31.7 C
Medan
Sunday, May 26, 2024

Promosi Marsudin & Wahyu Batal

Bukti tidak cukup, KPK telah melepas Ketua Pengadilan Negeri (PN) Medan, Marsudin Nainggolan, dan Wakil Ketua PN Medan, Wahyu Prasetyo Wibowo, dalam Operasi Tangkap Tangan kasus suap dari pengusaha Tamin Sukardi, Rabu (29/8). Namun demikian, kerusakan telanjur terjadi. Promosi jabatan yang sudah di depan mata, dibatalkan. Keduanya malah dimutasi ke Mahkamah Agung (MA).

SEBELUMNYA, Marsudin akan dipromosikan sebagai hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar, Bali. Jadwal serah terima jabatannya bahkan sudah sempat ditetapkan, yakni 5 September 2018 mendatang. Sedangkan Wahyu akan dipromosikan menjadi Ketua PN Serang.

“Kabar terbaru yang saya ketahui seperti itu. Mereka dimutasi ke pusat, ke kantor MA. Sebentar lagi SK-nya turun,” ungkap Humas PN Medan, Djamaluddin, kepada wartawan di PN Medan, Jumat (31/8) sore. Selain keduanya, hakim anggota kasus Tamin, Sontan Merauke Sinaga juga ikut dimutasi ke Mahkamah Agung.

Djamaluddin mengaku tidak mengetahui penyebab batalnya promosi jabatan kedua pimpinan di PN Medan tersebut. “Saya baru dapat kabar. Bukan ditarik ya bahasanya, tapi dimutasi. SK mutasi ketiga hakim itu untuk penempatan dinas di MA. Jadi bukan seperti jadwal sebelumnya (promosi sesuai jadwal sertijab, Red),” terangnya.

Sebelumnya, Mardusin akan digantikan Djaniko Girsang sebagai Ketua PN Medan. Sedangkan Wahyu rencannya digantikan Abdul Aziz.

Pada Kamis (30/8), Tim Badan Pengawas (Bawas) MA turun ke PN Medan, memeriksa ketiga hakim dimaksud bersama seorang panitera bernama Oloan Sirait. Sejumlah saksi ikut diperiksa, terkait OTT KPK di Gedung B PN Medan itu.

“Pemeriksaan sudah berakhir kemarin. TIM Bawas MA ingin melihat apakah ada pelanggaran kode etik hakim oleh ketiga hakim tersebut. Hasilnya kita belum tahu. Mekanismenya nanti, tim Bawas MA akan mengkaji dan memutus investigasi pemeriksaan. Hasilnya akan diberitahu kepada pribadi-pribadi hakim tersebut dan juga akan dipublikasi di website atau laman Dirjen Badan Peradilan Umum (Badilum) pada laman MA,” jelas Djamalludin.

Terkait status hukum perkara perkara penjualan tanah eks HGU PTPN II, dengan nilai penjualan lebih dari Rp132 miliar, yang menjerat pengusaha Medan Tamin Sukardi sebagai terdakwa, menurut Djamaluddin, masih terus diproses. Pasalnya, kuasa hukum Tamin menyatakan banding setelah Tamin divonis hukuman 6 tahun penjara oleh majelis hakim PN Medan yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo, Senin (27/8) lalu.

“Karena banding, proses pemeriksaan putusan PN Medan akan dilakukan hakim PT Medan, meski pihak penasehat belum melampirkan memori banding. Hal yang sama juga dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Salman SH dari Kejagung, yang menangani perkara penjualan tanah negara yang dilakukan Tamin Sukardi kepada Mujianto.

“Kalau tak ada memori banding, apa yang mau dibuat JPU soal kontra memori bandingnya? Tapi memang sistem acara pidana kita tidak mewajibkan penasihat hukum membuat memori banding. Jadi tetap diproses,” jelasnya.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumut, Sumanggar Siagian, belum mengetahui apakah Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus Tamin Sukardi, akan banding atau tidak. “Nanti saya tanya dulu ya,” ucapnya via telepon seluler.

