26 C
Medan
Monday, July 8, 2024

Keluarga Kerajaan Terlalu Lama Dibuai Harta

BRITAIN-ROYALS-BABYDI tengah euforia masyarakat Inggris, khususnya kelompok royalist, terhadap kelahiran George Alexander Louis alias Prince George of Cambridge, kubu prorepublik justru mengkritisi kekayaan
Kerajaan Inggris.
Kelompok yang tidak menganggap kelahiran putra Pangeran William dan Kate Middleton sebagai peristiwa penting tersebut menganggap bahwa rakyat sudah terlalu lama membuai keluarga besar Ratu Elizabeth II dengan kenikmatan finansial.
Pengaruh kerajaan terhadap dunia politik Inggris sudah nyaris hilang, namun tidak demikian dalam hal perekonomian. Hingga detik ini, Eamon Murphy –penulis senior di harian Daily Finance– menjelaskan, Elizabeth dan keturunannya masih menuai banyak keuntungan dari rakyatn
Tidak sekadar memiliki banyak harta yang turun-temurun di seantero negeri, keluarga kerajaan Inggris juga mendapat alokasi dana khusus dari pemerintah. Khususnya, dari sektor pajak.
Pada 2010, kubu republik membeberkan laporan keuangan yang diberi judul ’’The Value for Money Monarchy’ Myth’’. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa para pembayar pajak menyumbangkan dana sebesar GBP 202,4 juta atau setara dengan Rp3,19 triliun untuk kerajaan. ’’Dana tersebut terkumpul dari wajib pajak Inggris pada 2009,’’ terang pendukung republik itu secara tertulis. Jumlah tersebut lima kali lipat lebih banyak dibanding pendapatan pajak yang dilaporkan kerajaan.
Menurut tokoh-tokoh republik, sebagian besar pendapatan pajak yang masuk kerajaan itu digunakan untuk membiayai aktivitas istana. Yakni, keamanan dan kunjungan-kunjungan resmi kerajaan. ’’Termasuk, beban yang harus ditanggung rakyat karena hak istimewa para bangsawan. Salah satunya, hak untuk tidak membayar pajak,’’ paparnya dalam tulisannya tentang kekayaan Kerajaan Inggris pada Rabu (24/7) lalu.
Sejak lama, kubu republik menantang kerajaan untuk memerinci harta dan melaporkan kekayaan mereka secara transparan. Namun, kerajaan tidak pernah meladeni tantangan tersebut. Setiap tahun, pihak kerajaan hanya melaporkan anggaran pendapatan dan belanja yang bersifat formalitas belaka.
Harta kerajaan yang sebagian besar berbentuk tanah dan bangunan tersebut juga tidak pernah masuk daftar laporan. Padahal, properti kerajaan yang banyak itu bebas pajak.

Pendapatan Ratu Rp 569 M
Sebagai pemimpin monarki, Elizabeth berhak atas Crown Estate. Nilai nominal gugus properti mewah tersebut mencapai GBP 8,1 miliar (sekitar Rp127,78 triliun). ’’Sebagian besar bangunan megah di sisi barat London merupakan bagian dari Crown Estate,’’ tutur Murphy.
Selain bangunan, Crown Estate meliputi sedikitnya lima belas ritel, antara lain, pusat perbelanjaan, perkantoran, pertanian, dan hutan yang tersebar di beberapa kota besar di Inggris.
Menurut BBC, lima belas persen dari total pendapatan tahunan bangunan komersial Crown Estate tersebut masuk kas kerajaan, sedangkan sisa 85 persen masuk kas negara.
Meski hanya menguasai 15 persen dari total pendapatan tahunan hartanya, Elizabeth menerima pendapatan yang tidak sedikit. ’’Sovereign Grant untuk Ratu Elizabeth mencapai GBP 36,1 juta (sekitar Rp569,5 miliar),’’ ucap media Inggris itu.
Rencananya, Sovereign Grant yang diambil dari 5 persen bagian kerajaan tersebut naik mulai tahun depan. Sovereign Grant yang sepenuhnya menjadi hak Elizabeth itu akan meningkat menjadi GBP 37,89 juta (sekitar Rp597,7 miliar) mulai 2014.
Dalam situs resminya, kerajaan menyebutkan, pembagian pendapatan Crown Estate merujuk pada kesepakatan pada 1760. Tepatnya, saat Inggris berada di bawah komando Raja George III.
Meski kesepakatan dan ketetapan tersebut berlaku selama berabad-abad, kubu republik menegaskan bahwa Crown Estate bukanlah milik monarki. ’’Faktanya, Crown Estate adalah properti milik rakyat Inggris. Windsor (Kerajaan Inggris) tidak berhak atas properti tersebut seperti halnya perdana menteri (PM) yang tidak berhak atas Kantor PM di Downing Street 10,’’ papar republik.

