Oposisi Duduki Kota dekat Tripoli
TRIPOLI-Pemimpin Libya Muammar Kadhafi makin terjepit. Tak hanya mendapat perlawanan dari rakyat dan mantan pejabatnya yang membangkang, tokoh yang telah berkuasa lebih dari 41 tahun itu juga menjadi sasaran kecaman komunitas internasional. Sejumlah pemimpin dunia secara kompak mendesak Kadhafi agar mengundurkan diri.
Malah Presiden AS Barack Obama minta Kadhafi mundur sekarang juga. Obama menuturkan bahwa Kadhafi sudah kehilangan hak untuk memerintah setelah terbukti menyerang dan membantai ribuan warganya yang menentang pemerintahannya.
Tuntutan langsung Obama agar Kadhafi mundur itu disampaikan dalam komunikasinya lewat telepon dengan Kanselir Jerman Angela Merkel kemarin (27/2). Kedua tokoh tersebut merespons krisis Libya dan berupaya melakukan koordinasi terkait apa saja tindakan yang mesti diambil.
“Presiden menyatakan bahwa ketika satu-satunya cara yang digunakan pemimpin untuk tetap berkuasa adalah penggunaan kekerasan masal atas warganya, dia telah kehilangan legitimasi. Jadi, yang harus dia lakukan adalah mundur saat ini juga,” kata Gedung Putih mengutip pernyataan Obama.
Sikap Merkel juga senada. Dia kemarin mendesak supaya tokoh yang berkuasa di Libya lewat kudeta pada 1969 itu mengundurkan diri. Menurut Merkel, keputusan Dewan Keamanan (DK) yang menentang rezim Libya merupakan sinyal bagi semua penguasa sewenang-wenang atau tiran.
“Waktunya sudah tiba bagi dia (Kadhafi) untuk mundur. Keputusan aklamasi DK PBB merupakan sinyal kuat bagi Kadhafi dan rezim tiran lain bahwa pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM) tak akan diterima,” papar Merkel dalam pernyataannya. Dia juga memuji komunitas internasional yang telah mengutuk tindakan kekerasan Kadhafi.
Sebelumnya, DK PBB melakukan pemungutan suara (voting) terkait krisis di Libya. Lebih dari 2 ribu orang warga Libya diperkirakan tewas akibat pembantaian tentara Kadhafi. Hasilnya, 15 negara anggota secara mutlak menyetujui investigasi terkait kejahatan terhadap kemanusiaan di Libya. DK PBB juga menyetujui embargo senjata atas Libya. Selain itu, para tokoh, keluarga, dan pejabat rezim Kadhafi dilarang ke luar negeri. Seluruh asset terkait dengan Kadhafi, keluarganya, dan semua kroninya di luar negeri dibekukan.
Resolusi DK PBB juga mengutuk pelanggaran HAM secara sistematis, termasuk penindasan atas para demonstran yang berunjuk rasa secara damai. Tetapi, resolusi itu tidak sampai menuntut Kadhafi turun dari kekuasaan.
Sebelumnya, Menlu AS Hillary Rodham Clinton mengritik kekejaman rezim yang berkuasa di Libya. “Muammar Kadhafi telah kehilangan kepercayaan rakyatnya. Dia harusnya pergi tanpa melakukan aksi kekerasan dan pertumpahan darah lebih banyak,” kata Clinton. “Rakyat Libya layak memiliki dan membentuk pemerintahan yang responsif terhadap aspirasi mereka serta juga melindungi HAM secara universal,” lanjutnya.
Selain itu, AS juga telah mengambil tindakan lain. Misalnya, Obama telah meneken instruksi yang tegas melarang warga dan institusi AS melakukan transaksi dengan Libya. Pemerintah AS juga membekukan aset milik keluarga Kadhafi di negara tersebut. Inggris dan Swiss juga telah membekukan aset dan rekening milik keluarga Kadhafi di sejumlah bank negara itu.
Sejumlah pemimpin dunia lainnya, terutama dari Barat, menyuarakan sikap yang sama. Pemerintah Inggris, melalui Menlu William Hague, kemarin juga mendesak agar Kadhafi mundur. Sikap yang sama juga disampaikan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy dan Perdana Menteri (PM) Italia Silvio Berlusconi.
