30 C
Medan
Wednesday, May 1, 2024

Yuan Juga Mulai Beredar

Foto: Fachrul Rozi/Sumut Pos Sejumlah tenaga kerja asing (TKA) saat beristirahat di sekitar lokasi proyek pembangunan PLTU Paluhkurau, Langkat, Sumut, Senin (18/7/2016).
Foto: Fachrul Rozi/Sumut Pos
Sejumlah tenaga kerja asing (TKA) saat beristirahat di sekitar lokasi proyek pembangunan PLTU Paluhkurau, Langkat, Sumut, Senin (18/7/2016).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO   – Lemahnya pengawasan tenaga kerja asing (TKA) ilegal menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah saat ini. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) paling disorot lantaran dianggap tidak maksimal menjalankan fungsi tersebut.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, penanganan pemerintah terkait isu TKA ilegal memang sangat jauh dari ideal. Padahal, solusi-solusi sudah jelas di depan mata. Salah satunya, melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek dengan modal asing di daerah-daerah seluruh Indonesia.

”TKA boleh ilegal tapi proyek tidak ada yang ilegal. Kemenaker bisa bekerjasama dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) di setiap daerah untuk memetakan proyek apa saja yang dikerjakan asing dan bisa diawasi ketat,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Namun, hal tersebut tampaknya belum dilakukan secara maksimal. Pemerintah selama ini hanya mengandalkan laporan-laporan masyarakat untuk melacak TKA ilegal. Belum lagi risiko bahwa pengawas di lapangan juga akhirnya main di bawah meja dengan pihak perusahaan. ”Koordinasi sepertinya tetap menjadi “barang mahal” di negara kita,” ungkapnya.

Sebagaimana diketahui, pengawasan TKA di Kemenaker terganjal minimnya personel di lapangan. Saat ini, hanya 1.961 orang petugas pengawas yang tersebar di seluruh Indonesia. Diantaranya 370 berstatus penyidik PNS (PPNS). Kekuatan personel yang minim itu bertugas mengawasi 265.209 perusahaan dan 74.183 tenaga kerja asing berizin.

Dia mengaku secara pribadi pernah memergoki pekerja perusahaan asal Tiongkok yang sedang beristirahat dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Pekerjaan yang dilakukan pun bukan berdasarkan dalih alih teknologi yang seharusnya menjadi dasar impor semua TKA. Penggunaan bahasa asing di lingkungan kerja juga mudah ditemukan di kawasan industri Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara.

Dijelaskan, bila mengacu UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, TKA tersebut masuk kategori ilegal karena melanggar aturan. Sesuai aturan, pekerja asing harus didampingi pekerja lokal. Selain itu, mereka juga wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja.

”Bahkan kartu identitas pekerjaannya juga dalam huruf Tiongkok. Kalau mengacu, secara tegas ke UU itu (ketenagakerjaan) sudah bisa dikategorikan TKA ilegal. Tetapi, mungkin definisi TKA ilegal dari pemerintah hanya dibatasi sebagai TKA yang tidak punya izin kerja saja,” sindirnya.

Disisi lain, para TKA di kompleks industri Morosi tidak hanya menggeser pekerja lokal, mereka juga beberapa kali membagi-bagikan mata uang Yuan kepada warga sekitar. Pengakuan warga setempat, para TKA tidak sedikit yang melakukan transaksi jual beli menggunakan uang asing itu.

Hal tersebut tentu menyalahi SE Bank Indonesia Nomor 17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI. Sungkowo, 50, warga setempat mengaku pernah mendapat uang Yuan dan Dollar Hongkong dari pekerja asing asal Tiongkok. ”Kalau kehabisan uang Indonesia, mereka pakai Yuan, nanti pedagang yang akan menukarkan,” bebernya.

Uang asing tersebut juga sering dibagikan pekerja asing kepada anak-anak yang tinggal di sekitar proyek. Uang itu biasanya sebagai hadiah dari TKA ketika mendapat rejeki lebih atau setelah gajian. ”Dikasih begitu saja, 1 Yuan, 5 Yuan, 10 Yuan,” ungkap dia.

Terpisah, Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Agung Sabar Santoso menuturkan, memang banyak pekerja asing dari Tiongkok di Kendari. Namun sebenarnya jumlah pekerja lokal juga banyak. ”Saya juga sudah cek ke lokasi secara langsung, pekerja lokal cukup banyak,” paparnya.

Namun memang, posisi Kendari yang menjadi transit untuk ke Morowali menyebabkan seakan-akan terlihat banyak TKA dari Tiongkok. Padahal, sebagian pekerja asing itu juga pergi ke Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). ”Di Morowali ada pengolahan (smelter) juga,” terangnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (2/1).

