karena letaknya di ketinggian punggung Pegunungan Alpen, untuk mencapai Zermatt mestinya tak mudah. Dari arah penjuru mana pun tak ada daratan yang landai-datar. Yang ada hanyalah tebing-tebing curam diselimuti salju. Olah teknologilah yang membuat kesulitan itu menemukan cara-cara sangat mudah.

Kira-kira 16 kilometer sebelum memasuki Kota Zermatt, jalan raya sudah habis ujungnya. Mobil dan semua kendaraan berbahan bakar minyak yang hendak ke Zermatt harus berhenti di Tasch. Setelah Tasch, yang ada hanyalah bentangan pegunungan batu.

Sebelum masuk Kota Tasch, mobil-mobil berbahan bakar minyak memang bisa dikendarai di jalan raya. Tapi, karena tak semua tebing batu memungkinkan dikepras dan dibikin terowongan untuk dijadikan jalan raya, terpaksa dibuat jalan sambungan berupa rel yang keretanya didesain khusus untuk mengangkut mobil-mobil itu.

Desain gerbong dan posisi rel dibuat sedemikian rupa, sehingga mobil yang berderet antre akan langsung bisa naik ke gerbong secara cepat. Setelah rangkaian gerbong penuh terisi mobil “semua penumpangnya tak perlu turun” kereta akan langsung berangkat. Setelah kurang lebih 20 menit, kereta berhenti, dan mobil kembali meneruskan perjalanan melalui jalan darat lagi hingga bertemu stasiun kereta Tasch.

Di sinilah para pemilik mobil harus meninggalkan mobilnya. Disediakan tempat parkir yang amat luas karena harus menampung banyaknya kendaraan wisatawan yang hendak ke Zermatt.
Perjalanan dilanjutkan dengan kereta listrik yang dinding kanan-kiri dan sebagian atapnya terbuat dari kaca.

Dengan demikian, selama perjalanan penumpang bisa menikmati pemandangan di kanan-kiri dan pucuk-pucuk pegunungan batu yang tertutup salju. Selama musim dingin suhu bisa di kisaran minus 5 derajat Celsius. Maka, kereta juga dilengkapi penghangat ruangan agar penumpang merasa nyaman selama perjalanan.

Setelah sampai di Stasiun Gornergrat Bahn, para penumpang yang keluar stasiun akan langsung disambut suasana kota yang betul-betul beda. Mobil-mobil listrik, baik taksi, angkot untuk para pemain ski, bus, dan mobil khusus penjemput tamu hotel, semuanya bertenaga listrik.

Ada juga kendaraan yang tidak digerakkan oleh tenaga listrik, tapi tetap diizinkan beroperasi. Yaitu, kereta kuda. Di pojok terminal depan stasiun, dokar yang ditarik empat kuda itu pun ikut antre di antara taksi-taksi yang menunggu penumpang. Begitu taksi dan angkot penuh penumpang, sopir akan langsung membawa kendaraannya melaju tanpa suara.

Dari desainnya, terasa betul bila visi lingkungan sangat diutamakan di kota ini. Taksi, misalnya, rasanya belum sebaik mobil listrik buatan Kang Dasep yang disuport oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Bentuknya betul-betul kotak, tidak aerodinamis, tapi yang penting bisa jalan seperti yang diinginkan. Mobil-mobil pengangkut wisatawan yang hendak bermain ski juga begitu.

Bisa membawa enam orang, termasuk peralatan skinya, bodinya seperti kardus kapur tulis. Yang agak bagus adalah model busnya. Dengan harga tiket kira-kira Rp30 ribu para wisatawan bisa berputar-putar keliling Kota Zermatt.

Tempat pengisian ‘BBM’-nya tersedia di banyak tempat. Bentuknya hanya berupa colokan listrik seperti halnya tempat untuk menyetrum handphone. Di depan lobi hotel pun tersedia tempat-tempat penge-charge-an. Sebab, semua hotel di Zermatt mempunyai armada mobil listrik sendiri untuk menjemput para tamu yang tiba di Stasiun Gornergrat Bahn.