Sebelumnya, OTT KPK menangkap 8 orang terkait dugaan suap terhadap hakim di PN Medan. Mereka adalah Ketua PN bersama tiga hakim yang menyidangkan kasus Tamin Sukardi, dua panitera, dan dua pihak swasta. Tapi hanya hakim anggota Merry Purba dan panitera Helpandi yang ditetapkan sebagai tersangka. Dan dua orang lainnya dari pihak swasta, yaitu Tamin Sukardi dan pengacaranya Hadi Setiawan.

Merry dan Helpandi diduga menerima suap SGD 280 ribu atau Rp 3 miliar lebih. Suap diduga diberikan Tamin ke Merry, melalui orang kepercayaannya bernama Hadi Setiawan. Tujuannya untuk mempengaruhi putusan hakim kasus korupsi dengan terdakwa Tamin Sukardi. Merry duduk sebagai hakim anggota bersama Sontan Merauke Sinaga dengan ketua majelis hakim Wahyu Prasetyo Wibowo.

Merry dan Helpandi selaku pihak yang diduga penerima suap disangkakan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Sementara, Tamin dan Hadi selaku pihak yang diduga pemberi suap disangkakan dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001.

Pascaditetapkan sebagai tersangka, hakim ad hoc Pengadilan Negeri (PN) Medan, Merry Purba, diberhentikan sementara dari jabatannya. Jika putusan telah tetap, ia akan langsung diberhentikan tetap. Nasib serupa juga ditimpakan pada Helpandi yang merupakan panitera pengganti PN Medan. Dia juga ditetapkan KPK sebagai tersangka.

MA Kesulitan Mengawasi
Terkait kasus ini, Mahkamah Agung (MA) mengakui kesulitan mengawasi tindakan para hakimnya di luar pengadilan karena berkembangnya teknologi komunikasi. Hal itu diduga menjadi penyebab masih adanya perilaku hakim culas yang menerima suap.

“Dengan perkembangan teknologi orang bisa berhubungan dengan alat komunikasi yang canggih,” kata juru bicara MA, Suhadi di kantornya, Jakarta, Kamis kemarin.

Suhadi mengatakan, saat ini Mahkamah Agung baru mampu mengawasi tindakan hakim di dalam pengadilan dengan adanya pelayanan terpadu satu pintu. Sistem itu, dia klaim mampu meminimalisir kontak antara hakim dan orang yang berperkara. “Kami sudah mampu mencegah adanya kontak antara pejabat pengadilan dengan pencari keadilan,” kata dia.

Namun, di luar pengadilan, kata dia, pengawasan itu sulit dilakukan. Dia mencontohkan dalam OTT KPK kemarin transaksi antara Merry dengan penyuap diduga dilakukan saat di perjalanan memakai mobil. “Pemberian itu dilakukan di perjalanan. Nah ini badan pengawas sulit mengejar,” kata dia.

Suhadi mengatakan karena itu pihaknya mendukung upaya penindakan KPK terhadap hakim yang terbukti melakukan korupsi. Di lain sisi, dia mengatakan pihaknya akan tetap mengevaluasi sistem pengawasan internal lembaganya. “Pasti kami evaluasi,” kata dia.

Komisi Yudisial (KY) ikut menyoroti soal pelanggaran hukum dilakukan hakim saat menegakkan hukum. Juru Bicara KY, Farid Wajdi mengatakan lebih dari 17 tahun reformasi peradilan berjalan, beberapa output telah dihasilkan mulai berupa dua cetak biru sampai dengan ratusan instrumen seperti PERMA/SEMA/Juknis dan seterusnya.

“Harus diakui, beberapa capaian telah memenuhi target sekaligus membawa dampak perubahan di banyak aspek, seperti keterbukaan informasi, sistem manajemen perkara, pelayanan satu pintu yang menjadi contoh utama,” ucap Farid kepada wartawan di Medan, Jumat (31/8).

Farid menilai untuk capaian dimaksud bukanlah tanpa cela. Sejak ide perubahan dan perbaikan itu ada, sejak itu pula beberapa peristiwa yang jadi tones negatif tidak pernah benar-benar berhenti. Peristiwa OTT yang dilakukan oleh KPK di Medan adalah contoh paling aktual.

