25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Petani Siap Belajar Budi Daya Ikan KJA

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
KERAMBA: Petani ikan keramba jaring apung di Danau Toba.

MEDAN – Kematian 180 ton ikan emas dan ikan nila yang dipelihara di keramba jaring apung (KJA) masyarakat di perairan Danau Toba di wilayah Pangururan, membuat para petani tekor sekitar Rp5 miliar. Tak mau rugi berulang, para petani siap belajar cara budi daya ikan KJA yang baik di danau Toba.

“Rencananya, Pemkab Samosir akan menyosialisasikan rencana pengosongan KJA dari ikan selama dua bulan. Setelah sosialisasi, pengosongan dieksekusi. Kemudian, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumut bersama instansi terkait di Samosir, akan memberikan pembinaan kepada 18 kepala keluarga (KK) pemilik KJA di Kecamatan Pangururan,” kata Kadis DKP Sumut, Mulyadi Simatupang kepada Sumut Pos, Jumat (31/8).

Menurutnya, pembinaan itu atas permintaan para petani ikan. “Selaku pembina dan fasilitator, DKP Sumut siap membantu cara budidaya ikan KJA yang baik kepada nelayan di sana. Pembinaan ini atas permintaan para petani ikan keramba,” katanya .

Mulyadi menjelaskan, ada sejumlah kabupaten yang warganya membangun KJA di perairan Danau Toba. Yakni Kabupaten Samosir, Toba Samosir, Humbanghasundutan, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, dan Dairi.

“Dalam sosialisasi nanti, akan disampaikan cara budidaya ikan dengan baik. Soal letak KJA strategis dan cocok untuk budidaya ikan pada KJA. Misalnya, sesuai Perpres Nomor 81 tahun 2014 tentang RTRW Danau Toba, kedalaman KJA minimal 30 meter. Nah, faktor-faktor seperti ini harus dipahami pemilik KJA di sekitaran Danau Toba,” katanya.

Melalui sosialisasi dan pembinaan yang akan dilakukan, nelayan atau pemilik KJA diharapkan lebih baik dalam bisnis budidaya ikan. D imana sebelum memulai usaha budidaya, letak KJA sudah melalui ketentuan dan kajian matang. Dengan demikian kejadian ikan mati sebanyak 120 ribu ton dapat diminimalisir.

“Sebagai contoh di Kecamatan Pangururan itu sebenarnya diperbolehkan membuat KJA. Namun letak KJA-nya yang harus diperhatikan agar strategis. Baik soal kedalaman, PH (derajat keasaman) air, dan lainnya. Sehingga keberlangsungan budidaya ikan masyarakat menjadi lebih baik. Kita akan mengevaluasi semua letak KJA melalui instansi setempat,” paparnya.

Terkait KJA yang mengalami kematian ribuan ekor ikan, menurutnya terletak di lokasi tidak strategis. Yakni di lokasi yang terjadi pendangkalan dan arah angin yang begitu kuat. “Kemarin setelah kita turun ke lapangan, melakukan observasi dan mengambil sampel, diketahui bahwa kawasan itu sering terjadi angin kencang. PH dan ukuran KJA di sana banyak yang tidak sesuai dengan aturan, sehingga membuat oksigen larut sangat rendah,” ujarnya.

Berdasar hasil observasi yang dilakukan, PH air di kecamatan Pangururan hanya 2,3 mm/liter. Idealnya untuk KJA 5 mm/liter. Begitupun dengan kedalaman KJA yang tidak sampai 10 meter.

“Jarak pantai ke KJA juga cuma lima meter. Harusnya berdasarkan peraturan 100 meter jarak dari pantai ke KJA. Ini salah satu mengapa ikan-ikan disana banyak yang mati,” ungkapnya.

Cara budidaya ikan yang tidak baik, katanya, disertai dengan faktor cuaca dan angin, membawa bahan-bahan organik seperti amoniak yang ukurannya sudah melebihi ambang batas. Akibatnya, dari faktor-faktor tersebut menimbulkan racun dan pengurangan oksigen.”Satu KJA itu idealnya 5.000 ekor ikan. Yang kita lihat disana berdasar laporan nelayan KJA, satu petak ada 15.000 ekor ikan. Faktor-faktor ini belum diketahui oleh nelayan di sana,” ujarnya seraya menyebut permintaan pembinaan dan tambahan wawasan soal budidaya ini dari nelayan sendiri.