Yang juga ciamik adalah kereta listrik pengangkut para penumpang untuk menjangkau tebing-tebing yang lebih tinggi guna mencari tempat start bermain ski. Kereta listrik yang mampu melaju di tanjakan terjal itu konstruksi relnya tiga jalur.

Rel bagian tengah berupa bentangan bergerigi. Semula, saya mengira, ketika menaikinya akan terasa seperti berada di kereta pengangkut penumpang pada wahana Jurassic Park di Universal Studio atau Taman Impian Jaya Ancol.

etika menanjak tautan geriginya akan terdengar gemertak karena harus menggeret gerbong kereta yang panjang. Ternyata tidak. Barangkali karena sangat presisi pertemuan gerigi rel dan gerigi yang menempel di bawah gerbong, suara kereta menjadi sangat halus.

“Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan sudah mencoba kereta ini beberapa waktu lalu,” kata Djoko Susilo, duta besar RI untuk Swiss, yang menemani saya sehari penuh.

Semakin ke puncak suhu semakin menusuk tulang. Membuka sarung tangan agar bisa memencet tombol kamera pun rasanya tak sanggup. Nah, ketika hendak keluar stasiun, saya kesulitan menemukan tiket yang saya lupa menaruhnya di saku mana.

Tiket itu mestinya dipakai sebagai kartu pembuka pintu stasiun. Saku jaket, saku baju, saku baju lagi “karena pakai baju rangkap dua” saku celana, saya rogoh semua. Tapi, tiket tetap tak ketemu.

Tahu saya tak bisa membuka pintu, petugas stasiun yang berjaga hanya seorang diri lantas keluar ruangan. Saya diminta menggeser-geserkan dada, bokong, tas, yang mungkin menjadi tempat terselipnya tiket. Cara itu manjur. Begitu bokong saya tempelkan sensor, pintu terbuka. Rupanya saya lupa kalau telah memasukkan tiket di saku belakang celana.

Di stasiun teratas, jarak menuju puncak tertinggi Pegunungan Alpen, yaitu Matterhorn, sudah seperti di depan hidung. Matahari bersinar terang, tapi kuping seperti mengeras karena membeku. Karena tak kuat menahan dingin, begitu ada kereta listrik yang turun kembali ke kota, saya cepat-cepat masuk.
Usai musim dingin, selepas Maret, salju akan berangsur mencair.

Pohon-pohon kembali memunculkan daun. Zermatt yang di musim dingin diselimuti salju akan berubah dikelilingi aneka bunga. Puncak-puncak Alpen akan tetap bersalju, tapi orang sudah tak lagi bisa bermain ski di kemiringan tebing-tebingnya.

Di saat itu, yang datang ke Zermatt pun berganti. Kebanyakan pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu. Yang butuh kehangatan, tidak bising karena lalu-lalang mobil, dan tidak polusi. (*)

Keinginan keras Menteri BUMN Dahlan Iskan agar Indonesia segera mampu membuat dan memasalkan mobil listrik bukanlah gagasan yang meng-awang-awang. Di Zermatt, Swiss, semua sarana transportasinya meng-gunakan tenaga listrik. Tak satu pun kendaraan berbahan bakar minyak (BBM) diizinkan masuk di kota yang terletak di atas awan, di punggung Alpen, itu Swiss punya banyak daya pikat.

LEAK KUSTIYA, Zermatt

Jam tangan dengan keawetan turun-temurun, wine, panorama putih salju, hingga tantangan penaklukan puncak Alpen, Matterhorn. Satu lagi yang menjadi kebanggaan Swiss adalah keunikan Zermatt. Kota yang berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut itu menjadi tujuan wisata yang populer di Eropa karena sikapnya yang tegas: menolak polusi asap dan suara knalpot kendaraan.

