26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

PLTA Batang Toru: Air Sungai Mengalir 24 Jam ke Hilir

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
SUNGAI BATANG TORU: Aliran Sungai Batang Toru yang menjadi sumber utama PLTA Batang Toru terlihat dari udara. Air sungai ini akan tetap mengalir selama 24 jam meski akan dibangun bendungan, karena PLTA ini menggunakan sistem run-of-river hydropower.

SUMUTPOS.CO – Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru 510 MW di Tapanuli Selatan penting untuk ketersediaan energi yang ramah lingkungan bagi Sumatera Utara. PLTA tersebut menerapkan  sistem run-of-river hydropower, sehingga tidak perlu menampung air dalam jumlah banyak. Air sungai akan  tetap mengalir ke hilir selama 24 jam. Jadi aliran sungai tidak terganggu dengan adanya bendungan, karena air tetap akan dilepas terus-menerus.

BERBEDA dengan PLTA lain yang harus membangun reservoir, PLTA Batang Toru hanya memerlukan kolam harian dengan penambahan areal genangan 66 Ha. Selain itu, pembangunannya menggunakan konsep irit lahan. “Hanya menggunakan lahan seluas total 122 Ha dengan luas bangunan hanya 56 Ha. Lahan yang akan digunakan sebagai tapak struktur permanen tersebut setara 0,07 persen dari keseluruhan kawasan ekosistem Batangtoru,” kata Dr Agus Djoko Ismanto PhD, Senior Advisor Lingkungan PT NSHE, kepada Sumut Pos, Jumat (1/3).

Proyek PLTA Batang Toru, kata dia, secara fundamental akan mempertahankan dan selalu ikut program kelestarian kawasan, yang menghasilkan air sebagai bahan baku operasinya. Karena itu secara alami, pembangunannya tetap mengedepankan pentingnya mempertahankan kelestarian keragaman hayati, termasuk satwa di wilayah Batang Toru. “Kami menyadari bahwa sumber utama pembangkit kami adalah air. Sedangkan ketersediaan pasokan air sangat tergantung pada kelestarian alam sekitarnya. Karena itu, PLTA Batangtoru berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan,” kata Agus.

PLTA Batang Toru juga berkomitmen untuk menjadi market leader PLTA. Sejak masa persiapan dan pelaksanaan pembangunan, PLTA Batang Toru mengadopsi dan menerapkan standar-standar nasional dan internasional. “Selain memenuhi AMDAL, kami telah melaksanakan kajian Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) yang menjadikan kami PLTA pertama di Indonesia yang melaksanakan Equatorial Principle. Jadi dalam hal ini penanganan lingkungan termasuk satwa liar, seperti orangutan di sekitar ke wilayah pembangunan PLTA mengacu juga pada standar ESIA tersebut,” jelasnya panjang lebar.

Selain itu, lokasi pembangunan PLTA Batang Toru adalah di Areal Penggunaan Lain (APL). Bukan di hutan. Jadi kehadiran PLTA tidak merusak hutan primer maupun hutan konservasi. Hal ini dapat dilihat dari jenis vegetasi yang tumbuh di lokasi yang didominasi pohon karet dan pohon perkebunan lainnya.

“Lahan PLTA yang berupa APL tersebut seluruhnya dibeli dari lahan masyarakat yang secara hukum telah diizinkan oleh negara untuk kepentingan non-kehutanan. Ini dapat buktikan dari sertifikat tanah yang telah kami beli,” beber Agus lagi.

Orangutan Terjaga

Keberadaan PLTA Batang Toru juga dipastikan tidak mengancam habitat orangutan, karena PLTA berada di APL. Berdasarkan kajian PT NSHE bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut dan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) AeK Nauli, terungkap bahwa lokasi APL tempat pembangunan PLTA Batangtoru bukan merupakan habitat utama PLTA Batang Toru. Habitat utama orangutan ada di dalam hutan. Ini berdasarkan hasil analisis populasi penemuan sarang dan sebaran pakan yang lebih banyak pada hutan konservasi maupun hutan lindung.

“Dalam penanganan orangutan di wilayah APL, PT NSHE berkoordinasi dan mengikuti arahan dari BKSDA Sumut. Secara operasional, tata cara penanganan satwa liar termasuk orangutan yang berada di APL mengikuti ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53/Menhut-II/2014,” katanya.

