27 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Dulu Tak Boleh Kritik, Kini Bisa Menyuruh

Konflik di Libya ternyata menyadarkan para penguasa di kawasan Arab dan Timur Tengah. Setelah Presiden Syria Bashar Al-Assad menyerukan kepada para kolega agar lebih mau mendengarkan dan menyerap aspirasi rakyat, hal serupa disuarakan pemimpin Jordania yang tengah terjepit, Raja Abdullah II.

Dalam pernyataan resmi dari istana yang juga diterima Jawa Pos berkat perantaraan seorang teman di kantor berita Jordania Petra, Abdullah menegaskan perlunya reformasi politik. “Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Kepartaian harus ditinjau ulang agar bisa memenuhi konsensus semua lapisan masyarakat,” kata Abdullah dalam pertemuan dengan para petinggi partai di Amman.

Untuk itu, Abdullah mengagendakan dialog nasional dengan semua kalangan. Itu dilakukan agar semua kepentingan elemen masyarakat terwakili. “Kita harus memulai fase baru dan tak perlu takut karenanya,” kata pengganti sang ayah, mendiang Raja Hussein, tersebut.

Apa yang disuarakan Abdullah barangkali isyarat keterbukaan paling terang benderang dari seorang pemimpin di kawasan Arab dan Timur. Yang lain memang setuju melakukan sejumlah perubahan menyusul revolusi di Tunisia dan Mesir yang sukses mengulingkan diktator di kedua negara tersebut. Tapi, mereka masih tampak malu-malu dan belum jelas formulanya.

Bentuk keterbukaan lain yang ditawarkan rezim berkuasa di Jordania adalah dalam bentuk akun Facebook. Si ratu Jordania yang jelita, Ratu Rania, sudah lama punya akun di jejaring sosial paling digemari di dunia itu. Juga di Twitter.

Di kedua akun pribadinya itu, Rania rutin menuliskan berbagai aktivitas serta keprihatinan atau dukungannya terhadap sejumlah hal. ?Hentikan pembunuhan kepada rakyat Libya,? tulisnya di Twitter pekan lalu saat rezim Moammar Khadafi kian brutal menghadapi perlawanan rakyat Libya.

Lewat Facebook pula, siapa saja bisa menyampaikan keluhan langsung kepada raja atau ratu. Atau mungkin permintaan agar menindak aparat yang tak beres bekerja. Semuanya itu termasuk kemajuan luar biasa. Sebab, dulu, jangankan ?menyuruh,? sekadar mengkritik raja di muka umum bisa berbuntut penjara tiga tahun.
Kaum oposisi pun menyambut baik tawaran keterbukaan dari istana itu. Meski belum sepenuhnya menjawab tuntutan mereka, setidaknya itu sudah sejalan dengan yang mereka suarakan.

“Raja memang harus melakukan perubahan kalau tidak ingin revolusi di negeri ini kian membesar,” kata Hamza Mansour, ketua Partai Aksi Front Islam, kelompok oposisi terbesar di Jordania, yang juga punya akun Facebook itu. (c2/ttg/jpnn)

Konflik di Libya ternyata menyadarkan para penguasa di kawasan Arab dan Timur Tengah. Setelah Presiden Syria Bashar Al-Assad menyerukan kepada para kolega agar lebih mau mendengarkan dan menyerap aspirasi rakyat, hal serupa disuarakan pemimpin Jordania yang tengah terjepit, Raja Abdullah II.

Dalam pernyataan resmi dari istana yang juga diterima Jawa Pos berkat perantaraan seorang teman di kantor berita Jordania Petra, Abdullah menegaskan perlunya reformasi politik. “Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Kepartaian harus ditinjau ulang agar bisa memenuhi konsensus semua lapisan masyarakat,” kata Abdullah dalam pertemuan dengan para petinggi partai di Amman.

Untuk itu, Abdullah mengagendakan dialog nasional dengan semua kalangan. Itu dilakukan agar semua kepentingan elemen masyarakat terwakili. “Kita harus memulai fase baru dan tak perlu takut karenanya,” kata pengganti sang ayah, mendiang Raja Hussein, tersebut.

Apa yang disuarakan Abdullah barangkali isyarat keterbukaan paling terang benderang dari seorang pemimpin di kawasan Arab dan Timur. Yang lain memang setuju melakukan sejumlah perubahan menyusul revolusi di Tunisia dan Mesir yang sukses mengulingkan diktator di kedua negara tersebut. Tapi, mereka masih tampak malu-malu dan belum jelas formulanya.

Bentuk keterbukaan lain yang ditawarkan rezim berkuasa di Jordania adalah dalam bentuk akun Facebook. Si ratu Jordania yang jelita, Ratu Rania, sudah lama punya akun di jejaring sosial paling digemari di dunia itu. Juga di Twitter.

Di kedua akun pribadinya itu, Rania rutin menuliskan berbagai aktivitas serta keprihatinan atau dukungannya terhadap sejumlah hal. ?Hentikan pembunuhan kepada rakyat Libya,? tulisnya di Twitter pekan lalu saat rezim Moammar Khadafi kian brutal menghadapi perlawanan rakyat Libya.

Lewat Facebook pula, siapa saja bisa menyampaikan keluhan langsung kepada raja atau ratu. Atau mungkin permintaan agar menindak aparat yang tak beres bekerja. Semuanya itu termasuk kemajuan luar biasa. Sebab, dulu, jangankan ?menyuruh,? sekadar mengkritik raja di muka umum bisa berbuntut penjara tiga tahun.
Kaum oposisi pun menyambut baik tawaran keterbukaan dari istana itu. Meski belum sepenuhnya menjawab tuntutan mereka, setidaknya itu sudah sejalan dengan yang mereka suarakan.

“Raja memang harus melakukan perubahan kalau tidak ingin revolusi di negeri ini kian membesar,” kata Hamza Mansour, ketua Partai Aksi Front Islam, kelompok oposisi terbesar di Jordania, yang juga punya akun Facebook itu. (c2/ttg/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/