Polda Sultra, kata dia, akan membantu Imigrasi dengan maksimal bila ada rencana operasi TKA dari imigrasi di Kendari. ”Kami siap terjun membantu Imigrasi, kita kan partner dengan Dirjen Imigrasi Pak Ronny F. Sompie,” ungkapnya.

Bahkan, beberapa kali operasi TKA yang dilakukan Imigrasi sudah dibantu kepolisian. Beberapa waktu yang lalu, ada sejumlah TKA yang ketahuan bekerja namun dengan visa kunjungan. ”Banyak yang sudah dideportasi,” tegasnya.

Plt Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenaker Maruli Hasiloan Tambunan menyebutkan, pihaknya sudah melakukan pengawasan dan penindakan TKA di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kendari. Namun, dia enggan menyebutkan secara detail berapa TKA yang ditindak. Maruli hanya menyebut, para TKA itu sebenarnya sudah dibina. ”Jadi begini, (pengawasan) tujuan sebenarnya untuk kepatuhan, bagaimana perusahaan itu patuh,” jelasnya.

Maruli mengaku sudah melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan pengawasan TKA. Pihaknya membuka pelayanan pengaduan bagi masyarakat yang ingin melaporkan keberadaan TKA ilegal. Kemenaker juga lebih intensif melakukan upaya preventif dan sosialisasi ke perusahaan agar tidak mempekerjakan TKA ilegal. “Semua pengawasan sudah kami lakukan,” kilahnya.

Kemenaker juga mengandalkan kerjasama dengan stake holder untuk memaksimalkan fungsi pengawasan TKA di seluruh perusahaan. Diantaranya, imigrasi, pemerintah daerah (pemda), dan kepolisian. Sejauh ini, semua laporan itu ditindaklanjuti dengan cara berkoordinasi antarinstansi.

Dia menambahkan, jumlah pengawas masih akan terus bertambah seiring penyesuaian urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di pusat dan provinsi. Penyesuaian yang diatur di UU Pemda tersebut diyakini akan memperkuat sistem pengawasan. ”(Pengawas) yang di daerah-daerah jumlahnya masih dihitung, ini masih proses,” imbuhnya. (tyo/bil/idr/jpg/adz)

Foto: Fachrul Rozi/Sumut Pos Sejumlah tenaga kerja asing (TKA) saat beristirahat di sekitar lokasi proyek pembangunan PLTU Paluhkurau, Langkat, Sumut, Senin (18/7/2016).
Foto: Fachrul Rozi/Sumut Pos
Sejumlah tenaga kerja asing (TKA) saat beristirahat di sekitar lokasi proyek pembangunan PLTU Paluhkurau, Langkat, Sumut, Senin (18/7/2016).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO   – Lemahnya pengawasan tenaga kerja asing (TKA) ilegal menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah saat ini. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) paling disorot lantaran dianggap tidak maksimal menjalankan fungsi tersebut.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, penanganan pemerintah terkait isu TKA ilegal memang sangat jauh dari ideal. Padahal, solusi-solusi sudah jelas di depan mata. Salah satunya, melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek dengan modal asing di daerah-daerah seluruh Indonesia.

”TKA boleh ilegal tapi proyek tidak ada yang ilegal. Kemenaker bisa bekerjasama dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) di setiap daerah untuk memetakan proyek apa saja yang dikerjakan asing dan bisa diawasi ketat,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos).

Namun, hal tersebut tampaknya belum dilakukan secara maksimal. Pemerintah selama ini hanya mengandalkan laporan-laporan masyarakat untuk melacak TKA ilegal. Belum lagi risiko bahwa pengawas di lapangan juga akhirnya main di bawah meja dengan pihak perusahaan. ”Koordinasi sepertinya tetap menjadi “barang mahal” di negara kita,” ungkapnya.

Sebagaimana diketahui, pengawasan TKA di Kemenaker terganjal minimnya personel di lapangan. Saat ini, hanya 1.961 orang petugas pengawas yang tersebar di seluruh Indonesia. Diantaranya 370 berstatus penyidik PNS (PPNS). Kekuatan personel yang minim itu bertugas mengawasi 265.209 perusahaan dan 74.183 tenaga kerja asing berizin.

Dia mengaku secara pribadi pernah memergoki pekerja perusahaan asal Tiongkok yang sedang beristirahat dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Pekerjaan yang dilakukan pun bukan berdasarkan dalih alih teknologi yang seharusnya menjadi dasar impor semua TKA. Penggunaan bahasa asing di lingkungan kerja juga mudah ditemukan di kawasan industri Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara.

