Tahun Kabisat, Fenomena Alamiah dan Terkesan Biasa
MEDAN- Tahun kabisat adalah tahun yang jumlahnya habis dibagi empat. Di mana jumlah hari pada tahun ini berjumlah 366 hari, karena terjadi penambahan hari di Bulan Februari menjadi 29 hari.
Menyikapi perihal tahun kabisat ini, Dosen Sosiolog Universitas Negeri Medan (Unimed) Iqbal menganggap, keistimewaan tahun ini tak lebih kepada pertanggalan dan sebuah fenomena yang alamiah.
“Kalau kabisat ini lebih kepada keunikan saja, dan tidak ada yang menjadi hal penting untuk dikaji karena bukan sebuah masalah. Kecuali jika ada komunitas yag menjalani ritual setiap tahun kabisat, kalau ini ada, baru layak dikaji mengapa mereka melakukannya. Akan tetapi sejauh ini saya belum ada pernah mendengar suatu komunitas yang menjadikan tahun kabisat sebagai tahun yang istimewa,” ujar Iqbal.
Masih menurut Iqbal, keunikan yang terjadi pada kabisat ini, yakni dimana tahun kabisat dikenal sebagai tahun pembulatan. Jadi secara pertanggalan seseorang yang berulang tahun pada tanggal 29 hanya mendapat jatah sekali dalam empat tahun, akan tetapi soal umur tidak mempengaruhi dan tetap bertambah.
Meskipun begitu bilang Iqbal, sejauh ini masih banyak juga masyarakat yang belum mengenal apa itu kabisat. Selain karena tanggal kelahiran yang tidak tepat pada tanggal 29 Februari, masyarakat juga tidak begitu terlalu menjadikan kabisat sebagai tanggal yang istimewa.
Sementara menurut ahli Antropologi Universitas Airlangga, Surabaya- Jawa Timur, Pinky Saptandari, Tahun Kabisat bagi kebanyakan orang, kini tidak lagi menjadi sesuatu yang menarik. Karena menurutnya, kehidupan masyarakat umumnya tidak lagi bersentuhan langsung dengan hal-hal perputaran waktu.
“Saya sebenarnya tidak meneliti terlalu jauh akan hal ini. Tapi yang pasti menurut saya, ada faktor kesejarahan dalam hal ini. Dan lagi tentunya penanggalan itu ditetapkan setelah melihat sejumlah tanda-tanda yang ada. Baik dari perputaran tata surya maupun alam yang ada,” ujar Pinky saat berbincang dengan koran ini lewat selulernya, Kamis (23/2) lalu.
Namun sayangnya, menurut Pingky, saat ini perhatian masyarakat terhadap perputaran tata surya sangat menurun. Hal ini tentunya dipengaruhi beberapa hal. Di antaranya akibat kemajuan teknologi yang begitu luar biasa. “Dan juga karena masyarakat sekarang kehidupannya tidak langsung bersentuhan dengan hal-hal semacam itu,” tambahnya.
Padahal sebelum memasuki era modern, lanjutnya, manusia sepenuhnya menerjemahkan perputaran tata surya untuk menjadi pedoman kehidupan. “Misalnya tentang tanggal 29 Februari dalam hal kelahiran. Sekarang ini juga tidak terlalu berpengaruh lagi. Karena, kelahiran bisa diatur lewat operasi. Jadi teknologi benar-benar mempengaruhi,” ungkapnya.
“Kenapa minat masyarakat menurun, karena selama ini mereka hanya tahu bahwa sekarang inilah memang waktunya menikahkan anak yang baik. Tapi mereka tidak pernah diajarkan mengapa bisa demikian. Jadi filosofinya tidak diajarkan. Jadi ada efek budaya, wisdom dan pengetahuan yang terkait dengan hal tersebut. Sehingga orang sekarang lebih pragmatis saja,” tambahnya.
Jadi kalau ada yang lahir tanggal 29 Februari, menurut Pingky juga tergantung orang melihatnya. Sebab ada yang melihatnya sebagai berkat dan merupakan sebuah keunikan. Tapi ada juga yang menganggapnya musibah sehingga tidak heran banyak masyarakat yang menginginkan kelahiran anaknya di tanggal 29, akhirnya dipercepat lewat operasi.
Secara terpisah Prof DR(HC) Suhu Huang meramalkan, Indonesia di tahun kabisat memiliki aura yang cukup baik. Terutama berkaitan dengan bencana alam. “Memang bencana yang kecil-kecil ada. Tapi itu nggak bencana alam yang besar. Berbeda dengan di luar negeri, itu ada. Indonesia ini kan berada di bagian timur, jadi selama setelah tanggal 29 Feberuari nanti, itu tidak ada bencana besar,” ungkapnya.
Namun memang dari segi dunia usaha, menurutnya, krisis berkepanjangan di seluruh dunia sangat berdampak juga terhadap Indonesia. Apalagi krisis tersebut hingga menimpa negara-negara maju sehingga mau tidak mau, Indonesia perlu benar-benar memperhatikan hal ini. “Seperti di Jepang dan negara-negara maju lainnya. Hanya saja dari segi iklim, Indonesia kan jauh lebih baik dari negara-negara tersebut. Sehingga untuk membangun dunia usaha tetap terbuka peluang,” ungkap Suhu yang membuka praktek di Teluk Gong dan Mangga Dua Square, Jakarta.(uma/ken)