Tindakan tegas PBB dan sikap sejumlah pemimpin dunia langsung mendapat respons positif dari mantan pejabat Libya. Mantan Wakil Dubes Libya di PBB yang telah mundur Ibrahim Dabbashi memuji bahwa langkah DK PBB akan memberikan dukungan moral bagi rakyat Libya. “(Resolusi DK PBB) itu akan membantu mengakhiri rezim fasis yang saat ini masih bertahan di Tripoli,” tegasnya.
Dalam perkembangan lain, situasi di Libya masih memanas. Tetapi, demonstran bersama oposisi dan tentara yang membangkang terus memperluas kontrol atas wilayah di Libya.
Pemberontak bersenjata yang menentang rezim Kadhafi kemarin dikabarkan berhasil menguasai Kota Zawiyah, yang berjarak sekitar 50 km sebelah barat Tripoli. Reuters memberitakan bahwa pemberontak memasang bendera Libya berwarna merah, hijau, dan hitam di sebuah bangunan di pusat kota. Lalu, ratusan orang terdengar berteriak. “Kinilah saatnya revolusi kami,” teriak mereka.
Tujuh orang tewas dalam bentrok antara tentara pro-Kadhafi dan demonstran pada Sabtu malam lalu (26/2) di Zawiyah. Puluhan lainnya luka-luka. Kota tersebut porak-poranda akibat bentrok di antara dua kubu. Bangunan-bangunan di pusat kota terbakar. Lubang peluru terlihat di mana-mana. Puing-puing kendaraan yang terbakar tergeletak di jalan-jalan.
Para wartawan disambut ribuan demonstran yang memadati Lapangan Martir, pusat Kota Zawiyah. Beberapa pria menembakkan senjata ke udara. Tidak satu pun pasukan keamanan Libya terlihat di jalan-jalan kota berpenduduk 200 ribu itu kemarin.
“Hari ini (kemarin) Zawiyah telah bebas (dari rezim Kadhafi) seperti halnya Misrata dan Benghazi. Kadhafi sudah gila. Pasukan dan milisinya menembaki kami secara membabi buta dengan roket dan granat,” tutur Mustafa, seorang demonstran.
Perkembangan di Zawiyah tersebut menjadi suatu indikasi bahwa kekuasaan Kadhafi makin tenggelam. Kamis lalu (24/2) Kadhafi menuding warga kota itu disusupi jaringan Al Qaidah. Kadhafi juga menuduh pemuda kota tersebut dibuat mabuk oleh narkoba yang diberikan kekuatan asing.
Dengan jatuhnya Zawiyah, demonstran dan oposisi tampaknya siap merebut Tripoli. Pasukan keamanan Kadhafi masih menduduki ibu kota. Sedikitnya, ada enam pos pemeriksaan yang dikuasai tentara Kadhafi di sepanjang jalan dari Tripoli ke Zawiyah. Setiap pos dilengkapi sedikitnya satu tank.
Oposisi dan pemberontak telah mengantisipasi pula kemungkinan jatuhnya Kadhafi. Hal itu terbukti dari terbentuknya pemerintahan sementara oleh kubu pemberontak dan oposisi. Eks Menteri Kehakiman Mustafa Abdel-Jalil yang mengundurkan diri telah ditunjuk sebagai kepala pemerintahan sementara.
Menurut anggota Dewan Kota Benghazi Fathi Baja, kota-kota Libya yang dikuasai pemberontak telah setuju menunjuk Abdel-Jalil. Dia dipilih oleh komite yang mengelola sejumlah kota di timur Libya. Sejumlah tokoh dan tentara yang membangkang juga dilibatkan dalam pemerintahan sementara itu.
235 WNI Tiba Hari Ini
Perusahaan-perusahaan Indonesia yang memiliki proyek di Libya segera memulangkan para pekerjanya guna menghindari kondisi yang semakin memburuk. Mereka berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Indonesia di Tripoli dan Tunisia demi kelancaran evakuasi.
“Sebanyak 201 dari 253 WNI yang dievakuasi dari Libya ke Tunisia adalah tenaga kerja WIKA Gedung-SSI Overseas. Rencananya, Senin besok (hari ini), mereka akan mulai dipulangkan dari Tunisia ke Jakarta,” ujar Sekretaris KSO WIKA Gedung-SSI Overseas, Galuh Riandoyo kemarin. Pemulangan para pekerja konstruksi itu akan dilakukan secara bertahap dengan menggunakan pesawat komersial reguler yang melayani jalur penerbangan Tunis-Jakarta.