Terkait hal itu, KY mendorong penegak hukum, dalam hal ini KPK, untuk mengelola kasus ini secara proporsional dan profesional. “Usut siapapun yang terlibat, jangan ada rantai yang terputus”Sebaliknya, rehabilitasi yang jelas tidak terlibat. Tidak dibenarkan desakan opini atau stigma publik mempengaruhi kerja penyidikan,” sebut Farid.

Menurutnya, kepercayaan publik harus kembali dimenangkan. Ia harus direbut bukan dengan membela diri dari semua tuduhan, melainkan dengan keterbukaan dalam melakukan bersih-bersih secara total. “Dimulai dari atas/pimpinan sampai bawah/pelaksana,” tandasnya.

19 Hakim Terjerat Kasus Suap
Dalam kurun waktu 13 tahun belakangan, KPK sudah menjerat 19 orang hakim, yang diduga menerima suap terkait perkara yang ditanganinya. Dari 19 hakim tersebut, terdapat 10 hakim ad hoc Tipikor, dan sisanya 3 hakim PN, 1 Hakim Pengadilan Tinggi (PT), 4 Hakim PTUN, 1 Hakim ad hoc PHI.

“KY sangat menyayangkan bahwa 10 dari 19 hakim yang terjerat OTT oleh KPK pada 2005-2018 merupakan hakim ad hoc Tipikor. Hakim yang seharusnya bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara korupsi, justru melakukan korupsi,” tutur Farid.

Hal ini menurut Farid perlu diperhatikan secara serius. Karena jangan sampai orang yang diduga melakukan korupsi bisa bebas dari jeratan hukum atau mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan karena hakim yang memeriksa perkara tersebut menerima suap.

“Sebagai langkah pembenahan, maka perlu diperhatikan dengan serius terkait proses rekrutmen dan pengawasan terhadap hakim ad hoc Tipikor. KY menegaskan pentingnya melakukan cek integritas dengan mendalami rekam jejak calon. Faktor ini harus menjadi fokus dan prioritas dalam proses seleksi,” kata Farid.

Untuk dalam hal pengawasan, Farid mengungkapkan maka perlu untuk mengawasi setiap perkara korupsi. Tidak hanya proses sidangnya, tapi juga soal kegiatan-kegiatan hakim di luar kegiatan dinasnya. (gus/bbs)

Bukti tidak cukup, KPK telah melepas Ketua Pengadilan Negeri (PN) Medan, Marsudin Nainggolan, dan Wakil Ketua PN Medan, Wahyu Prasetyo Wibowo, dalam Operasi Tangkap Tangan kasus suap dari pengusaha Tamin Sukardi, Rabu (29/8). Namun demikian, kerusakan telanjur terjadi. Promosi jabatan yang sudah di depan mata, dibatalkan. Keduanya malah dimutasi ke Mahkamah Agung (MA).

SEBELUMNYA, Marsudin akan dipromosikan sebagai hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar, Bali. Jadwal serah terima jabatannya bahkan sudah sempat ditetapkan, yakni 5 September 2018 mendatang. Sedangkan Wahyu akan dipromosikan menjadi Ketua PN Serang.

“Kabar terbaru yang saya ketahui seperti itu. Mereka dimutasi ke pusat, ke kantor MA. Sebentar lagi SK-nya turun,” ungkap Humas PN Medan, Djamaluddin, kepada wartawan di PN Medan, Jumat (31/8) sore. Selain keduanya, hakim anggota kasus Tamin, Sontan Merauke Sinaga juga ikut dimutasi ke Mahkamah Agung.

Djamaluddin mengaku tidak mengetahui penyebab batalnya promosi jabatan kedua pimpinan di PN Medan tersebut. “Saya baru dapat kabar. Bukan ditarik ya bahasanya, tapi dimutasi. SK mutasi ketiga hakim itu untuk penempatan dinas di MA. Jadi bukan seperti jadwal sebelumnya (promosi sesuai jadwal sertijab, Red),” terangnya.

Sebelumnya, Mardusin akan digantikan Djaniko Girsang sebagai Ketua PN Medan. Sedangkan Wahyu rencannya digantikan Abdul Aziz.

Pada Kamis (30/8), Tim Badan Pengawas (Bawas) MA turun ke PN Medan, memeriksa ketiga hakim dimaksud bersama seorang panitera bernama Oloan Sirait. Sejumlah saksi ikut diperiksa, terkait OTT KPK di Gedung B PN Medan itu.