Seperti diketahui, DKP Sumut mencatat 180-200 ton ikan di Kecamatan Pangururan Danau Toba mati mendadak. Kematian ratusan ton ikan tersebut merugikan para nelayan KJA hingga Rp 6 miliar.

Sistem Zonasi KJA Tak Pernah Dieksekusi
Terkait kematian ikan-ikan KJA ini, anggota Komisi B DPRD Sumut Richard P Sidabutar, menyebutkan sebenarnya sudah banyak kesepakatan yang dihasilkan untuk membenahi Danau Toba. Namun tidak ada langkah lanjut untuk merealisasikannya.

“Kita terlalu banyak melahirkan kesepakatan dan menggelar rapat koordinasi, buat peraturan tapi mandul eksekusi. Contoh kecilnya, soal pengaturan zonasi keramba jaring apung (KJA). Sampai sekarang tidak ada eksekusinya. Bagaimana kita mau bicara strategi memajukan pariwisata kalau kita masih sibuk berdebat soal aturan dan perijinan.

Padahal aturannya sudah jelas Perpres No 81 tahun 2014 tentang rencana tata ruang kawasan Danau Toba. Makanya saya bilang kita ini terlalu banyak wacana eksekusi tak ada,” kata Richard, kemarin.

Dari kondisi tersebut, menurut Richard, anggapan bahwa pemerintah tidak serius mengembangkan pariwisata khususnya di Sumut, terlebih Danau Toba, sulit dibantah.

Dirinya juga mempertanyakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1/1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba sampai saat ini tidak diketahui realisasinya, baik berupa Peraturan Gubernur (Pergub) maupun peraturan-peraturan lain.

“Kita tidak tau kawasanan destinasi wisatanya apa saja. Hal ini tentu juga memperumit saat bicara tata kelola anggarannya. Mana kewenangan pemerintah pusat, mana kewenangan Provinsi, Kabupaten/Kota tak jelas. Bagaimana mau bicara memperkuat koordinasi dan sinerjisitas? Akhirnya masing-masing berjalan sendiri,” kata Politisi Partai Gerindra ini.

Ia juga melihat kinerja Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT) masih sebatas sosialisasi dan membuat seminar. Masih berkutat pada pewacanaan. “Belum pada tahap membangun gagasan membangun pariwisata berbasis budaya dan kearifan lokal, yang sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar,” pungkasnya. (prn/bal)

TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
KERAMBA: Petani ikan keramba jaring apung di Danau Toba.

MEDAN – Kematian 180 ton ikan emas dan ikan nila yang dipelihara di keramba jaring apung (KJA) masyarakat di perairan Danau Toba di wilayah Pangururan, membuat para petani tekor sekitar Rp5 miliar. Tak mau rugi berulang, para petani siap belajar cara budi daya ikan KJA yang baik di danau Toba.

“Rencananya, Pemkab Samosir akan menyosialisasikan rencana pengosongan KJA dari ikan selama dua bulan. Setelah sosialisasi, pengosongan dieksekusi. Kemudian, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumut bersama instansi terkait di Samosir, akan memberikan pembinaan kepada 18 kepala keluarga (KK) pemilik KJA di Kecamatan Pangururan,” kata Kadis DKP Sumut, Mulyadi Simatupang kepada Sumut Pos, Jumat (31/8).

Menurutnya, pembinaan itu atas permintaan para petani ikan. “Selaku pembina dan fasilitator, DKP Sumut siap membantu cara budidaya ikan KJA yang baik kepada nelayan di sana. Pembinaan ini atas permintaan para petani ikan keramba,” katanya .

Mulyadi menjelaskan, ada sejumlah kabupaten yang warganya membangun KJA di perairan Danau Toba. Yakni Kabupaten Samosir, Toba Samosir, Humbanghasundutan, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, dan Dairi.

“Dalam sosialisasi nanti, akan disampaikan cara budidaya ikan dengan baik. Soal letak KJA strategis dan cocok untuk budidaya ikan pada KJA. Misalnya, sesuai Perpres Nomor 81 tahun 2014 tentang RTRW Danau Toba, kedalaman KJA minimal 30 meter. Nah, faktor-faktor seperti ini harus dipahami pemilik KJA di sekitaran Danau Toba,” katanya.

Melalui sosialisasi dan pembinaan yang akan dilakukan, nelayan atau pemilik KJA diharapkan lebih baik dalam bisnis budidaya ikan. D imana sebelum memulai usaha budidaya, letak KJA sudah melalui ketentuan dan kajian matang. Dengan demikian kejadian ikan mati sebanyak 120 ribu ton dapat diminimalisir.