Galuh menyebut, sebanyak 201 pekerja ini telah berhasil dievakuasi dari Tripoli Libya dengan menggunakan pesawat TunisAir menuju Tunisia. Mereka diberangkatkan dari airport Tripoli pada Minggu (27/2) sekitar jam 5.15 WIB atau jam 00.15 Waktu Tripoli dan mendarat di airport Tunis sekitar jam 6.30 WIB atau 00:30 waktu Tunis. “Perbedaan waktu antara Jakarta-Tripoli lima jam, kalau Jakarta-Tunis enam jam,” sebutnya.
Menurut Galuh, sudah sejak seminggu lalu pihak perusahaan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar RI di Tripoli dan Tunisia untuk pemulangan TKI itu. Ada beberapa skenario evakuasi, antara lain menggunakan pesawat carter Garuda Jakarta-Tripoli atau transit melalui Tunisia dan Yordania. “Ada juga skenario evakuasi melalui jalur laut Malta,” sambungnya.
Namun akhirnya evakuasi lewat udara ke Tunisia yang dipilih. Hal ini juga mendapat kendala akibat penuh seaknya bandara Tripoli akibat orang-orang yang ingin pergi dari Libya. “Tapi padatnya lalu lintas udara Tripoli serta kondisi airport Tripoli yang penuh dengan pengungsi mengakibatkan proses imigrasi menjadi berjalan sangat lama,” kata dia.
PT Pertamina juga memutuskan menarik seluruh karyawannya yang berada di Libya. Ini menyusul pecahnya gelombang demonstrasi besar-besaran yang menuntut pemimpin negeri itu, Muammar Khadafi, mundur dari jabatannya. Pertamina telah menghubungi Kedutaan Besar Indonesia di Libya untuk mengevakuasi karyawannya. “Kami tidak bertindak sendiri, tapi dengan KBRI di sana,” ujar Juru bicara PT Pertamina Mochammad Harun.
PT Pertamina mengelola blok Sirt dan Sabrata di lepas pantai Libya melalui Pertamina E&P Libya Limited. Perusahaan ini melakukan eksplorasi dan produksi minyak dan gas di bawah Perjanjian Eksplorasi dan Produksi (EPSA) dengan National Oil Corporation (NOC). Namun operasi Pertamina di Libya saat ini sudah berhenti. “Masih ada yang tinggal sedikit, paling karyawan kantor yang mengurus keperluan administrasi,” tukasnya.
Direktur Medco Lukman Mahfoedz mengatakan pihaknya juga sedang mengevakuasi karyawannya di Libya. Eksplorasi migas perseroan di Libya yang di operatori Medco Internasional Venture Limited (MIVL ) di Area 47 Libya terpaksa dihentikan sementara. “Disitu ada sekitar 80 staf, sekitar 85 persennya orang lokal (asli Libya) sehingga tidak perlu evakuasi,” tuturnya.
Menurut dia, Medco cukup beruntung karena banyak mempekerjakan warga lokal. Dengan begitu, Meddco hanya mengevakuasi sekitar 15 persen karyawan yang merupakan ekspatriat multinational, termasuk warga negara Indonesia (WNI). “Kebanyakan mereka juga sedang field break (cuti). Ada empat orang yang sedang proses pemulangan ke Indonesia dan Eropa,” jelasnya.
Terkait keteganan di Libya, Presiden AS, Barack Obama untuk pertama kalinya bersuara keras. Seperti dilansir AFP kemarin, Obama menyatakan, Muammar Kadhafi harus enyah dari Libya karena telah kehilangan legitimasi untuk memerintah.
Posisi Obama ini terungkap saat bertelepon dengan Kanselir Jerman Angela Merkel untuk mengkoordinasi usaha merespons krisis di Libya. “Presiden menyatakan ketika seorang pemimpin mempertahankan kekuasaannya dengan menggunakan kekerasan massal pada rakyatnya sendiri, dia telah kehilangan legitimasi untuk memerintah dan harus melakukan apa yang benar untuk negaranya dengan pergi sekarang,” ujarnya.
Gedung Putih mengatakan Obama dan Merkel membahas cara tepat dan efektif bagi komunitas internasional untuk menanggapi krisis Libya. (rtr/ap/afp/jpnn)