Site icon SumutPos

Digelar Diam-diam, Oknum TNI Hanya Dituntut 6 Bulan

Foto: BAGUS SYAHPUTRA/Sumut Pos
SIDANG : Prajurit Satu (Pratu) Rommel Sihombing saat menjalani sidang di Pengadilan Militer I Medan.

SUMUTPOS.CO – Sidang kasus penganiyaan terhadap wartawan terkesan ditutupi di Pengadilan Militer I Medan. Pasalnya, Oditur Militer menuntut terdakwa Prajurit Satu (Pratu) Rommel Sihombing dengan hukuman 6 bulan penjara dan sidang tanpa diketahui korban Array A Argus wartawan harian cetak di Medan.

“Tuntutannya enam bulan. Ya, enam bulan penjara,” kata Oditur Militer, Mayor D Hutahean saat dikonfirmasi wartawan dihalaman Pengadilan Militer I Medan, Senin (31/7) siang.

Dia mengatakan pembacaan tuntutan dihadapan Majelis Hakim diketuai oleh Kolonel Budi Purnomo, Selasa, 25 Juli 2017, lalu. Saat ditanyakan apa pertimbangan Oditur Militer menuntut rendah, Hutahean enggan bisa menjelasi hal tersebut.

Namun, dia mengatakan bahwa sidang akan digelar Selasa (1/8) hari ini. Dengan agenda pembelaan atau pledoi.”Hakimnya hadir kok. Besok (hari ini,Red) sidang pledoinya,” kata Hutahean.

Sementara itu, jurnalis korban kekerasan, Array A Argus mengaku kecewa dengan tuntutan oditur militer. Apalagi, sidang tuntutan ini terkesan digelar secara diam-diam dan “dikaburkan”.

Menurut Array, pada 25 Juli 2017 lalu, korban dan beberapa jurnalis sempat datang ke Pengadilan Militer I Medan. Kala itu, Array diminta mengisi buku tamu.”Setelah saya tanya apakah sidang tuntutan Pratu Rommel jadi digelar, pegawai pengadilan mengatakan sidangnya ditunda hingga tanggal 31 Juli. Saya sempat dua kali menanyakan masalah itu, tapi pegawai berkacamata berkaos hijau mengatakan tidak ada sidang pada 25 Juli karena hakimnya tidak ada,” tutur Array dengan nada kesal.

Bahkan, pegawai Pengadilan Militer I Medan yang mengatakan sidang tuntutan ditunda itu sempat menyebut pengacara terdakwa bodoh, karena hadir ke Mahmil padahal sidang ditunda.”Pegawai itu tetap bilang tidak ada sidang. Dia ngotot bilang ke saya bahwa tidak ada jadwal saat itu,” tutur Array wartawan Harian Tribun Medan itu.

Karena sidang ditunda, Array pun kembali. Belakangan diketahui, setelah sejumlah awak media bubar, sidang tetap digelar. Bahkan, tuntutan yang dijatuhkan sangat ringan dan tidak mencerminkan rasa keadilan.

“Saya sudah merasakan rasa sakit pemukulan dari terdakwa setengah mati. Malah terdakwa dituntut hanya 6 bulan penjara. Ini tidak mencerminkan rasa keadilan bagi saya ini. Saya minta kepada majelis hakim untuk menghukum diatas tuntut dan memberikan rasa keadilan atas putusan nanti dalam kasus ini,” jelasnya.

Terpisah, Tim Advokasi Pers Sumut dari LBH Medan, Aidil Aditya mengatakan, sejak kasus ini diproses, terdapat banyak kejanggalan. Mulai dari maladministrasi, hingga hilangnya pasal Undang-undang Pers No 40 tahun 1999. “Setelah kami memantau persidangan ini dari awal hingga jalannya tuntutan, sidang yang digelar terkesan seremonial belaka. Esensi untuk menegakkan keadilan terhadap korban masih jauh dari rasa keadilan,” kata Aidil.

Dia juga mempertanyakan keseriusan oditur militer yang menyidangkan perkara ini. Ada indikasi, baik oditur militer maupun Pengadilan Militer terkesan melindungi terdakwa. Bahkan, Aidil mensinyalir sidang ini sudah “dikondisikan” untuk meringankan hukuman terdakwa.

“Pada 25 Juli pihak Pengadilan menyatakan sidang ditunda tanggal 31 Juli karena hakim tidak ada. Lalu, kenapa sidang digelar secara diam-diam pada 25 Juli. Lantas ini apa namanya,” kata Aidil.

Adil mengatakan tidak salah jika masyarakat beranggapan bahwa penegakan hukum di Mahkamah Militer dijalankan tidak secara profesional. Sebab, banyak kejanggalan yang muncul mulai dari proses penyelidikan hingga proses persidangan.”Ini contoh kecilnya saja. Seperti halnya UU Pers yang tidak dimuat dalam dakwaan. Kemudian, barang bukti yang tidak lengkap,” kata Aidil.

Harusnya, kalau oditur itu mengatakan ia tidak berpihak pada terdakwa, UU Pers itu harus dibuat dalam dakwaan. Kemudian, saksi ahli dari Dewan Pers juga perlu dihadirkan. “Pelarangan dan pembungkaman terhadap seorang jurnalis yang tengah melakukan peliputan itu ada ancaman pidananya. Jadi tidak sembarangan mereka melarang, bahkan melakukan tindak kekerasan terhadap jurnalis,” ungkap Aidil.

Untuk diketahui, Array menjadi korban penganiyaan oknum TNI. Akibat, peristiwa kerusuhan terjadi antara masyarakat dengan TNI AU di Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan, 15 Agustus 2016 lalu. Atas permasalahan sengketa tanah antara masyarakat dan TNI AU. Atas kejadian tersebut, belasa warga dan sejumlah wartwan menjadi korban penganiyaan keberingasan para oknum TNI tersebut pada kerusuhan terjadi itu.

Aidil mendesak agar Panglima TNI menyikapi bobroknya peradilan di Pengadilan Militer I Medan. Jika ini dibiarkan terus, tentu tidak akan tercipta rasa keadilan di tengah masyarakat. Kasus serupa akan terjadi dikemudian hari. Dengan tidak memberikan efek jera atas kejadian tersebut.

“Panglima TNI harus tau masalah ini. Jangan seolah-olah tutup mata. Kalau ini dibiarkan, tentu citra baik yang sudah terbangun di tengah masyarakat akan runtuh karena persoalan bobroknya penegakan hukum di kalangan TNI itu sendiri,” pungkas Aidil.(gus/ila)

 

 

Exit mobile version