Media pun Punya Dua Versi
Di sisi lain, berita The Guardian punya dua wajah terkait kelahiran penuerus tahta urutan ketiga di Kerajaan Inggris itu. Pengunjung situs itu bisa memilih dua model pemberitaan. Mau versi royalist (pendukung monarki) atau republican (penentang monarki).
Kalau pilih royalist, beritanya full soal pernik-pernik persalinan Duchess of Cambridge tersebut. Mulai masyarakat yang memenuhi jalan di depan Rumah Sakit St Mary, detail suksesi kerajaan, biografi Middleton, hingga sebuah berita utama tentang mantan dokter ahli kandungan Ratu Elizabeth yang memimpin tim persalinan Middleton.
Tetapi, jika pembaca mengklik versi republican, tampilan web berubah total. Tidak ada lagi berita yang melulu mengabarkan proses kelahiran Pangeran George, pewaris urutan ketiga tahta Britania Raya tersebut. Pengunjung situs versi republican justru akan melihat berita olahraga, politik, dan sejarah.
Memang, porsi pemberitaan kehidupan keluarga kerajaan beberapa tahun terakhir ini terasa begitu masif. Tengok saja pemberitaan soal pertunangan Pangeran William dan Kate. Atau, saat royal wedding pada April 2011. Hingga kelahiran si Bayi Cambridge yang seolah-olah dinanti semua orang di kolong langit tersebut.
Tak dimungkiri, kelahiran Pangeran George membawa dampak positif pada citra dan popularitas monarki. Sejatinya, citra keluarga kerajaan sempat terpuruk di titik nadir saat Putri Diana, ibu Pangeran William, tewas pada 1997. Saat itu, banyak yang menganggap bahwa sistem kerajaan sudah tidak cocok di Inggris. Apalagi, sejumlah besar anggaran negara dari pajak dialokasikan untuk keluarga kerajaan.
Meski begitu, pemerintah Inggris selalu berupaya melanggengkan monarki. Dalam manifesto pertamanya, Tony Blair, perdana menteri Inggris periode 1997–2007, menegaskan bahwa Partai Buruh tidak berpikir untuk mengganti monarki. Sebenarnya, pernyataan tersebut menyelamatkan wajah monarki di tengah kecaman luas pasca tewasnya Diana.
Perdana menteri saat ini, David Cameron, menyatakan bahwa Inggris adalah kerajaan modern. Raja atau ratu dan pemerintah (dipimpin Perdana Menteri) tidak berada dalam posisi konfrontatif. ’’Yang dilakukan Inggris adalah momodernkan kerajaan, sehingga monarki ini tetap relevan dengan zaman,’’ ujarnya. (cak/c14/hep/c18/dos/jpnn)

BRITAIN-ROYALS-BABYDI tengah euforia masyarakat Inggris, khususnya kelompok royalist, terhadap kelahiran George Alexander Louis alias Prince George of Cambridge, kubu prorepublik justru mengkritisi kekayaan
Kerajaan Inggris.
Kelompok yang tidak menganggap kelahiran putra Pangeran William dan Kate Middleton sebagai peristiwa penting tersebut menganggap bahwa rakyat sudah terlalu lama membuai keluarga besar Ratu Elizabeth II dengan kenikmatan finansial.
Pengaruh kerajaan terhadap dunia politik Inggris sudah nyaris hilang, namun tidak demikian dalam hal perekonomian. Hingga detik ini, Eamon Murphy –penulis senior di harian Daily Finance– menjelaskan, Elizabeth dan keturunannya masih menuai banyak keuntungan dari rakyatn
Tidak sekadar memiliki banyak harta yang turun-temurun di seantero negeri, keluarga kerajaan Inggris juga mendapat alokasi dana khusus dari pemerintah. Khususnya, dari sektor pajak.
Pada 2010, kubu republik membeberkan laporan keuangan yang diberi judul ’’The Value for Money Monarchy’ Myth’’. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa para pembayar pajak menyumbangkan dana sebesar GBP 202,4 juta atau setara dengan Rp3,19 triliun untuk kerajaan. ’’Dana tersebut terkumpul dari wajib pajak Inggris pada 2009,’’ terang pendukung republik itu secara tertulis. Jumlah tersebut lima kali lipat lebih banyak dibanding pendapatan pajak yang dilaporkan kerajaan.
Menurut tokoh-tokoh republik, sebagian besar pendapatan pajak yang masuk kerajaan itu digunakan untuk membiayai aktivitas istana. Yakni, keamanan dan kunjungan-kunjungan resmi kerajaan. ’’Termasuk, beban yang harus ditanggung rakyat karena hak istimewa para bangsawan. Salah satunya, hak untuk tidak membayar pajak,’’ paparnya dalam tulisannya tentang kekayaan Kerajaan Inggris pada Rabu (24/7) lalu.
Sejak lama, kubu republik menantang kerajaan untuk memerinci harta dan melaporkan kekayaan mereka secara transparan. Namun, kerajaan tidak pernah meladeni tantangan tersebut. Setiap tahun, pihak kerajaan hanya melaporkan anggaran pendapatan dan belanja yang bersifat formalitas belaka.
Harta kerajaan yang sebagian besar berbentuk tanah dan bangunan tersebut juga tidak pernah masuk daftar laporan. Padahal, properti kerajaan yang banyak itu bebas pajak.