Wanda Kuswanda Ahli Peneliti Utama di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) AeK Nauli juga menegaskan bahawa lokasi proyek PLTA bukanlah habitat utama orangutan. Hal ini berdasarkan hasil analisis populasi penemuan sarang dan sebaran pakan yang lebih banyak pada hutan konservasi maupun hutan lindung. Rendahnya orangutan di APL karena kawasan ini telah banyak berubah menjadi lahan perkebunan, pertanian, dan pemukiman masyarakat Tapanuli sejak ratusan tahun yang lalu. Ia menjelaskan bahwa orangutan di wilayah Batang Toru sudah banyak yang hidup di ketinggian 600-900 meter, sedangkan proyek PTLA berada di ketinggian 400 meter.

Energi Terbarukan

Firman Taufick, Vice President of Communications and Social Affairs PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), mengatakan, PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, merupakan pembangkit energi terbarukan yang ramah lingkungan. Indonesia memiliki sumber energi terbarukan berupa panas matahari, air, angin, bioenergi, dan panas bumi. Potensi sumber energi dari air mencapai 75 ribu MW di seluruh Indonesia. Pemerintah menargetkan bauran dari energi terbarukan dapat mencapai 23 persen dari total sumber energi pada 2030.

“PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW menjadi salah satu dari pelaksanaan program strategis nasional untuk mencapai target pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW di Indonesia,” kata Firman.

PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan yang ramah lingkungan memberikan tiga manfaat besar sekaligus dari sisi energi, ekonomi, dan lingkungan bagi masyarakat, Sumatera Utara, Indonesia, dan Dunia.

Bagi Sumut, ketersediaan energi listrik yang ramah lingkungan karena PLTA Batang Toru untuk mengurangi peran pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang memakai energi fosil pada saat beban puncak di Sumut. “Bagi Indonesia, saat memakai sumber energi air maka pemerintah pusat bisa menghemat pengeluaran devisa hingga US$ 400 juta per tahun karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Bagi dunia, PLTA Batang Toru yang merupakan pembangkit energi terbarukan berkontribusi besar mengurangi emisi karbon nasional yang penting untuk mencegah dan memerangi dampak perubahan iklim yang sedang menjadi ancaman dunia,” terangnya.

Hasil Kajian Pustaka Alam menunjukkan PLTA Batang Toru dapat mengurangi emisi gas rumah kaca mencapai 1,6 – 2,2 juta metrik ton CO2 atau 4 persen target sektor energi Indonesia pada 2030.

“Pembangunan PLTA Batang Toru wujud kongkrit untuk menghadirkan green energy di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Kehadiran PLTA Batang Toru mendukung pengurangan emisi karbon Sumut dan nasional sebagai langkah kongkrit implementasi Kesepakatan Paris yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No.16 Tahun 2016,” kata Firman.

Aman

Menjawab tudingan bahwa PLTA Batang Toru dibangun di atas sesar gempa, Didiek Djarwadi, anggota Pusat Studi Gempa Bumi Nasional Kementerian PUPR, Mengatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia berada dalam wilayah gempa karena berada di ring of fire. Namun bukan berarti tidak boleh membangun apapun di wilayah Indonesia.

“Dalam hal ini yang kita harus perhatikan dalam membuat suatu bangunan termasuk PLTA adalah kita harus membangun dengan memenuhi standar yang dipersyaratkan,” kata dia.

PLTA Batang Toru, telah memiliki kajian-kajian gempa yang dipersyaratkan seperti geologi dan geofisika, termasuk Seismic Hazard Assessment dan Seismic Hazard Analysis.

PLTA Batang Toru dibangun tidak di atas sesar dan dibangun untuk tahan gempa dengan mengadopsi praktek terbaik dari ketentuan nasional dan internasional terbaru yang berlaku, seperti pedoman untuk desain dan pelaksanaan bendungan beton dari Balai Bendungan, dan International Commission on Large Dams (ICOLD).

“Jika bendungan dibangun sesuai standar dipersyaratkan maka bangunan tersebut akan tahan gempa. Contohnya, PLTA Singkarak yang berjarak 2 km dari sesar aktif dan didesain untuk tahan gempa sesuai besaran potensi gempa di sana, tidak mengalami kerusakan saat terjadi gempa di Sumatera Barat pada 2007 dengan magnitude lebih besar dari prediksi.,” katanya mengakhiri. (mea/adz)

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
SUNGAI BATANG TORU: Aliran Sungai Batang Toru yang menjadi sumber utama PLTA Batang Toru terlihat dari udara. Air sungai ini akan tetap mengalir selama 24 jam meski akan dibangun bendungan, karena PLTA ini menggunakan sistem run-of-river hydropower.