“Sebagai contoh di Kecamatan Pangururan itu sebenarnya diperbolehkan membuat KJA. Namun letak KJA-nya yang harus diperhatikan agar strategis. Baik soal kedalaman, PH (derajat keasaman) air, dan lainnya. Sehingga keberlangsungan budidaya ikan masyarakat menjadi lebih baik. Kita akan mengevaluasi semua letak KJA melalui instansi setempat,” paparnya.

Terkait KJA yang mengalami kematian ribuan ekor ikan, menurutnya terletak di lokasi tidak strategis. Yakni di lokasi yang terjadi pendangkalan dan arah angin yang begitu kuat. “Kemarin setelah kita turun ke lapangan, melakukan observasi dan mengambil sampel, diketahui bahwa kawasan itu sering terjadi angin kencang. PH dan ukuran KJA di sana banyak yang tidak sesuai dengan aturan, sehingga membuat oksigen larut sangat rendah,” ujarnya.

Berdasar hasil observasi yang dilakukan, PH air di kecamatan Pangururan hanya 2,3 mm/liter. Idealnya untuk KJA 5 mm/liter. Begitupun dengan kedalaman KJA yang tidak sampai 10 meter.

“Jarak pantai ke KJA juga cuma lima meter. Harusnya berdasarkan peraturan 100 meter jarak dari pantai ke KJA. Ini salah satu mengapa ikan-ikan disana banyak yang mati,” ungkapnya.

Cara budidaya ikan yang tidak baik, katanya, disertai dengan faktor cuaca dan angin, membawa bahan-bahan organik seperti amoniak yang ukurannya sudah melebihi ambang batas. Akibatnya, dari faktor-faktor tersebut menimbulkan racun dan pengurangan oksigen.”Satu KJA itu idealnya 5.000 ekor ikan. Yang kita lihat disana berdasar laporan nelayan KJA, satu petak ada 15.000 ekor ikan. Faktor-faktor ini belum diketahui oleh nelayan di sana,” ujarnya seraya menyebut permintaan pembinaan dan tambahan wawasan soal budidaya ini dari nelayan sendiri.

Seperti diketahui, DKP Sumut mencatat 180-200 ton ikan di Kecamatan Pangururan Danau Toba mati mendadak. Kematian ratusan ton ikan tersebut merugikan para nelayan KJA hingga Rp 6 miliar.

Sistem Zonasi KJA Tak Pernah Dieksekusi
Terkait kematian ikan-ikan KJA ini, anggota Komisi B DPRD Sumut Richard P Sidabutar, menyebutkan sebenarnya sudah banyak kesepakatan yang dihasilkan untuk membenahi Danau Toba. Namun tidak ada langkah lanjut untuk merealisasikannya.

“Kita terlalu banyak melahirkan kesepakatan dan menggelar rapat koordinasi, buat peraturan tapi mandul eksekusi. Contoh kecilnya, soal pengaturan zonasi keramba jaring apung (KJA). Sampai sekarang tidak ada eksekusinya. Bagaimana kita mau bicara strategi memajukan pariwisata kalau kita masih sibuk berdebat soal aturan dan perijinan.

Padahal aturannya sudah jelas Perpres No 81 tahun 2014 tentang rencana tata ruang kawasan Danau Toba. Makanya saya bilang kita ini terlalu banyak wacana eksekusi tak ada,” kata Richard, kemarin.

Dari kondisi tersebut, menurut Richard, anggapan bahwa pemerintah tidak serius mengembangkan pariwisata khususnya di Sumut, terlebih Danau Toba, sulit dibantah.

Dirinya juga mempertanyakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1/1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba sampai saat ini tidak diketahui realisasinya, baik berupa Peraturan Gubernur (Pergub) maupun peraturan-peraturan lain.

“Kita tidak tau kawasanan destinasi wisatanya apa saja. Hal ini tentu juga memperumit saat bicara tata kelola anggarannya. Mana kewenangan pemerintah pusat, mana kewenangan Provinsi, Kabupaten/Kota tak jelas. Bagaimana mau bicara memperkuat koordinasi dan sinerjisitas? Akhirnya masing-masing berjalan sendiri,” kata Politisi Partai Gerindra ini.

Ia juga melihat kinerja Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT) masih sebatas sosialisasi dan membuat seminar. Masih berkutat pada pewacanaan. “Belum pada tahap membangun gagasan membangun pariwisata berbasis budaya dan kearifan lokal, yang sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar,” pungkasnya. (prn/bal)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/