Sebuah data mengejutkan datang dari Pusat Kajian Kebijakan dan Strategis. Lembaga survei yang biasa disingkat Puskaptis itu menemukan 1 juta lebih pemilih belum menentukan sikap pada hari pencoblosan. Di sisi lain muncul keyakinan Pilgubsu 2013 akan berlangsung dua putaran. Alasannya, Syamsul Arifin yang punya jaringan dominan saja cuma meraup 28 persen suara pada Pilgubsu 2008.
SILANG-sengkarut dari sejumlah survei malah menjagokan pasangan masing-masing. Ada banyak peta peluang menjadi Sumut-1, dari mulai berebut pemilih pemula (30-40 % dari total daftar pemilih tetap/DPT) Pilgubsu 2013, pemilih rasional, hingga pemilih konvensional yang berafiliasi pada parpol, suku/etnis, atau agama.
“Tapi suara mengambang ini menjadi penentu apakah pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013 satu putaran atau lebih,” kata Direktur Eksekutif Puskaptis, Husin Yazid, Senin (4 /3). Sebelumnya, KPUD Sumut menetapkan jumlah pemilih dalam DPT sebanyak 10.295.013 pemilih.
“Swing voters persentasenya 12-15 persen dari persentase partisipasi 71 persen,” ujarnya.
Kelima pasangan calon yang bertarung adalah Gus Irawan-Soekirman (Partai Gerindra), Effendi Simbolon-Jumiran Abdi (PDIP, PDS, dan PPRN), Chairuman Harahap-Fadly Nurzal (Golkar dan PPP), Haji Amri Tambunan-Dr RE Nainggolan (diusung Partai Demokrat), dan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi (PKS dan Hanura).
Menurut Husin, pemilih mengambang ini akan menentukan pilihan menjelang hari pencoblosan. Dia mengungkapkan pemilih mengambang akan mengikuti isu dan pemberitaan media.
“Kelima calon harus mengoptimalisasikan minggu tenang untuk menarik simpati mereka,” katanya.
Hasil survei Puskaptis pada 24-28 Februari 2013 menunjukkan tingkat partisipasi pada hari pencoblosan berkisar 70-71 persen, sedangkan pemilih yang tak menggunakan hak suara diperkirakan 30 persen, didominasi umur produktif 30-50 tahun. Golongan putih ini, menurut dia, tersebar di 33 ibu kota kabupaten/kota. “Terbanyak 10 persen ada di Kota Medan,” katanya.
Toh, disadari atau tidak, peta Pilgubsu berbeda dengan Pilkada DKI Jakarta, Jawa Barat, atau daerah lain di Indonesia. Jenis pemilih yang heterogen juga tecermin dari keberagaman para calon yang bertarung. Isu etnis dan agama belum bisa diabaikan, meskipun kemampuan membangun jaringan (networking) pemilih seperti Jokowi effect saat memenangkan Pilkada DKI mulai nge-tren dipraktikkan. Faktor klasik money politic masih mendominasi arah angin pemilih.
Soal prediksi Puskaptis atas golput yang tinggi, Pengamat Politik USU Ridwan Rangkuti justru menyodorkan kajiannya di sejumlah Pilkada bupati/wali kota di Sumut. Kesimpulannya, perilaku pemilih di Sumut terpetakan dalam tiga kategori.
Pertama, pemilih rasional, yakni mereka yang memilih berdasarkan kapabilitas calon (15 persen), kedua, pemilih yang terkena imbas politik uang (48 persen), serta terakhir, jenis pemilih dari kombinasi memilih calon yang capable sembari diberikan uang (38 persen).
“Jadi persentase terbesar pemilih di Sumut masih rentan dipengaruhi oleh money politic,’’ ujar Ridwan yang berbincang dengan Sumut Pos, Selasa (5/3).
Soal uang dikatakan bukan faktor dominan, namun momen yang tepat juga harus diperhitungkan.
‘’Pemilih cenderung memilih calon yang terakhir memberikan uang,’’ ujarnya.
Dia mengungkapkan peran pemuka agama dan tokoh adat akan turut mewarnai pertarungan di Pilgubsu. Hal ini terlihat semisal di Tabagsel bahwa pilihan pemuka adat akan diikuti juga oleh rakyat. Oleh sebab itu bisa saja para pemuka agama mempengaruhi pilihan umat. Misalnya pemimpin gereja atau raja adat.
Jadi dalam representasi kekuatan politik, pengaruh etnik juga tak bisa diabaikan. Peta kekuatan etnis Melayu berada di sepanjang pesisir pantai timur, Asahan, Labuhan Batu, Langkat. Kekuatan etnis Mandailing – Sipirok di wilayah Tabagsel, Palas, Paluta dan Madina. Uniknya, etnis Jawa menguasai hampir seluruh komponen wilayah. Utamanya kawasan perkebunan yang ada, jumlah mencapai 30 persen lebih populasi Sumut.
