MEDAN, SUMUTPOS.CO– Aksi pungutan liar (pungli) ternyata tak hanya dirasakan masyarakat awam. Anggota dewan yang terhormat pun ternyata merasakan pungli tersebut.
Anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDI Perjuangan Effendi Panjaitan mengaku kecewa dengan pemotongan honor pertamanya sebagai anggota dewan sebesar Rp2,5 juta oleh Sekretariat DPRD Sumut. Disebutkan, uang tersebut untuk pengurusan Surat Keputusan (SK) pelantikan anggota DPRD Sumut. Namun, pemotongan tersebut tidak disertai tanda terima resmi.
“Bayangkan, perorang dipotong Rp2,5 juta untuk urus SK ke Kemendagri. Kalau dikalikan 100 orang, sudah Rp250 juta mereka ambil,” kata Effendi kepada wartawan di ruang kerjanya, Jalan Imam Bonjol, Medan, Rabu (1/10).
Pemotongan ini menurutnya sudah keterlaluan, sebab pengurusan SK DPRD Sumut sudah menjadi tanggung jawab dan kewenangan lembaga eksekutif dalam mengurusnya. Artinya, SK pelantikan tersebut adalah hak mereka yang harus diperoleh tanpa terkecuali. Ia tidak membayangkan betapa buruknya sistem birokrasi di Sumut.
“Kami wakil rakyat yang punya fungsi mengontrol gubernur saja bisa diperlakukan seperti itu, apalagi rakyat biasa.
Makanya, hal ini tidak bisa dibiarkan. Itu uang Rp250 juta kalau diberikan ke peyandang kusta yang sudah turun ke jalan sudah bisa selesai masalah mereka,” ujarnya.
Effendi juga mengesalkan dengan sistem pembayaran honor secara tunai atau manual dengan harus mendatangi ruang bagian keuangan Sekretariat. Menurutnya, hal itu dapat menjatuhkan marwah dan kehormatan anggota dewan.
“Bayangkan saja, kami ada 15 orang di ruang itu, terpaksa menunggu satu-satu,” ujarnya.
Dia meminta agar mulai bulan depan, honor anggota dewan bisa ditransfer melalui bank. Karena selain lebih terhormat, pencatatan dan pertanggung jawaban melalui sistem transfer rekening lebih jelas dibanding harus menandatangani tiga lembar berkas yang tidak pernah jelas untuk apa fungsinya.
Begitu juga anggota DPRD Sumut yang lain, Sarma Hutajulu juga mengaku kesal dengan perlakuan tersebut. Bahkan saat dirinya meminta bukti tanda terima pemotongan tersebut, justru staf sekretariat menolak memberikannya. Sehingga pemotongan tersebut tanpa tanda bukti. Dikatakannya, berdasarkan informasi dari staf sekretariat, potongan tersebut sudah disampaikan ke masing-masing fraksi dan telah disetujui.
“Dari mana pula mereka bisa bilang fraksi sudah setuju, sementara belum ada keputusan pembentukan fraksi,” kata politisi PDIP itu.
Sarma curiga dengan kebijakan yang menurutnya sepihak tersebut. Sebab kutipan sebesar Rp2,5 juta dengan alasan pengurusan SK tidak berdasar dan tidak bisa dibenarkan. Sekalipun harus menjemputnya ke Kemendagri, biasanya sudah ada anggaran perjalanan dinasnya. Dia pun sependapat dengan Effendi, meminta agar pembayaran honor mereka tidak lagi secara tunai atau manual, tetapi melalui sistem transfer ke rekening masing-masing. Ia khawatir akan ada potongan tidak resmi lainnya jika dilakukan secara tunai. Sebagai wakil rakyat, seharusnya mereka mengurusi rakyat, bukan hal yang seperti ini, yang akhirnya menimbulkan rasa malu.
“Yang seperti ini harusnya tidak lagi kami pikirkan. Harusnya kami fokus ke masalah rakyat, tapi kami sendiri pun dibegitukan sama mereka (Sekretariat),” ujarnya.
Kabag Umum Sekretariat DPRD Sumut Effendi Batubara ketika dikonfirmasi mengenai hal tersebut mengaku tidak tahu-menahu. Soal urusan mengambil SK Pelantikan ke Kemendagri menurutnya sudah selesai dilakukan dan sudah ada anggaran yang khusus untuk mengurusnya.
“Ada SPPD-nya, SK juga sudah diserahkan. Kalau uang-uang (potongan) itu saya nggak tahu,” ujarnya.(bal/adz)