KOTA: Suasana salah satu sudut Kota Zermatt, Swiss (kiri)
KOTA: Suasana salah satu sudut Kota Zermatt, Swiss (kiri)

Zermatt sungguh daerah yang tenang. Banyak mobil, tapi tidak bising. Karena semua kendaraan: taksi, angkot, bus, kereta, yang lalu-lalang di kota itu nyaris tak mengeluarkan suara. Kecuali suara gesekan roda yang menggelinding di atas aspal. Prototipe mini suasana Kota Zermatt agak mirip dengan arena mainan anak-anak boom-boom car di tempat-tempat hiburan.

Mobil meluncur ke sana-kemari, tapi tak dibarengi raung suara yang keluar dari knalpot. Selain sarana transportasi yang ada di jalan raya, kereta angkutan masal antarkota dan pengangkut wisatawan ke puncak-puncak pegunungan pun semuanya bertenaga listrik. Tak ada yang menggunakan BBM.

Karena letaknya di ketinggian punggung Pegunungan Alpen, untuk mencapai Zermatt mestinya tak mudah. Dari arah penjuru mana pun tak ada daratan yang landai-datar. Yang ada hanyalah tebing-tebing curam diselimuti salju. Olah teknologilah yang membuat kesulitan itu menemukan cara-cara sangat mudah.

Kira-kira 16 kilometer sebelum memasuki Kota Zermatt, jalan raya sudah habis ujungnya. Mobil dan semua kendaraan berbahan bakar minyak yang hendak ke Zermatt harus berhenti di Tasch. Setelah Tasch, yang ada hanyalah bentangan pegunungan batu.

Sebelum masuk Kota Tasch, mobil-mobil berbahan bakar minyak memang bisa dikendarai di jalan raya. Tapi, karena tak semua tebing batu memungkinkan dikepras dan dibikin terowongan untuk dijadikan jalan raya, terpaksa dibuat jalan sambungan berupa rel yang keretanya didesain khusus untuk mengangkut mobil-mobil itu.

Desain gerbong dan posisi rel dibuat sedemikian rupa, sehingga mobil yang berderet antre akan langsung bisa naik ke gerbong secara cepat. Setelah rangkaian gerbong penuh terisi mobil “semua penumpangnya tak perlu turun” kereta akan langsung berangkat. Setelah kurang lebih 20 menit, kereta berhenti, dan mobil kembali meneruskan perjalanan melalui jalan darat lagi hingga bertemu stasiun kereta Tasch.

Di sinilah para pemilik mobil harus meninggalkan mobilnya. Disediakan tempat parkir yang amat luas karena harus menampung banyaknya kendaraan wisatawan yang hendak ke Zermatt.
Perjalanan dilanjutkan dengan kereta listrik yang dinding kanan-kiri dan sebagian atapnya terbuat dari kaca.

Dengan demikian, selama perjalanan penumpang bisa menikmati pemandangan di kanan-kiri dan pucuk-pucuk pegunungan batu yang tertutup salju. Selama musim dingin suhu bisa di kisaran minus 5 derajat Celsius. Maka, kereta juga dilengkapi penghangat ruangan agar penumpang merasa nyaman selama perjalanan.

Setelah sampai di Stasiun Gornergrat Bahn, para penumpang yang keluar stasiun akan langsung disambut suasana kota yang betul-betul beda. Mobil-mobil listrik, baik taksi, angkot untuk para pemain ski, bus, dan mobil khusus penjemput tamu hotel, semuanya bertenaga listrik.

Ada juga kendaraan yang tidak digerakkan oleh tenaga listrik, tapi tetap diizinkan beroperasi. Yaitu, kereta kuda. Di pojok terminal depan stasiun, dokar yang ditarik empat kuda itu pun ikut antre di antara taksi-taksi yang menunggu penumpang. Begitu taksi dan angkot penuh penumpang, sopir akan langsung membawa kendaraannya melaju tanpa suara.