“Pemeriksaan sudah berakhir kemarin. TIM Bawas MA ingin melihat apakah ada pelanggaran kode etik hakim oleh ketiga hakim tersebut. Hasilnya kita belum tahu. Mekanismenya nanti, tim Bawas MA akan mengkaji dan memutus investigasi pemeriksaan. Hasilnya akan diberitahu kepada pribadi-pribadi hakim tersebut dan juga akan dipublikasi di website atau laman Dirjen Badan Peradilan Umum (Badilum) pada laman MA,” jelas Djamalludin.

Terkait status hukum perkara perkara penjualan tanah eks HGU PTPN II, dengan nilai penjualan lebih dari Rp132 miliar, yang menjerat pengusaha Medan Tamin Sukardi sebagai terdakwa, menurut Djamaluddin, masih terus diproses. Pasalnya, kuasa hukum Tamin menyatakan banding setelah Tamin divonis hukuman 6 tahun penjara oleh majelis hakim PN Medan yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo, Senin (27/8) lalu.

“Karena banding, proses pemeriksaan putusan PN Medan akan dilakukan hakim PT Medan, meski pihak penasehat belum melampirkan memori banding. Hal yang sama juga dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Salman SH dari Kejagung, yang menangani perkara penjualan tanah negara yang dilakukan Tamin Sukardi kepada Mujianto.

“Kalau tak ada memori banding, apa yang mau dibuat JPU soal kontra memori bandingnya? Tapi memang sistem acara pidana kita tidak mewajibkan penasihat hukum membuat memori banding. Jadi tetap diproses,” jelasnya.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sumut, Sumanggar Siagian, belum mengetahui apakah Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus Tamin Sukardi, akan banding atau tidak. “Nanti saya tanya dulu ya,” ucapnya via telepon seluler.

Sebelumnya, OTT KPK menangkap 8 orang terkait dugaan suap terhadap hakim di PN Medan. Mereka adalah Ketua PN bersama tiga hakim yang menyidangkan kasus Tamin Sukardi, dua panitera, dan dua pihak swasta. Tapi hanya hakim anggota Merry Purba dan panitera Helpandi yang ditetapkan sebagai tersangka. Dan dua orang lainnya dari pihak swasta, yaitu Tamin Sukardi dan pengacaranya Hadi Setiawan.

Merry dan Helpandi diduga menerima suap SGD 280 ribu atau Rp 3 miliar lebih. Suap diduga diberikan Tamin ke Merry, melalui orang kepercayaannya bernama Hadi Setiawan. Tujuannya untuk mempengaruhi putusan hakim kasus korupsi dengan terdakwa Tamin Sukardi. Merry duduk sebagai hakim anggota bersama Sontan Merauke Sinaga dengan ketua majelis hakim Wahyu Prasetyo Wibowo.

Merry dan Helpandi selaku pihak yang diduga penerima suap disangkakan Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.

Sementara, Tamin dan Hadi selaku pihak yang diduga pemberi suap disangkakan dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001.

Pascaditetapkan sebagai tersangka, hakim ad hoc Pengadilan Negeri (PN) Medan, Merry Purba, diberhentikan sementara dari jabatannya. Jika putusan telah tetap, ia akan langsung diberhentikan tetap. Nasib serupa juga ditimpakan pada Helpandi yang merupakan panitera pengganti PN Medan. Dia juga ditetapkan KPK sebagai tersangka.

MA Kesulitan Mengawasi
Terkait kasus ini, Mahkamah Agung (MA) mengakui kesulitan mengawasi tindakan para hakimnya di luar pengadilan karena berkembangnya teknologi komunikasi. Hal itu diduga menjadi penyebab masih adanya perilaku hakim culas yang menerima suap.

“Dengan perkembangan teknologi orang bisa berhubungan dengan alat komunikasi yang canggih,” kata juru bicara MA, Suhadi di kantornya, Jakarta, Kamis kemarin.

Suhadi mengatakan, saat ini Mahkamah Agung baru mampu mengawasi tindakan hakim di dalam pengadilan dengan adanya pelayanan terpadu satu pintu. Sistem itu, dia klaim mampu meminimalisir kontak antara hakim dan orang yang berperkara. “Kami sudah mampu mencegah adanya kontak antara pejabat pengadilan dengan pencari keadilan,” kata dia.

