MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan korupsi anggaran Pendidikan Tinggi (Dikti) di Universitas Sumatera Utara (USU) ternyata menguak masalah baru. Tidak sekadar jumlah kerugian negara, namun proyek Dikti di Departemen Etnomusikologi USU ternyata membuat dosen dan pengambil kebijakan di kampus ternama itu terbelah dua. Semua itu ‘hanya’ gara-gara proyek senilai belasan miliar rupiah.
Perpecahan USU terkait ‘rebutan’ proyek itu diungkap oleh Ketua Departemen Etnomusikologi USU, Muhammad Takari MHum. Dia menjelaskan, proyek pengadaan barang dari hibah Dikti 2010 yang dipermasalahkan itu ada semasa rektor lama yakni Prof Chairuddin Lubis. Namun, di tengah perjalanan diambil alih Prof Syahril Pasaribu. “Baik itu tender maupun penyusunan proposalnya,” katanya, Selasa (1/7), usai menjadi juri pada audiensi orkestra bahana nusantara di kampus tersebut.
“Saya tidak terlibat. Jadi saya tidak bisa bertanggung jawab juga akan hal dimaksud. Semua peralatan yang kami gunakan saat ini sesuai surat dari Pembantu Dekan (Pudek) II,” tambahnya.
Pria yang sejak 2011 menjabat sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi USU ini mengungkapkan, pada awalnya ia sempat dilibatkan dalam proyek tersebut. Namun seiring perjalanan waktu, tatkala nilai proyeknya hingga mencapai Rp15 miliar, dirinya tak dilibatkan sedikit pun. “Saat pengadaan barang bernilai Rp5 saya masih dilibatkan. Itu pada masa Rektor Chairuddin Lubis. Namun begitu nilai proyek sudah Rp15 miliar, hanya beberapa dari kami saja yang diikutsertakan. Termasuk saya tidak terlibat di dalamnya,” ungkapnya.
Secara pribadi, Takari merasa bersyukur dengan adanya peralatan musik tersebut. Ia pun bersikap terbuka terhadap media karena merasa tidak ada beban dalam menyampaikan informasi. Sebab baginya, ia tidak memiliki tanggung jawab dalam pengadaan itu. Selain tidak terlibat, pengadaan tersebut bukan di masa ia menjabat sebagai ketua departemen.
“Ini kan proyek besar, jadi saya pikir kalau tidak berani pasang badan, ya, mau gimana lagi. Apalagi yang dipergunakan adalah uang rakyat, sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada sang pencipta. Jadi saya bersyukur tidak terlibat di dalam pengadaan tersebut,” ungkapnya.
Takari pun mengungkapkan, pengadaan peralatan musik tersebut terlalu terburu-buru. Di samping itu proyek hibah Dikti 2010 juga tidak melibatkan banyak pihak seperti kalangan dosen di tatanan program studi Etnomusikologi USU.
“Padahal di Etnomusikologi, ada sebanyak 26 dosen, namun kami tidak dilibatkan perihal proyek tersebut,” katanya. Alhasil menurut dia, hal itu kemudian menjadi persoalan saat ini.
Ia mengaku, kehadiran Kejagung di USU dalam rangkaian pemeriksaan di FIB dan Fakultas Farmasi, lantaran menganggap ada spesifikasi pengadaan barang yang tidak sesuai kebutuhan. “Kejagung ingin mengetahui pengadaan barang pada proyek hibah yang dimohonkan. Sebanyak 4 orang dari Kejagung melakukan pemeriksaan selama 2 hari di Etnomusikologi USU,” bebernya.
Sepengetahuannya, kedatangan tim Kejagung beberapa waktu lalu ke USU guna memeriksa alat-alat yang dimohonkan sejak pengadaan barang. Pihaknya juga menerima secara terbuka perihal pemeriksaan itu. “Yang jelas kehadiran mereka dalam rangkaian pemeriksaan di USU. Kami juga mendampingi mereka selama melakukan pemeriksaan. Satu per satu mereka cek alat dari pengadaan tersebut,” sebutnya.
Disinggung sama sekali dirinya tidak tahu menahu soal pengadaan peralatan di Etnomusikologi, ia kembali menekankan bahwa tidak dilibatkan dalam proyek tersebut. Kata dia, hanya beberapa orang saja yang diikutsertakan dengan alasan mengejar waktu yang sudah mepet. “Insya Allah saya tidak terlibat. Apalagi saat itu saya belum menjabat sebagai ketua departemen etnomusikologi. Karena dulunya saya masih sebagai Ketua Pascasarjana Pengkajian Seni,” paparnya.
Dia membeberkan, waktu permohonan untuk pengadaan barang tersebut masih di era ketua departemen sebelumnya, yakni Frida Deliana. Bahkan ia menyebut, yang bersangkutan sudah diperiksa sebanyak dua kali oleh tim Kejagung. “Perihal kapan pemeriksaan itu berlangsung saya tidak ingat. Namun beliau (Frida Deliana) terlibat dalam pembuatan proposal,” ujarnya.
Ia mengaku pengadaan itu untuk alat musik yang ada di seluruh dunia. Barangnya juga semua ada kecuali Amerika Latin dan Afrika. Lebih dominan alat musik dari Asia termasuk alat dari Indonesia bagian Timur.
Pun begitu pascapemeriksaan Kejagung, sambungnya, pihaknya tetap mempergunakan alat-alat musik tersebut untuk proses belajar mengajar. Kejagung sendiri kata dia juga memiliki daftar terhadap alat-alat musik tersebut. Sehingga hal itu yang diperiksa satu persatu kala menyambangi FIB USU. Mengenai penyitaan alat ataupun dokumen, dia mengatakan tidak ada yang dilakukan oleh Kejagung. “Mereka mencecar berbagai pertanyaan tentang fungsi alat-alat tersebut. Tidak ada penyitaan dan mereka hanya menyatakan terhadap alat musik tertentu ada bisa dipakai dan ada yang tidak. Itu saja. Tapi semuanya boleh dipakai kok,” ungkapnya.
