MEDAN, SUMUTPOS.CO – Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumatera Utara bedah film ‘Before You Eat’ di sekretariat mereka, Jalan Adinegoro No 15 Medan, Sabtu (28/5/2022) malam. Film yang diproduksi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan didukung Greenpeace Indonesia itu, menceritakan tentang ‘perbudakan modren’ anak buah kapal (ABK) di kapal ikan asing.
Pembedah film itu yakni, Koordinator SIKAP Quadi Azam, Kabid Kajian dan Penelitian KontraS Sumut Rahmat Muhammad, dan Juru Kampanye Greenpeace, Arifsyah Nasution. Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno mengatakan, film ini merupakan kisah nyata ABK asal Indonesia, mulai dari carut marutnya sistem administrasi perusahaan, ABK yang tidak mengetahui kondisi anak dan istrinya saat di atas kapal, serta lemahnya negara menjamin warganya.
Peristiwa itu tidak terjadi hanya beberapa tahun, bahkan puluhan tahun. “Tetapi, kami punya keyakinan masalah ini terjadi puluhan tahun lalu. Kami SBMI hanya menginginkan teman-teman ABK mendapatkan haknya, salah satunya hak gaji yang tidak dibayar. Mereka tiga tahun di atas kapal tidak dibayar, mengalami eksploitasi yang sangat keji seperti digambarkan dalam film tadi. Mereka juga mengalami tindakan tak manusiawi di atas kapal,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, kata Hariyanto, SBMI mencoba mencari tahu, ke mana mau diadukan persoalan ini. “Kami bersama ABK datang ke Kementerian Perhubungan, mereka mengatakan ini bukan ranah kami, karena ini kapal ikan, bukan kapal Niaga, dari sinilah kami melihat apa yang terjadi di Pemerintah Indonesia,” ujarnya.
Pesan penting yang harus disampaikan kepada teman-teman, katanya, di dalam konteks perbudakan dan lingkungan. “Jika lingkungan rusak, maka manusianya akan rusak. Apabila ini tidak ditindak dengan tegas, maka merajalela perbudakan ini. Kami terus mengadvokasi kebijakan dan mengawal UU yang sudah lahir, namun tidak muncul-muncul,” ungkapnya.
Hariyanto mengajak mahasiswa yang melihat film ini sebagai bentuk alat perjuangan. “Karena perubahan itu tidak bisa kita tunggu dan dibeli, perubahan milik kita semua,” pungkasnya.
Sementara, Ketua Umum Badko HMI Sumut Abdul Rahman yang sering disapa Cak Dul mengungkap, Sumut menjadi tempat transit bagi buruh migran Indonesia. “Sumatera Utara menjadi pintu masuk, bagaimana proses terjadi perbudakan diperkapalan. Saya pribadi akan fokus persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat,” ujarnya.
Cak Dul berharap, Pemerintah membuat regulasi (peraturan), bagaimana pemenuhan hak-hak buruh migran ABK yang tidak terpenuhi oleh perusahaan yang menyuplai mereka. “Kemudian melindungi, keselamatan dan kesehatannya guna menjamin seluruh kehidupannya serta kesalamatan ABK agar terhindar dari perbudakan manusia yang hari ini marak terjadi, khususnya yang menjadi korban adalah warga Indonesia,” ujarnya.
Alumni UISU itu menginginkan mahasiswa menyoroti perbudakan ABK ini. “Harapan ke mahasiswa, supaya tersadar bahwa persoalan kemanusiaan, ekonomi menjadi polemik masyarakat kelas bawah yang seharusnya ini menjadi sorotan mahasiswa atau lingkungan akademik terkait persoalan ini,” pesannya.
Ke depan, lanjutnya, Badko HMI Sumut terus mendorong pemerintah untuk segera dibikinnya regulasi sehingga permasalahan ini dapat dituntaskan. Mantan buruh migran yang berasal dari Medan Ardi menegaskan bahwa film itu kisah nyata yang pernah dialaminya.
“Kalau teman-teman melihat film ini, semua benar dengan realita yang pernah saya alami di atas kapal, tidak ada yang disembunyi-sembunyiin, itu sudah terbuka semua,” tandasnya. (adz)