Pendapatan Ratu Rp 569 M
Sebagai pemimpin monarki, Elizabeth berhak atas Crown Estate. Nilai nominal gugus properti mewah tersebut mencapai GBP 8,1 miliar (sekitar Rp127,78 triliun). ’’Sebagian besar bangunan megah di sisi barat London merupakan bagian dari Crown Estate,’’ tutur Murphy.
Selain bangunan, Crown Estate meliputi sedikitnya lima belas ritel, antara lain, pusat perbelanjaan, perkantoran, pertanian, dan hutan yang tersebar di beberapa kota besar di Inggris.
Menurut BBC, lima belas persen dari total pendapatan tahunan bangunan komersial Crown Estate tersebut masuk kas kerajaan, sedangkan sisa 85 persen masuk kas negara.
Meski hanya menguasai 15 persen dari total pendapatan tahunan hartanya, Elizabeth menerima pendapatan yang tidak sedikit. ’’Sovereign Grant untuk Ratu Elizabeth mencapai GBP 36,1 juta (sekitar Rp569,5 miliar),’’ ucap media Inggris itu.
Rencananya, Sovereign Grant yang diambil dari 5 persen bagian kerajaan tersebut naik mulai tahun depan. Sovereign Grant yang sepenuhnya menjadi hak Elizabeth itu akan meningkat menjadi GBP 37,89 juta (sekitar Rp597,7 miliar) mulai 2014.
Dalam situs resminya, kerajaan menyebutkan, pembagian pendapatan Crown Estate merujuk pada kesepakatan pada 1760. Tepatnya, saat Inggris berada di bawah komando Raja George III.
Meski kesepakatan dan ketetapan tersebut berlaku selama berabad-abad, kubu republik menegaskan bahwa Crown Estate bukanlah milik monarki. ’’Faktanya, Crown Estate adalah properti milik rakyat Inggris. Windsor (Kerajaan Inggris) tidak berhak atas properti tersebut seperti halnya perdana menteri (PM) yang tidak berhak atas Kantor PM di Downing Street 10,’’ papar republik.

Media pun Punya Dua Versi
Di sisi lain, berita The Guardian punya dua wajah terkait kelahiran penuerus tahta urutan ketiga di Kerajaan Inggris itu. Pengunjung situs itu bisa memilih dua model pemberitaan. Mau versi royalist (pendukung monarki) atau republican (penentang monarki).
Kalau pilih royalist, beritanya full soal pernik-pernik persalinan Duchess of Cambridge tersebut. Mulai masyarakat yang memenuhi jalan di depan Rumah Sakit St Mary, detail suksesi kerajaan, biografi Middleton, hingga sebuah berita utama tentang mantan dokter ahli kandungan Ratu Elizabeth yang memimpin tim persalinan Middleton.
Tetapi, jika pembaca mengklik versi republican, tampilan web berubah total. Tidak ada lagi berita yang melulu mengabarkan proses kelahiran Pangeran George, pewaris urutan ketiga tahta Britania Raya tersebut. Pengunjung situs versi republican justru akan melihat berita olahraga, politik, dan sejarah.
Memang, porsi pemberitaan kehidupan keluarga kerajaan beberapa tahun terakhir ini terasa begitu masif. Tengok saja pemberitaan soal pertunangan Pangeran William dan Kate. Atau, saat royal wedding pada April 2011. Hingga kelahiran si Bayi Cambridge yang seolah-olah dinanti semua orang di kolong langit tersebut.
Tak dimungkiri, kelahiran Pangeran George membawa dampak positif pada citra dan popularitas monarki. Sejatinya, citra keluarga kerajaan sempat terpuruk di titik nadir saat Putri Diana, ibu Pangeran William, tewas pada 1997. Saat itu, banyak yang menganggap bahwa sistem kerajaan sudah tidak cocok di Inggris. Apalagi, sejumlah besar anggaran negara dari pajak dialokasikan untuk keluarga kerajaan.
Meski begitu, pemerintah Inggris selalu berupaya melanggengkan monarki. Dalam manifesto pertamanya, Tony Blair, perdana menteri Inggris periode 1997–2007, menegaskan bahwa Partai Buruh tidak berpikir untuk mengganti monarki. Sebenarnya, pernyataan tersebut menyelamatkan wajah monarki di tengah kecaman luas pasca tewasnya Diana.
Perdana menteri saat ini, David Cameron, menyatakan bahwa Inggris adalah kerajaan modern. Raja atau ratu dan pemerintah (dipimpin Perdana Menteri) tidak berada dalam posisi konfrontatif. ’’Yang dilakukan Inggris adalah momodernkan kerajaan, sehingga monarki ini tetap relevan dengan zaman,’’ ujarnya. (cak/c14/hep/c18/dos/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/