Begitu juga dengan alat-alat musik lainnya seperti drum dan keyboard juga masih dalam kondisi baik dan laik pakai. “Beberapa ada yang belum terpakai karena ruangannya belum tersedia,” sebut dia seraya menambahkan, jurusan Etnomusikologi yang juga mengkaji soal musik etnik di Sumatera Utara kerap dipakai oleh dosen yang mengajar dengan memakai alat musik Sunda, Jawa, Bali, Minang dan lain sebagainya.
Sama halnya pada hari-hari besar ataupun adanya suatu pertunjukan atau event. Semua alat musik yang diperlukan tersebut, katanya, senantiasa dipergunakan. “Mayoritas penggunaan barang yang tersedia murni digunakan untuk pendidikan. Kita tidak mengambil keuntungan apapun dari situ. Kita hanya mendidik mahasiswa dari alat-alat itu,” jelasnya.
Sebelumnya, Abdul Hadi (AH), yang ditetapkan Kejagung sebagai tersangka dalam kasus tersebut mengaku pasrah dengan kondisi tersebut. AH yang kala itu sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pengadaan barang itu mengaku tidak tahu menahu soal tender maupun pengajuan barang dalam pengadaan tersebut. “Saya hanya disuruh mengerjakan ini dan itu. Jadi saya tidak mengetahui rincian dari permohonan tersebut,” katanya saat dihubungi Sumut Pos, kemarin.
Mengenai status tersangka dari hasil pemeriksaan Kejagung beberapa waktu lalu, ia pun tak merasa ada beban sedikit pun. Menurutnya penetapan dirinya sebagai tersangka akan diputuskan di pengadilan. “Yang pasti apapun yang orang katakan pada saya, baik itu dibilang tersangka atau yang lainnya, saya tidak ambil pusing. Toh nanti ketetapannya diputuskan di pengadilan. Lagian sejauh apa sekarang perkembangannya, saya sudah tidak mengetahuinya,” imbuh dia.
Sebelumnya AH juga mengaku sudah diperiksa oleh Kejagung. “Sudah. Tempo hari saya diundang ke Jakarta untuk menghadiri undangan Kejagung terkait pengadaan peralatan di Etnomusikologi,” tegasnya.
Sementara itu, mantan Ketua Departemen Etnomusikologi Frida Deliana, yang juga terlibat dalam pengadaan peralatan tersebut coba dikonfirmasi Sumut Pos. Namun sayang ketika hendak dihubungi nomor ponselnya mendadak tidak aktif. Padahal sebelumnya ketika Sumut Pos menghubungi ponselnya, nada dering masih terdengar alias tersambung. Pun begitu dengan pesan singkat yang dilayangkan sempat terkirim, namun tak kunjung berbalas.
Pantauan Sumut Pos belum lama ini di kampus Etnomusikologi USU, tampak sekelompok orang sedang sibuk melakukan pendataan barang-barang. Diketahui bahwa, pendataan yang dilakukan itu setelah tim Kejagung turun melakukan pemeriksaan. “Orang-orangnya saya kenal semua. Hari ini sepertinya tidak ada tim Kejagung,” kata salah seorang dosen di Etnomusikologi FIB USU.
Dia mengatakan bahwa sebelumnya tim Kejagung sudah melakukan pemeriksaan sebanyak dua kali. “Kemarin (Selasa), tim Kejagung ada kemari melakukan pemeriksaan,” ungkap dosen yang tak ingin namanya ditulis itu.
Ekses dari kasus itu sebutnya, membuat ruangan laboratorium di Etnomusikologi belum dipergunakan hingga kini. “Biro yang bermain, kita di sini yang kena imbasnya,” keluh dia.
Dari amatan, tepat di ruang arkaif/ruang dengar, salah seorang pegawai sedang sibuk membuka pintu yang dalam posisi terkunci. Di dekat ruangan tersebut ada terdapat studio musik dan seni. Bahkan di sebuah papan tulis putih yang tersandar di ruang dengar itu, Sumut Pos melihat ada tulisan “Barang Bukti Etnomusikologi”. Dimana ada tercantum beberapa item seperti C3.10, mini DVD casette dan rewinder. Selain itu, di studio musik tampak beberapa orang sedang bermain alat musik dan beberapa diantaranya memoto alat-alat yang ada di dalam ruangan itu. Ruangan laboratorium yang menjadi persoalan dugaan korupsi di Etnomusikologi, terletak di lantai 2 dan 3. Ada banyak ruang laboratorium di sana. Beberapa diantaranya dalam posisi terkunci dengan besi.
Keterangan sedikit berbeda dikeluarkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Widyo Pramono. Ketika dihubungi di Jakarta, dia malah mengatakan telah ada penyitaan barang-barang terkait kasus DIkti di USU. “Kasusnya terkait pengadaan peralatan etnomusikologi pada Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya, Red) USU dan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pengadaan peralatan Gedung Fakultas Farmasi USU. Telah dilakukan penyitaan peralatan yang diadakan,” katanya.
Menurutnya, penyitaan dilakukan oleh tim penyidik yang dipimpin Jaksa Husin Fahmi. “Ada tiga orang yang berangkat ke Medan, Husin Fahmi dan kawan-kawan. Mereka melakukan tugas sejak Senin hingga Rabu, tanggal 23-25 Juni kemarin, penyidikan perkara tindak pidana korupsi,” ujarnya. (mag-6/gir/rbb)