Dari desainnya, terasa betul bila visi lingkungan sangat diutamakan di kota ini. Taksi, misalnya, rasanya belum sebaik mobil listrik buatan Kang Dasep yang disuport oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan. Bentuknya betul-betul kotak, tidak aerodinamis, tapi yang penting bisa jalan seperti yang diinginkan. Mobil-mobil pengangkut wisatawan yang hendak bermain ski juga begitu.

Bisa membawa enam orang, termasuk peralatan skinya, bodinya seperti kardus kapur tulis. Yang agak bagus adalah model busnya. Dengan harga tiket kira-kira Rp30 ribu para wisatawan bisa berputar-putar keliling Kota Zermatt.

Tempat pengisian ‘BBM’-nya tersedia di banyak tempat. Bentuknya hanya berupa colokan listrik seperti halnya tempat untuk menyetrum handphone. Di depan lobi hotel pun tersedia tempat-tempat penge-charge-an. Sebab, semua hotel di Zermatt mempunyai armada mobil listrik sendiri untuk menjemput para tamu yang tiba di Stasiun Gornergrat Bahn.

Yang juga ciamik adalah kereta listrik pengangkut para penumpang untuk menjangkau tebing-tebing yang lebih tinggi guna mencari tempat start bermain ski. Kereta listrik yang mampu melaju di tanjakan terjal itu konstruksi relnya tiga jalur.

Rel bagian tengah berupa bentangan bergerigi. Semula, saya mengira, ketika menaikinya akan terasa seperti berada di kereta pengangkut penumpang pada wahana Jurassic Park di Universal Studio atau Taman Impian Jaya Ancol.

etika menanjak tautan geriginya akan terdengar gemertak karena harus menggeret gerbong kereta yang panjang. Ternyata tidak. Barangkali karena sangat presisi pertemuan gerigi rel dan gerigi yang menempel di bawah gerbong, suara kereta menjadi sangat halus.

“Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan sudah mencoba kereta ini beberapa waktu lalu,” kata Djoko Susilo, duta besar RI untuk Swiss, yang menemani saya sehari penuh.

Semakin ke puncak suhu semakin menusuk tulang. Membuka sarung tangan agar bisa memencet tombol kamera pun rasanya tak sanggup. Nah, ketika hendak keluar stasiun, saya kesulitan menemukan tiket yang saya lupa menaruhnya di saku mana.

Tiket itu mestinya dipakai sebagai kartu pembuka pintu stasiun. Saku jaket, saku baju, saku baju lagi “karena pakai baju rangkap dua” saku celana, saya rogoh semua. Tapi, tiket tetap tak ketemu.

Tahu saya tak bisa membuka pintu, petugas stasiun yang berjaga hanya seorang diri lantas keluar ruangan. Saya diminta menggeser-geserkan dada, bokong, tas, yang mungkin menjadi tempat terselipnya tiket. Cara itu manjur. Begitu bokong saya tempelkan sensor, pintu terbuka. Rupanya saya lupa kalau telah memasukkan tiket di saku belakang celana.

Di stasiun teratas, jarak menuju puncak tertinggi Pegunungan Alpen, yaitu Matterhorn, sudah seperti di depan hidung. Matahari bersinar terang, tapi kuping seperti mengeras karena membeku. Karena tak kuat menahan dingin, begitu ada kereta listrik yang turun kembali ke kota, saya cepat-cepat masuk.
Usai musim dingin, selepas Maret, salju akan berangsur mencair.

Pohon-pohon kembali memunculkan daun. Zermatt yang di musim dingin diselimuti salju akan berubah dikelilingi aneka bunga. Puncak-puncak Alpen akan tetap bersalju, tapi orang sudah tak lagi bisa bermain ski di kemiringan tebing-tebingnya.

Di saat itu, yang datang ke Zermatt pun berganti. Kebanyakan pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu. Yang butuh kehangatan, tidak bising karena lalu-lalang mobil, dan tidak polusi. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/