MEDAN-Kabar mengejutkan muncul saat Imlek 2565. Adalah rumah bersejarah milik Tjong A Fie akan ditambah dengan hotel berlantai 10. Hotel berbiaya Rp80 miliar itu akan berdiri megah di halaman belakang rumah yang telah menjadi cagar budaya tersebut. Dengan kata lain, kemegahan rumah Thong A Fie akan menjadi teras hotel tersebut.
Kabar ini dihembuskan oleh cucu Tjong A Fie, Fon Prawira, saat menerima kunjungan Wakil Gubernur Sumatera Utara (Wagubsu) T Erry Nuradi, kemarin. Fon Prawira mengatakan, keluarga besar Tjong A Fie yang tergabung dalam Tjong A Fie Memorial Institute, berencana membangun hotel berlantai 10 di halaman bekang dalam waktu dekat dengan biaya mencapai Rp80 miliar. Hotel tersebut nantinya akan menyediakan sedikitnya 100 kamar yang dibuka untuk pengunjung.
“Kami sedang berusaha mencari dana untuk membangun hotel. Ini adalah salah satu upaya untuk melestarikan rumah Tjong A Fie. Rumah Tjong A Fie yang nantinya menjadi beranda hotel tempat pengunjung bersantai karena dekorasinya sangat mendukung,” sebut Prawira.
Prawira mengatakan, rumah besar (mansion) Tjong A Fie membawa pengunjung seolah-olah ke pergantian masa abad terakhir. Betapa tidak, ruangan berikut pernak-perniknya sebagian besar masih asli seperti kusen, lantai, dan perabot-perabotnya. “Dengan adanya usaha perhotelan, biaya perawatan rumah Tjong A Fie dapat ditanggulangi,” ujar Prawira.
Rawan Konflik Keluarga
Tak pelak, rencana pembangunan hotel dikhawatirkan akan merusak nilai sejarah dari bangunan yang telah berdiri sejak tahun 1900 tersebut. Hal ini disampiakan oleh Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (Pusis) Unimed, Dr phil Ichwan Azhari kepada Sumut Pos, Jumat (31/1). Dikatakannya, rencana Fon Prawira membangun hotel dapat memicu konflik keluarga Tjong A Fie terkhusus karena Fon Prawira bukan cucu kuat dari pengusaha, bankir asal Tiongkok ini.
“Saya tahu seperti apa keluarga Tjong A Fie karena saya pernah menjadi ketua panitia dalam acara peringatan 100 tahun rumah Tjong A Fie. Fon Prawira bukan cucu yang kuat dan ada konflik keluarga yang belum selesai. Rencana pembangunan ini juga akan memicu konflik keluarga Tjong A Fie,” katanya.
Menurut ichwan, rencana ini pun menunjukkan bahwa keturunan Tjong A Fie tidak mampu mengelolah bangunan tersebut dan pemerintah kota yang telah gagal menjaga Cagar Budaya. “Mereka malah menunjukkan sebagai generasi yang buruk dan pemerintah kota memperlihatkan mereka tidak bisa memberikan pendanaan yang besar untuk cagar budaya,” katanya.
Dahulunya, ujar Ichwan, rumah Tjong A Fie sempat akan diserahkan kepada Gubernur Syamsul Arifin untuk pengelolahaannya. Namun, rencana itu gagal karena konflik keluarga. “Sampai saat ini statusnya memang milik keluarga yang belum diserahkan kepada pemerintah. Sehingga pemerintah pun belum sepenuhnya memberikan anggaran untuk itu,” katanya.
Tambahnya, bila adanya bangunan modern di belakang atau sekitar bangunan Tjong A Fie, dikhawatirkan dapat mengubah bentuk dan nilai-nilai dari bangunan itu sendiri dan ini dapat melanggar UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. “Mengenai pemeliharaan dan pengembangan bangunan yang dapat mengganggu keberadaan, manfaat dan keamanan maka akan melanggar UU Cagar Budaya No 11 tahun 2010,” katanya.
Ichwan mencontohkan bangunan balai kota yang terlah bercampur dengan bangunan modern. “Seperti bangunan sejarah Balai Kota, itu sebenarnya sudah melanggar UU Cagar Budaya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan untuk masyarakat umum. Tapi coba sekarang, untuk melihat bangunan sejarah balai kota tersebut kita harus minum kopi senilai Rp40 ribu, terkesan komersial dan tidak dapat dilihat oleh seluruh masyarakat,” jelasnya.
Lanjutnya, hal ini juga dapat terjadi di rumah Tjong A Fie dan parahnya tidak ada yang peduli dengan hal ini. “Sebenarnya melanggar UU, tapi siapa yang peduli, pemerintah saja tidak peduli. Mau gimana lagi sejarahwan juga cuap-cuap percuma kalau pemerintahnya tidak mengerti dan tak peduli. Medan memang sudah kehilangan identitasnya,” tutup Ichwan sambil tertawa.(put/rud/rbb)