32 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Refly Harun vs Akil Mochtar

Refly Harun dan Akil Mochtar
Refly Harun dan Akil Mochtar

 

 

DALAM perjalanan kariernya di MK, Akil sempat berselisih paham dengan Refly Harun, seorang pengacara yang juga pengamat hukum tata negara. Refly pernah mengatakan bahwa praktek suap menyuap di MK sudah lazim terjadi.

 

Refly mengatakan sudah melihat indikasi adanya suap dan kejanggalan di MK sejak lembaga itu mulai menangani sengketa pemilihan kepala daerah. “Sejak itu ada semacam virus suap yang mulai merebak walaupun secara kategori belum sampai stadium empat,” kata Refly, saat dihubungi Kamis (3/10).

 

Refly pernah menyebut Akil Mochtar menerima uang Rp1 miliar dalam bentuk pecahan dolar AS dari Bupati Simalungun, JR Saragih. Selain itu dalam kasus sengketa pemilu kepala daerah Merauke, dia diduga menerima Rp20 miliar.

 

Pernyataannya itu didasarkan pada laporan tim investigasi dugaan makelar kasus MK yang dipimpinnya. Namun pernyataannya itu dibantah langsung oleh Akil. Disinggung mengenai hal itu, Refly yang juga pernah menjadi staf ahli MK tersebut mengatakan bahwa dia pernah tahu sendiri bagaimana permainan uang di MK. “Saya pernah rasakan dan dapat informasi tentang adanya permainan uang di MK. Nah, dari situ saya bisa mengambil kesimpulan waktu itu.”

 

Terkait hal tersebut, Akil pernah berkomentar kepada Refly. “Saya atau dia yang masuk penjara,” kata dia pada 10 Desember 2010. Akil pun pernah menyebutkan bahwa beberapa kali dia dan Refly terlibat dalam persidangan. Di antaranya, sengketa pemilihan di Kabupaten Merauke, Simalungun, dan Toli-toli.

 

Pada Oktober 2010 lalu, Akil mengaku pernah melabrak Refly. “Saat itu kami bertemu di depan lift, disaksikan dua orang wartawan dan karyawan lain. Saya bilang ke dia, ‘Jangan sembarangan menuduh’,” kata Akil saat itu. Menurut dia, hal tersebut berkaitan dengan tuduhan Refly soal dirinya yang disebut-sebut menerima uang dari sengketa pemilu kepala daerah Merauke. Terkait hal tersebut, Refly pun sempat menuliskan opininya soal mafia kasus di MK di Harian ‘Kompas’ berjudul “MK Masih Bersih?” edisi 25 Oktober 2010.

 

Belakangan, Refly pun sempat mengkritik DPR yang memilih Akil kembali menjadi hakim MK. Menurut dia, pemilihan tersebut bermasalah karena DPR tak melakukan seleksi lagi. “Di DPR juga aneh, memperpanjang keduanya tanpa fit and proper test, malah DPR cuma bilang keduanya bersedia menjadi hakim MK lagi,” kata Refly kepada wartawan pada Selasa (13/8) lalu.

 

Padahal seharusnya, kata dia, seleksi tetap diperlukan untuk menelusuri rekam jejak putusan yang mereka buat sebelumnya. “Jangan sampai hakim MK yang loyo terpilih lagi.”

 

Mengenai penangkapan Akil pada Kamis (3/10) dini hari, Refly mengatakan

publik harus tetap menerapkan asas praduga tak bersalah sebelum ada keputusan dari KPK. “Pengusutan kasus ini harus secara tuntas sebab tak mungkin bekerja sendiri bahkan bisa juga melibatkan partai politik,” kata Refly.

 

Ditanya mengenai sepak terjang Akil selama ini, Refly enggan berkomentar. Menurut dia, tak etis mengomentari Akil secara personal. Namun yang patut dicermati adalah banyaknya anggota partai politik yang menjadi anggota Mahkamah Konstitusi bisa mempengaruhi keputusan yang diambil MK. “Harusnya kalau mau jadi hakim konstitusi vakum dulu dari partai politik selama lima tahun,” kata Refly. (net/bbs)

 

Refly Harun dan Akil Mochtar
Refly Harun dan Akil Mochtar

 

 

DALAM perjalanan kariernya di MK, Akil sempat berselisih paham dengan Refly Harun, seorang pengacara yang juga pengamat hukum tata negara. Refly pernah mengatakan bahwa praktek suap menyuap di MK sudah lazim terjadi.

