MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tribun Network menggelar talkshow series yang digelar pada sembilan kota di Indonesia, termasuk Kota Medan. Bertajuk Memilih Damai, Presiden ke-8 Haruskah Kembali Perdebatan Jawa vs Non-Jawa acara tersebut digelar di Aula Gedung Rektor UMSU, Rabu (30/11) Pada talkshow di Medan, ada empat narasumber, yakni Dekan FISIP UMSU Arifin Saleh Siregar, Dosen Universitas Indonesia Panji Anugrah Permana, Pengamat Sosial Politik dan Direktur nBasis Shohibul Anshor Siregar, dan Founder Lingkar Madani, Ray Rangkuti.
Wakil Rektor I UMSU Prof Dr Muhammad Arifin SH M Hum dalam sambutannya menyampaikan topik tersebut sangat update untuk dibicarakan.
“Sudah 76 tahun kita merdeka, sudah tujuh presiden, namun baru satu presiden kita yang bukan orang kita Jawa, itu pun masih ada keturunan Jawanya, Bapak BJ Habibie. Namun, kita bukan bermaksud untuk membicarakan secara SARA ya, kita hanya bercerita soal faktanya,” ujar Arifin dalam talk show Memilih Damai yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi Tribun Medan, Iin Sholihin dan Paramitha Soemantri.
Ia menyebut secara konstitusional tidak pernah disebutkan untuk berfokus pada suatu suku atau suatu agama menjadi seorang presiden. “Hanya saja semasa kita berada di bawah konstitusi sebelum amandemen, seingat saya itu memang ada satu frase mengatakan, presiden adalah orang Indonesia asli. Kategori asli ini yang menjadi pertanyaan juga, asli yang bagaimana ceritanya,” katanya.
Menurut pandangan Arifin hal itu tidak terlepas dari politik Pemerintah Hindia Belanda dulu, yang membagi golongan penduduk Indonesia ini menjadi tiga, ada golongan Eropa, golongan Timur Asing atau Tionghoa, dan Bumi Putra.
“Nah, saya pikir penduduk aslinya ini diambil dari bumi putranya itu. Kita tidak ingin bangsa kita ini dipimpin oleh orang yang tidak memahami Indonesia,” paparnya. Namun, cerita itu tak berlaku pada konstitusi setelah amandemen.
“Berdasarkan apa yang disampaikan Francis Fukuyama, bahwa nasionalisme dan agama akan tetap dibutuhkan untuk menjadi basis identitas. Jadi nasionalisme, kalau kita kembali ke pasal 6 itulah nasionalisme, Indonesia asli tadi, jadi ada benang merah antara pernyataannya dengan apa yang tertuang di dalam konstitusi kita dulu. Kenapa kita melupakan sejarah tersebut, aneh sebenarnya. Jadi, dari diskusi kali inilah akan kita bahas. Para narasumber nantinya diharap bisa memberi pencerahan, pencerdasan terutama kepada generasi muda ini,” katanya.
Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa menjadikan hal tersebut penting untuk dibahas, sebagai bentuk literasi politik kepada generasi muda khususnya. Terkait hal tersebut, Shohibul mengatakan tidak bisa dihindari. “Berbicara Jawa vs Non-Jawa, presiden kita disebut dari awal tujuh orang benar tidak. Ada yang kenal tidak dengan Syafruddin Prawiranegara dan Mr Assat. Saya tidak bisa membayangkan Indonesia, tanpa kedua nama ini. Tapi, dari kampung hingga kemanapun yang dikenal hanya tujuh presiden, dua lagi ke mana,” katanya.
Ia menambahkan, pesimistis pada 2029 akan ada presiden non-Jawa. Menurutnya, itu masih jauh. “Budaya ini ada yang sifatnya di bawah permukaan dan tidak terbaca, masih sangat sulit mencapai keinginan perubahan stigma tersebut,” ujar Shohibul.
Di Indonesia masih sangat kerap ada tudingan politik identitas. Fukuyama dalam teorinya tidak bisa dibantah mengenai itu.
Berbeda pendapat dengan Ray Rangkuti Founder Lingkar Madani. Menurutnya, ke depan memilih pemimpin tidak akan berbicara soal etnik tertentu, namun melihat apa prestasi calon.
“Jawa dan non-Jawa itu jangan dilihat dari segi geografik, jangan juga dilihat dari segi etnik. Di Pulau Jawa termasuk beragam suku bangsa ada, sama seperti di sini juga hampir semua suku bangsa ada. Jadi, kalau kita berbicara Jawa itu artinya kita sedang berbicara jumlah pemilih terbesar di Indonesia.
Karena jumlah pemilih terbesarnya itu ada di Jawa memang mau tidak mau orang mengatakan Jawa adalah kunci itu hukum politiknya saja. Kalau sekiranya separuh dari penduduk Jawa itu pindah ke Sumatera Utara, Sumatera Utara adalah kunci. Mau tidak mau politik itu mengikuti jumlah pemilih terbanyak di mana,” ujar Rangkuti.
Menurutnya saat ini jika ditanya apakah yang menentukan adalah Jawa, jawabannya ya, karena pemilihnya banyak di sana. “Tetapi apakah karena itu kemudian para calon pemimpin tidak bisa tumbuh dari mereka yang secara etnik bukan Jawa, secara geografik bukan Jawa, dan secara asal usul bukan Jawa, jawabannya tidak. Untuk tahun 2024 ini saya rasa sulit bagi calon presiden, karena nama-namanya sudah terkunci di tiga nama, ada Prabowo, Anis, dan Ganjar, kalau wakil masih terbuka ni,” ungkapnya.
Diterangkan Ray dari beberapa nama yang akan maju dalam Pilpres jika dikatakan betul-betul disebut berasal dari Jawa, geografik dan Etnik hanya Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.
Sedangkan kandidat lain Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Erick Tohir hingga Puan Maharani bisa disebut bukan betul-betul dari Jawa.
Namun prediksinya, ke depan prilaku pemilih akan berubah seperti menonton YouTube, jika tidak bagus dan menarik tidak akan di-like.
“Sistem kita ini kalau mau dibilang liberal, ya liberal. Kalau punya kemampuan ya silakan. Kemudian asumsi yang kedua, kaum melenial ini tidak terpaku pada yang namanya etnik. Sebagai contoh misalnya, prilaku pemilih pada masa mendatang itu seperti nonton YouTube, siapapun yang membuat sesuatu yang menarik di YouTube kita akan pasti like tidak perlu melihat sukunya, apa jenis kelaminnya, apa agamanya, tidak peduli juga negaranya di manapun,” ungkap Ray.
Selanjutnya, tambah Founder Lingkar Madani ini, pemilih akan berbicara prestasi tidak lagi bicara etnik, prestasinya apa. “Tidak bisa tiba-tiba jadi presiden, ujuk-ujuk bisa jadi gubernur. Mau punya partai sebesar apapun kalau tidak diminati publik tidak akan bisa menjadi calon presiden. Jika nantinya IKN jadi pindah maka pusat politik yang selama ini dikenal Jakarta, pasti akan berpindah ke ibu kota baru. Pusat kekuatan politik akan pindah dengan sendirinya,” ujarnya.(ila)