SUMUTPOS.CO – Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru 510 MW di Tapanuli Selatan penting untuk ketersediaan energi yang ramah lingkungan bagi Sumatera Utara. PLTA tersebut menerapkan  sistem run-of-river hydropower, sehingga tidak perlu menampung air dalam jumlah banyak. Air sungai akan  tetap mengalir ke hilir selama 24 jam. Jadi aliran sungai tidak terganggu dengan adanya bendungan, karena air tetap akan dilepas terus-menerus.

BERBEDA dengan PLTA lain yang harus membangun reservoir, PLTA Batang Toru hanya memerlukan kolam harian dengan penambahan areal genangan 66 Ha. Selain itu, pembangunannya menggunakan konsep irit lahan. “Hanya menggunakan lahan seluas total 122 Ha dengan luas bangunan hanya 56 Ha. Lahan yang akan digunakan sebagai tapak struktur permanen tersebut setara 0,07 persen dari keseluruhan kawasan ekosistem Batangtoru,” kata Dr Agus Djoko Ismanto PhD, Senior Advisor Lingkungan PT NSHE, kepada Sumut Pos, Jumat (1/3).

Proyek PLTA Batang Toru, kata dia, secara fundamental akan mempertahankan dan selalu ikut program kelestarian kawasan, yang menghasilkan air sebagai bahan baku operasinya. Karena itu secara alami, pembangunannya tetap mengedepankan pentingnya mempertahankan kelestarian keragaman hayati, termasuk satwa di wilayah Batang Toru. “Kami menyadari bahwa sumber utama pembangkit kami adalah air. Sedangkan ketersediaan pasokan air sangat tergantung pada kelestarian alam sekitarnya. Karena itu, PLTA Batangtoru berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan,” kata Agus.

PLTA Batang Toru juga berkomitmen untuk menjadi market leader PLTA. Sejak masa persiapan dan pelaksanaan pembangunan, PLTA Batang Toru mengadopsi dan menerapkan standar-standar nasional dan internasional. “Selain memenuhi AMDAL, kami telah melaksanakan kajian Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) yang menjadikan kami PLTA pertama di Indonesia yang melaksanakan Equatorial Principle. Jadi dalam hal ini penanganan lingkungan termasuk satwa liar, seperti orangutan di sekitar ke wilayah pembangunan PLTA mengacu juga pada standar ESIA tersebut,” jelasnya panjang lebar.

Selain itu, lokasi pembangunan PLTA Batang Toru adalah di Areal Penggunaan Lain (APL). Bukan di hutan. Jadi kehadiran PLTA tidak merusak hutan primer maupun hutan konservasi. Hal ini dapat dilihat dari jenis vegetasi yang tumbuh di lokasi yang didominasi pohon karet dan pohon perkebunan lainnya.

“Lahan PLTA yang berupa APL tersebut seluruhnya dibeli dari lahan masyarakat yang secara hukum telah diizinkan oleh negara untuk kepentingan non-kehutanan. Ini dapat buktikan dari sertifikat tanah yang telah kami beli,” beber Agus lagi.

Orangutan Terjaga

Keberadaan PLTA Batang Toru juga dipastikan tidak mengancam habitat orangutan, karena PLTA berada di APL. Berdasarkan kajian PT NSHE bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut dan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) AeK Nauli, terungkap bahwa lokasi APL tempat pembangunan PLTA Batangtoru bukan merupakan habitat utama PLTA Batang Toru. Habitat utama orangutan ada di dalam hutan. Ini berdasarkan hasil analisis populasi penemuan sarang dan sebaran pakan yang lebih banyak pada hutan konservasi maupun hutan lindung.

“Dalam penanganan orangutan di wilayah APL, PT NSHE berkoordinasi dan mengikuti arahan dari BKSDA Sumut. Secara operasional, tata cara penanganan satwa liar termasuk orangutan yang berada di APL mengikuti ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 53/Menhut-II/2014,” katanya.