Dijelaskan, bila mengacu UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, TKA tersebut masuk kategori ilegal karena melanggar aturan. Sesuai aturan, pekerja asing harus didampingi pekerja lokal. Selain itu, mereka juga wajib menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja.

”Bahkan kartu identitas pekerjaannya juga dalam huruf Tiongkok. Kalau mengacu, secara tegas ke UU itu (ketenagakerjaan) sudah bisa dikategorikan TKA ilegal. Tetapi, mungkin definisi TKA ilegal dari pemerintah hanya dibatasi sebagai TKA yang tidak punya izin kerja saja,” sindirnya.

Disisi lain, para TKA di kompleks industri Morosi tidak hanya menggeser pekerja lokal, mereka juga beberapa kali membagi-bagikan mata uang Yuan kepada warga sekitar. Pengakuan warga setempat, para TKA tidak sedikit yang melakukan transaksi jual beli menggunakan uang asing itu.

Hal tersebut tentu menyalahi SE Bank Indonesia Nomor 17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI. Sungkowo, 50, warga setempat mengaku pernah mendapat uang Yuan dan Dollar Hongkong dari pekerja asing asal Tiongkok. ”Kalau kehabisan uang Indonesia, mereka pakai Yuan, nanti pedagang yang akan menukarkan,” bebernya.

Uang asing tersebut juga sering dibagikan pekerja asing kepada anak-anak yang tinggal di sekitar proyek. Uang itu biasanya sebagai hadiah dari TKA ketika mendapat rejeki lebih atau setelah gajian. ”Dikasih begitu saja, 1 Yuan, 5 Yuan, 10 Yuan,” ungkap dia.

Terpisah, Kapolda Sulawesi Tenggara Brigjen Agung Sabar Santoso menuturkan, memang banyak pekerja asing dari Tiongkok di Kendari. Namun sebenarnya jumlah pekerja lokal juga banyak. ”Saya juga sudah cek ke lokasi secara langsung, pekerja lokal cukup banyak,” paparnya.

Namun memang, posisi Kendari yang menjadi transit untuk ke Morowali menyebabkan seakan-akan terlihat banyak TKA dari Tiongkok. Padahal, sebagian pekerja asing itu juga pergi ke Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng). ”Di Morowali ada pengolahan (smelter) juga,” terangnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin (2/1).

Polda Sultra, kata dia, akan membantu Imigrasi dengan maksimal bila ada rencana operasi TKA dari imigrasi di Kendari. ”Kami siap terjun membantu Imigrasi, kita kan partner dengan Dirjen Imigrasi Pak Ronny F. Sompie,” ungkapnya.

Bahkan, beberapa kali operasi TKA yang dilakukan Imigrasi sudah dibantu kepolisian. Beberapa waktu yang lalu, ada sejumlah TKA yang ketahuan bekerja namun dengan visa kunjungan. ”Banyak yang sudah dideportasi,” tegasnya.

Plt Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Kemenaker Maruli Hasiloan Tambunan menyebutkan, pihaknya sudah melakukan pengawasan dan penindakan TKA di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kendari. Namun, dia enggan menyebutkan secara detail berapa TKA yang ditindak. Maruli hanya menyebut, para TKA itu sebenarnya sudah dibina. ”Jadi begini, (pengawasan) tujuan sebenarnya untuk kepatuhan, bagaimana perusahaan itu patuh,” jelasnya.

Maruli mengaku sudah melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan pengawasan TKA. Pihaknya membuka pelayanan pengaduan bagi masyarakat yang ingin melaporkan keberadaan TKA ilegal. Kemenaker juga lebih intensif melakukan upaya preventif dan sosialisasi ke perusahaan agar tidak mempekerjakan TKA ilegal. “Semua pengawasan sudah kami lakukan,” kilahnya.

Kemenaker juga mengandalkan kerjasama dengan stake holder untuk memaksimalkan fungsi pengawasan TKA di seluruh perusahaan. Diantaranya, imigrasi, pemerintah daerah (pemda), dan kepolisian. Sejauh ini, semua laporan itu ditindaklanjuti dengan cara berkoordinasi antarinstansi.

Dia menambahkan, jumlah pengawas masih akan terus bertambah seiring penyesuaian urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di pusat dan provinsi. Penyesuaian yang diatur di UU Pemda tersebut diyakini akan memperkuat sistem pengawasan. ”(Pengawas) yang di daerah-daerah jumlahnya masih dihitung, ini masih proses,” imbuhnya. (tyo/bil/idr/jpg/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/