Gus Irawan dan Chairuman akan bersaing ketat mendulang suara di Tabagsel dan Madina. Untuk wilayah bagian Tengah dan Utara akan diperebutkan oleh RE Nainggolan dan Effendi Simbolon, juga Amri Tambunan. Pertarungan mendulang suara etnis Melayu akan berhadapan antara Fadly Nurzal dengan Tengku Erry.
Suara etnik Jawa akan diperebutkan Soekirman, Jumiran, dan Gatot Pujo Nugroho. Dari ragam prediksi, Soekirman berpeluang besar mendulang suara di kelompok ini. Alasannya, Wabup Sergai ini punya basis massa hingga grass root, dan juga aktif di Pujakesuma, sedangkan Gatot dinilai tak terlalu punya akar kuat karena masih dianggap sebagai Jawa ‘pendatang’. Jumiran juga boleh dikatakan lemah dalam konteks akar massa.
Boleh jadi pendulangan suara antar-etnik bisa saling mencuri karena faktor kekerabatan dan kemajemukan etnis. Suara Islam diprediksi pecah konsentrasinya dengan sokongan Muhammadiyah dan Al Washiliyah. Praktis hanya Nahdlatul Ulama (NU) yang akan mengarahkan suara kepada Amri Tambunan karena kelekatan historis Djamaluddin Tambunan, ayahanda Amri, selaku tokoh pendiri NU di Sumut.
Dalam kacamata Ridwan ada empat faktor penting yang memengaruhi pemilih menyoblos jagoannya, yaitu figur, partai, logistik, dan strategi. Jika dilihat dari figur tentulah seluruh calon berkelindan dengan strategi dan jurus yang tak jauh beda, namun logistik jadi pembeda paling mencolok diantaranya. Ia mengungkapkan bahwa jika logistik tersebut tidak dikelola dengan baik, maka tidak akan efektif. Untuk itu diperlukan strategi yang tepat.
Jika dilihat dari faktor etnis dapat dilihat dari suku Jawa. Ada tiga pasang yang bertarung yakni Gatot Pujo Nugroho selaku incumbent, lalu Jumiran Abdi, dan Soekirman. Ada dua pasang di posisi wakil dan satu sebagai gubernur. Hal ini juga diperuncing dengan orang Jawa kelahiran Sumatera (Pujakesuma) dan orang Jawa yang tak lahir di Sumatera.
Peta perebutan suara etnis Jawa yang berjumlah 3.438.534 pemilih (33,4 persen dari total DPT Pilgubsu) dipastikan sengit. Penyebaran suara etnis Jawa berada di kota dan perkebunan sebagai kantong populasi terbesar di Sumut.
‘’Kalau melihat historis etnis Jawa di Sumut, jelas kelompok ini bukan kalangan yang mudah diorganisir,’’ kata Ridwan.
Untuk etnis Batak Toba diprediksi didominasi oleh Dr RE Nainggolan, Amri Tambunan, dan Effendi Simbolon. Nah jika melihat arah suara pemilih Batak Toba dan beragama Kristen, Ridwan optimistis, suara pemilih Batak Kristen akan dominan ke RE Nainggolan.
Pasalnya, dia melihat basis kelompok ini dari Taput hingga Tanahkaro solid mendukung Dr RE Nainggolan. Effendi dikalkulasi unggul tipis di Nias dan Samosir.
“Saya yakin pemilih Batak Kristen sebanyak 3 juta di 33 kabupaten/kota akan dominan ke Dr RE Nainggolan. Saya lihat persentase kemenangannya paling tidak bisa mencapai 55-65 persen,’’ ujar Ridwan.
Ia mengingatkan adagium yang menyebutkan berpasangan dengan Dr RE Nainggolan akan mendapatkan ‘kuda hitam’. Hal ini menguntungkan Amri yang tinggal bekerja meraup suara di basisnya di Deliserdang.
Hanya saja, menurut Ridwan, tak semudah yang diduga meraup suara di Deliserdang mengingat daerah ini rentan ‘diserang’ pemilih asal Medan.
Di wilayah Tabagsel, Ridwan mengalkulasi, suara pemilih menjadi ajang perebutan Chairuman, Gus Irawan, dan Fadly Nurzal. Gus Irawan diprediksi akan dominan di Tapsel saja, sedangkan Chairuman kemungkinan unggul di wilayah Paluta, Palas, Madina, dan Padangsidimpuan. Total pemilih di empat kabupaten ini mencapai 776.068 pemilih atau 7,53 % dari total pemilih sesuai DPT Pilgubsu 2013 yang disahkan KPUD Sumut.
Faktor partai politik diyakini tak banyak menyumbang pada kemenangan pasangan calon. Begitupun sumbangan suara dari partai-partai besar seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat, tetap akan berpengaruh.