Namun, di luar pengadilan, kata dia, pengawasan itu sulit dilakukan. Dia mencontohkan dalam OTT KPK kemarin transaksi antara Merry dengan penyuap diduga dilakukan saat di perjalanan memakai mobil. “Pemberian itu dilakukan di perjalanan. Nah ini badan pengawas sulit mengejar,” kata dia.

Suhadi mengatakan karena itu pihaknya mendukung upaya penindakan KPK terhadap hakim yang terbukti melakukan korupsi. Di lain sisi, dia mengatakan pihaknya akan tetap mengevaluasi sistem pengawasan internal lembaganya. “Pasti kami evaluasi,” kata dia.

Komisi Yudisial (KY) ikut menyoroti soal pelanggaran hukum dilakukan hakim saat menegakkan hukum. Juru Bicara KY, Farid Wajdi mengatakan lebih dari 17 tahun reformasi peradilan berjalan, beberapa output telah dihasilkan mulai berupa dua cetak biru sampai dengan ratusan instrumen seperti PERMA/SEMA/Juknis dan seterusnya.

“Harus diakui, beberapa capaian telah memenuhi target sekaligus membawa dampak perubahan di banyak aspek, seperti keterbukaan informasi, sistem manajemen perkara, pelayanan satu pintu yang menjadi contoh utama,” ucap Farid kepada wartawan di Medan, Jumat (31/8).

Farid menilai untuk capaian dimaksud bukanlah tanpa cela. Sejak ide perubahan dan perbaikan itu ada, sejak itu pula beberapa peristiwa yang jadi tones negatif tidak pernah benar-benar berhenti. Peristiwa OTT yang dilakukan oleh KPK di Medan adalah contoh paling aktual.

Terkait hal itu, KY mendorong penegak hukum, dalam hal ini KPK, untuk mengelola kasus ini secara proporsional dan profesional. “Usut siapapun yang terlibat, jangan ada rantai yang terputus”Sebaliknya, rehabilitasi yang jelas tidak terlibat. Tidak dibenarkan desakan opini atau stigma publik mempengaruhi kerja penyidikan,” sebut Farid.

Menurutnya, kepercayaan publik harus kembali dimenangkan. Ia harus direbut bukan dengan membela diri dari semua tuduhan, melainkan dengan keterbukaan dalam melakukan bersih-bersih secara total. “Dimulai dari atas/pimpinan sampai bawah/pelaksana,” tandasnya.

19 Hakim Terjerat Kasus Suap
Dalam kurun waktu 13 tahun belakangan, KPK sudah menjerat 19 orang hakim, yang diduga menerima suap terkait perkara yang ditanganinya. Dari 19 hakim tersebut, terdapat 10 hakim ad hoc Tipikor, dan sisanya 3 hakim PN, 1 Hakim Pengadilan Tinggi (PT), 4 Hakim PTUN, 1 Hakim ad hoc PHI.

“KY sangat menyayangkan bahwa 10 dari 19 hakim yang terjerat OTT oleh KPK pada 2005-2018 merupakan hakim ad hoc Tipikor. Hakim yang seharusnya bertugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara korupsi, justru melakukan korupsi,” tutur Farid.

Hal ini menurut Farid perlu diperhatikan secara serius. Karena jangan sampai orang yang diduga melakukan korupsi bisa bebas dari jeratan hukum atau mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan karena hakim yang memeriksa perkara tersebut menerima suap.

“Sebagai langkah pembenahan, maka perlu diperhatikan dengan serius terkait proses rekrutmen dan pengawasan terhadap hakim ad hoc Tipikor. KY menegaskan pentingnya melakukan cek integritas dengan mendalami rekam jejak calon. Faktor ini harus menjadi fokus dan prioritas dalam proses seleksi,” kata Farid.

Untuk dalam hal pengawasan, Farid mengungkapkan maka perlu untuk mengawasi setiap perkara korupsi. Tidak hanya proses sidangnya, tapi juga soal kegiatan-kegiatan hakim di luar kegiatan dinasnya. (gus/bbs)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/