Pengamat Politik UGM: Ini Antiklimaks dari Proses Politik
MEDAN-Suasana politik di Sumatera Utara setelah adanya pencabutan dukungan 9 dari 11 partai pengusung pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho (Syampurno) memanas. Koalisi partai pendukung pun mulai retak.
Hal ini sontak menjadi pembicaraan hangat di kalangan politisi khususnya di DPRD Sumut. Pengamatan Sumut Pos di DPRD Sumut, beberapa politisi dan sejumlah wartawan tampak berkasak-kusuk sesaat dan sesudah digelarnya Rapat Paripurna Rancangan Perubahan-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RP-APBD) 2011.
Terkait pencabutan dukungan itu, Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho yang dikonfirmasi Sumut Pos sesaat sebelum meninggalkan gedung DPRD Sumut, enggan menjawabnya. Ketika didesak untuk komentar, dia pun mengelak. “Nanti ya. Nanti kita bicarakan lagi,” katanya sembari menutup kaca mobil dinasnya BK 1 A dan langsung meninggalkan pelataran parkir Gedung DPRD Sumut, Selasa (1/11).
Namun, persis dengan sikap Gatot, beberapa anggota dewan juga tidak banyak bicara tentang pencabutan dukungan tersebut. Anggota DPRD Sumut dari Fraksi PKS Raudin Purba menilai secara datar, mengenai pencabutan dukungan terhadap Gatot oleh sembilan partai pengusung Syampurno. “Ya nggak apa-apa,” katanya singkat.
Bagaimana dengan partai pengusung lainnya seperti PPP? Tak ada jawaban yang jelas dan tegas, ketika hal itu ditanyakan oleh salah seorang anggota DPRD Sumut asal PPP Nurul Azhar. “Itu urusan Dewan Pengurus Wilayah (DPW), saya bukan di DPW. Jadi, saya tidak mungkin mengomentari itu,” katanya.
Sekjen Kemendagri Diah Anggraini yang hadir di Medan terkait kegiatan Korpri membenarkan kalau Mendagri didatangi 9 pimpinan partai pengusung Syampurno. “Memang ada 9 parpol itu datang ke Mendagri,” ujarnya di Restoran Jimbaran, Jalan S Parman saat jamuan makan malam bersama Gatot, Wali Kota Medan Rahudman, dan unsur Muspida, Selasa (1/11) malam.
Saat ditanya apa mereka meminta Gatot dicopot dari Plt Gubsu menjadi Wagubsu, Diah membatahnya. “Oh tidak ada. Tidak benar seperti itu,” kata Diah lagi.
Dan ketika ditanya apakah langkah Gatot dinilai tepat dalam memimpin daerah dan memiliki hak memutasikan pejabat, Diah hanya berkomentar singkat. “Wah, tidak etis kalau saya menjelaskan ke media. Tapi akan saya jelaskan ke Gatot,” ujarnya sambil buru-buru naik ke mobil untuk meninggalkan lokasi.
Sebelumnya, soal pencabutan dukungan ini juga terkait dengan kinerja Gatot yang dianggap tidak maksimal. Bahkan Gatot dianggap tidak mampu dalam “menertibkan” para bawahannya yakni, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Menyikapi hal itu, pengamat Hukum Tata Negara asal Universitas Sumatera Utara (USU) Mirza Nasution, mengatakan Gatot sejatinya harus lebih bijak.
“Plt Gubsu merupakan perwakilan pemerintah pusat dan tertinggi di daerah. Kepala-kepala dinas itu, sama artinya merupakan menteri pada kabinet. Ada hak prerogatif dari Plt Gubsu untuk melakukan pergantian dengan catatan adalah orang-orang yang akuntabel, profesional dan sebagainya. Kemudian, sesuai jabatan Plt agar meminta persetujuan dari Mendagri. Jadi hak Plt Gubsu untuk mengganti dan mempertahankan SKPD-nya,” urainya kepada Sumut Pos, Senin (31/10) lalu.
Mirza menambahkan, unsur politik memang cenderung mempengaruhi kebijakan. “Hanya saja, dengan perkembangan yang ada banyak SKPD yang dinilai masyarakat tidak mampu dan bermasalah, kemudian banyak juga kepentingan politik atas jabatan itu. Tapi, kembali ke dasarnya Gubsu atau Plt Gubsu memiliki hak untuk melakukan pergantian atau tidak. Jadi, kalau memang harus diganti dan ternyata ada yang menghalang-halangi, itu berarti persoalan berani atau tidak. Namun harus digarisbawahi, semestinya jangan takut atas tekanan-tekanan politik itu. Karena Gubsu itu pada prinsipnya adalah milik rakyat,” tambah Mirza.
Kenyataannya, banyak SKPD yang diduga terangkut masalah korupsi. Nah, Mirza menambahkan, jika persoalannya seperti itu, adalah wajar bila masyarakat menilai Gatot belum dan bahkan tidak mampu memimpin Sumatera Utara. “Wajar, jika pada kenyataannya masyarakat menilai kepala daerah yang ada tidak mampu memimpin Sumut,” tegasnya.
Bagaimana dengan persoalan serapan anggaran yang rendah? Menyangkut itu, pengamat ekonomi asal Universitas Sumatera Utara Jhon Tafbu Ritonga menilai, hal itu memang merupakan fenomena umum termasuk di Sumut. “Ini fenomena umum nasional, bukan spesifik Sumut. Banyak faktor atas Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengadaan barang dan jasa. Kebiasaan lama dalam pengadaan, yang biasanya ada komisi. Pejabat SKPD yang ragu karena kondisi hukum kita yang sering membahayakan diri sendiri. Ya, termasuk komunikasi politik lokal. Saya belum bisa sampai pada kapasitas kepemimpinan, karena soal daya serap anggaran ini dimana dan sejak dulu ya begitu-begitu saja. Ke depan, harus dikoreksi Perpres yang ada. Dan Gubsu, bupati serta wali kota kita dorong berani bertindak untuk kemajuan bersama” terangnya.
Sementara itu, manuver sembilan dari 11 partai pengusung Syampurno saat pilgub 2008 yang meminta Mendagri Gamawan Fauzi mencopot Gatot dari jabatannya sebagai Plt Gubernur Sumut, mendapat tanggapan pengamat politik dari Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, Arie Sudjito.
Menurut Arie, langkah sembilan partai pengusung Sampurno itu hanya dampak dari proses pencalonan pasangan cagub-wagub pada pilgub 2008 silam. Yakni, partai pengusung tidak cermat menentukan calon yang akan dimajukan di Pilgub. Pertimbangan-pertimbangan praktis-transaksional, kata Arie, sering kali mengabaikan kualitas calon. “Ini sebetulnya antiklimaks dari proses politik saat pencalonan yang tidak melihat kualitas calon. Akibatnya, ketika terpilih dan menjabat, ternyata tidak mampu,” ujar Arie Sudjito kepada Sumut Pos, Selasa (1/11).
Hanya saja, lanjutnya, partai pengusung juga harus menjadikan ini sebagai bahan pelajaran. Pada pilgub mendatang, mereka harus cermat menentukan calon, yang sekiranya mumpuni. (ari/sam)