‘’Kita lihat pengaruh jaringan dari partai cukup berpengaruh. Sekarang tinggal melihat bagaimana komunikasi politik si calon dengan partainya. Jujur saja kasus Partai Golkar di Sumut patut jadi pelajaran. Kader (Golkar) seperti tak bergairah memenangkan Chairuman,’’ ujar staf pengajar FISIP USU ini.
“Di tubuh Golkar kan banyak faksi, jadi kondisi ini semakin mempersulit manuver kemenangan Chairuman,’’ timpalnya.
Soal kans Effendi-Jumiran yang diusung PDIP, PPRN, dan PDS, Ridwan melihat, PDIP di Sumut tak sesolid Jakarta saat memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Kecuali beberapa hari terakhir kam panye boleh dibilang kader PDIP getol mendorong konsolidasi di tingkat akar rumput.
Soliditas kader partai moncong putih itu amat terbantu dengan kehadiran Megawati dua kali di Sumut dan Jokowi pada hari terakhir kampanye.
***
Dari sisi dukungan parpol, ragam pendapat menyatakan, konstelasi Pemilu 2009 atau Pilgubsu 2008 sulit dijadikan pijakan analisis.
Pengamatan hasil suara sah dan perolehan kursi pada Pemilu 2009 lalu, seluruh partai yang bertarung tak satu pun pencapaian suara lebih dari 30 persen. Apalagi kondisi saat ini beberapa partai yang tadinya unggul dalam survei terakhir mengalami keanjlokan performance dan dukungan rakyat.
Analisis dan evaluasi wilayah, cakupan politik partai sesuai dengan kondisi geografi, sosial dan etnis cukup berperan mendulang suara. Umumnya, wilayah pantai timur dikuasai Golkar dan PPP, wilayah tengah dikuasai Golkar dan PDIP. Demokrat sebagai partai pemenang pemilu juga berada diantara partai tersebut.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Sumatera Utara hingga Mei 2012, rekapitulasi jumlah penduduk Sumut dari 33 kabupaten/kota sebanyak 15.977.383 jiwa, sedangkan jumlah pemilih mencapai 10.295.013 pemilih.
Staf Pengajar UMSU, Shohibul Anshor, memetakan tiga faktor dalam meraih kemenangan Pilkada yakni figur, jaringan (networking) dan dana (budget). Dia juga tak menafikan pengaruh politik identitas, disamping etnisitas/agama yang punya poin penting bila tidak dibilang dominan.
Dilirik dari komposisi agama mayoritas populasi Sumut adalah Islam (65,45 %), disusul Protestan (26,62 %). Katolik, Buddha, Hindu, dan lainnya yang masing-masing di bawah 5 %.
Dari komposisi etnis, paling besar adalah Jawa (33,40 %), disusul Batak Toba (25,62 %), Mandailing (11,27 %), Melayu (5,86%), Karo (5,09 %), lainnya (3,29 %), Tionghoa (2,7 %), Minang (2,66 %), Simalungun (2,04 %), Aceh (0,97%), dan Pakpak (0,73%).
Catatan Pilgubsu 2008 memaparkan, tak ada satu pun pasangan calon yang menguasai 80-100 persen suara di Tabagsel maupun di Tapanuli karena kesamaan latar belakang pasangan calon. Di sisi lain, kelompok pemilih Tionghoa dan India akan melihat seberapa jauh sang calon menjamin kepentingan ekonomi mereka.
Menurut Shohibul, polarisasi Islam dan non-Islam akan terjadi sesuai dengan daya magnetik kelima pasangan. Umat Islam sebagai mayoritas (65,45%) kemungkinan terbelah dengan persentasi yang relatif berimbang kepada pasangan Gatot-Erry, pasangan Chairuman-Fadly Nurzal, dan pasangan Gus Irawan-Soekirman. Faktor ke-NU-an Amri juga ikut mengambil porsi lain.
Jika Pilgubsu 2013 dibandingkan dengan Pilgubsu 2008 yang dimenangkan pasangan Melayu-Jawa (Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho) yang mengalahkan calon Jawa-Batak atau sebaliknya, rumus matematika pemilih layak diperhitungkan kembali.
Efek Pilkada DKI Jakarta jelas mempertontonkan kemenangan pasangan calon yang memiliki jaringan kuat dengan (mulai) mengabaikan sentimentil etnis dan agama. Jaringan itu mengakar dari blusukan, posko-posko relawan pemenangan, hingga jejaring sosial dunia maya, seperti facebook, twitter, atau youtube.
Banyak yang percaya rasionalitas adalah kata kunci dalam kemenangan pasangan calon pada hari pencoblosan Kamis (7/3) besok. Kian hari pemilih kian cerdas. Dan, khusus di Sumut, mari bersepakat: rasionalitas atas nama kepentingan pemilih (masih) rasionalitas yang sesungguhnya! (mag-5)