Wanda Kuswanda Ahli Peneliti Utama di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) AeK Nauli juga menegaskan bahawa lokasi proyek PLTA bukanlah habitat utama orangutan. Hal ini berdasarkan hasil analisis populasi penemuan sarang dan sebaran pakan yang lebih banyak pada hutan konservasi maupun hutan lindung. Rendahnya orangutan di APL karena kawasan ini telah banyak berubah menjadi lahan perkebunan, pertanian, dan pemukiman masyarakat Tapanuli sejak ratusan tahun yang lalu. Ia menjelaskan bahwa orangutan di wilayah Batang Toru sudah banyak yang hidup di ketinggian 600-900 meter, sedangkan proyek PTLA berada di ketinggian 400 meter.

Energi Terbarukan

Firman Taufick, Vice President of Communications and Social Affairs PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), mengatakan, PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, merupakan pembangkit energi terbarukan yang ramah lingkungan. Indonesia memiliki sumber energi terbarukan berupa panas matahari, air, angin, bioenergi, dan panas bumi. Potensi sumber energi dari air mencapai 75 ribu MW di seluruh Indonesia. Pemerintah menargetkan bauran dari energi terbarukan dapat mencapai 23 persen dari total sumber energi pada 2030.

“PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW menjadi salah satu dari pelaksanaan program strategis nasional untuk mencapai target pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW di Indonesia,” kata Firman.

PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan yang ramah lingkungan memberikan tiga manfaat besar sekaligus dari sisi energi, ekonomi, dan lingkungan bagi masyarakat, Sumatera Utara, Indonesia, dan Dunia.

Bagi Sumut, ketersediaan energi listrik yang ramah lingkungan karena PLTA Batang Toru untuk mengurangi peran pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang memakai energi fosil pada saat beban puncak di Sumut. “Bagi Indonesia, saat memakai sumber energi air maka pemerintah pusat bisa menghemat pengeluaran devisa hingga US$ 400 juta per tahun karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Bagi dunia, PLTA Batang Toru yang merupakan pembangkit energi terbarukan berkontribusi besar mengurangi emisi karbon nasional yang penting untuk mencegah dan memerangi dampak perubahan iklim yang sedang menjadi ancaman dunia,” terangnya.

Hasil Kajian Pustaka Alam menunjukkan PLTA Batang Toru dapat mengurangi emisi gas rumah kaca mencapai 1,6 – 2,2 juta metrik ton CO2 atau 4 persen target sektor energi Indonesia pada 2030.

“Pembangunan PLTA Batang Toru wujud kongkrit untuk menghadirkan green energy di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Kehadiran PLTA Batang Toru mendukung pengurangan emisi karbon Sumut dan nasional sebagai langkah kongkrit implementasi Kesepakatan Paris yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No.16 Tahun 2016,” kata Firman.

Aman

Menjawab tudingan bahwa PLTA Batang Toru dibangun di atas sesar gempa, Didiek Djarwadi, anggota Pusat Studi Gempa Bumi Nasional Kementerian PUPR, Mengatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia berada dalam wilayah gempa karena berada di ring of fire. Namun bukan berarti tidak boleh membangun apapun di wilayah Indonesia.

“Dalam hal ini yang kita harus perhatikan dalam membuat suatu bangunan termasuk PLTA adalah kita harus membangun dengan memenuhi standar yang dipersyaratkan,” kata dia.

PLTA Batang Toru, telah memiliki kajian-kajian gempa yang dipersyaratkan seperti geologi dan geofisika, termasuk Seismic Hazard Assessment dan Seismic Hazard Analysis.

PLTA Batang Toru dibangun tidak di atas sesar dan dibangun untuk tahan gempa dengan mengadopsi praktek terbaik dari ketentuan nasional dan internasional terbaru yang berlaku, seperti pedoman untuk desain dan pelaksanaan bendungan beton dari Balai Bendungan, dan International Commission on Large Dams (ICOLD).

“Jika bendungan dibangun sesuai standar dipersyaratkan maka bangunan tersebut akan tahan gempa. Contohnya, PLTA Singkarak yang berjarak 2 km dari sesar aktif dan didesain untuk tahan gempa sesuai besaran potensi gempa di sana, tidak mengalami kerusakan saat terjadi gempa di Sumatera Barat pada 2007 dengan magnitude lebih besar dari prediksi.,” katanya mengakhiri. (mea/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/