 

Refly mengatakan sudah melihat indikasi adanya suap dan kejanggalan di MK sejak lembaga itu mulai menangani sengketa pemilihan kepala daerah. “Sejak itu ada semacam virus suap yang mulai merebak walaupun secara kategori belum sampai stadium empat,” kata Refly, saat dihubungi Kamis (3/10).

 

Refly pernah menyebut Akil Mochtar menerima uang Rp1 miliar dalam bentuk pecahan dolar AS dari Bupati Simalungun, JR Saragih. Selain itu dalam kasus sengketa pemilu kepala daerah Merauke, dia diduga menerima Rp20 miliar.

 

Pernyataannya itu didasarkan pada laporan tim investigasi dugaan makelar kasus MK yang dipimpinnya. Namun pernyataannya itu dibantah langsung oleh Akil. Disinggung mengenai hal itu, Refly yang juga pernah menjadi staf ahli MK tersebut mengatakan bahwa dia pernah tahu sendiri bagaimana permainan uang di MK. “Saya pernah rasakan dan dapat informasi tentang adanya permainan uang di MK. Nah, dari situ saya bisa mengambil kesimpulan waktu itu.”

 

Terkait hal tersebut, Akil pernah berkomentar kepada Refly. “Saya atau dia yang masuk penjara,” kata dia pada 10 Desember 2010. Akil pun pernah menyebutkan bahwa beberapa kali dia dan Refly terlibat dalam persidangan. Di antaranya, sengketa pemilihan di Kabupaten Merauke, Simalungun, dan Toli-toli.

 

Pada Oktober 2010 lalu, Akil mengaku pernah melabrak Refly. “Saat itu kami bertemu di depan lift, disaksikan dua orang wartawan dan karyawan lain. Saya bilang ke dia, ‘Jangan sembarangan menuduh’,” kata Akil saat itu. Menurut dia, hal tersebut berkaitan dengan tuduhan Refly soal dirinya yang disebut-sebut menerima uang dari sengketa pemilu kepala daerah Merauke. Terkait hal tersebut, Refly pun sempat menuliskan opininya soal mafia kasus di MK di Harian ‘Kompas’ berjudul “MK Masih Bersih?” edisi 25 Oktober 2010.

 

Belakangan, Refly pun sempat mengkritik DPR yang memilih Akil kembali menjadi hakim MK. Menurut dia, pemilihan tersebut bermasalah karena DPR tak melakukan seleksi lagi. “Di DPR juga aneh, memperpanjang keduanya tanpa fit and proper test, malah DPR cuma bilang keduanya bersedia menjadi hakim MK lagi,” kata Refly kepada wartawan pada Selasa (13/8) lalu.

 

Padahal seharusnya, kata dia, seleksi tetap diperlukan untuk menelusuri rekam jejak putusan yang mereka buat sebelumnya. “Jangan sampai hakim MK yang loyo terpilih lagi.”

 

Mengenai penangkapan Akil pada Kamis (3/10) dini hari, Refly mengatakan

publik harus tetap menerapkan asas praduga tak bersalah sebelum ada keputusan dari KPK. “Pengusutan kasus ini harus secara tuntas sebab tak mungkin bekerja sendiri bahkan bisa juga melibatkan partai politik,” kata Refly.

 

Ditanya mengenai sepak terjang Akil selama ini, Refly enggan berkomentar. Menurut dia, tak etis mengomentari Akil secara personal. Namun yang patut dicermati adalah banyaknya anggota partai politik yang menjadi anggota Mahkamah Konstitusi bisa mempengaruhi keputusan yang diambil MK. “Harusnya kalau mau jadi hakim konstitusi vakum dulu dari partai politik selama lima tahun,” kata Refly. (net/bbs)

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/