
Anak-anak pengungsi erupsi Gunung Sinabung turun dari angkutan yang mengantar mereka ke sekolah, Selasa (2/5).
SUMUTPOS.CO – Pasrah dalam ketidakpastian. Kalimat ini menggambarkan kondisi ribuan jiwa warga pengungsi erupsi Gunung Sinabung, Kabupaten Karo. Meski tak kelaparan, namun tinggal bertahun-bertahun di posko pengungsian membuat mereka frustrasi. Seolah-olah masa depan anak-anak di sana tak menentu.
Pertanyaan itulah yang kerap menghantui orangtua pengungsi. Sementara, sampai kini, Gunung Sinabung masih terus “batuk”. Abu vulkanik yang disemburkan telah menimbun desa mereka. Saat ini untuk kembali ke kampung halaman mustahil terjadi. Tak pelak, meski sudah tak betah, namun mau tak mau mereka harus bertahan di posko-posko pengungsian.
Kondisi ini memang miris. Apalagi, pemerintah terkesan setengah hati memberikan perhatian dan kepeduliannya. “Hidup ini bukan hanya untuk makan, kami jenuh di sini, kami rindu hidup normal seperti orang kebanyakan,” ungkap Ariani, seorang pengungsi di posko gedung KNPI Jalan Veteran Kabanjahe asal Desa Berastepu,Kecamatan Namanteran.
Meski selama empat tahun di sana, kebutuhan pangan dan sandang tercukupi, namun hal itu tak lantas membuat mereka senang.
Selain merindukan hidup seperti orang kebanyakan, warga pengungsi juga mengkhawatirkan masa depan anak-anak mereka. Data yang dihimpun Sumut Pos, terhitung dari bulan Februari terdapat 376 anak warga pengungsi asal Desa Sukanalu Teran yang masih duduk di bangku sekolah. Rinciannya, 186 siswa tingkat SD, 97 siswa tingkat SMP, 66 siswa tingkat SMA, dan 27 perguruan tinggi.
Empat tahun tinggal di posko, para generasi penerus bangsa itu sudah gonta ganti sekolah. Agar tetap bisa mengenyam pendidikan, kini mereka harus numpang belajar di gedung SD, SMP, dan SMA yang ada di Kota Kabanjahe. Demi membagi waktu, anak-anak pengungsi harus memulai kegiatan persekolahan di siang hari. “Khusus untuk SD, kami menumpang di SD Negeri I Kabanjahe. Setiap hari kami harus masuk siang,” kata Agustina br Sembiring, salah seorang guru kelas saat ditemui kru koran ini di posko pengungsian, Selasa (2/5) sore.
Seperti pengungsi lain, Agustina juga mengkawatirkan masa depan anak didiknya, karena selain membuat trauma, tinggal di posko pengungsian juga menghambat perkembangan otak mereka. Selain posko pengungsian yang tak layak, kurangnya asupan gizi yang mereka dapatkan juga jadi faktor penyebab. “Bayangkan saja, mereka harus belajar di posko yang kondisinya sangat sumpek dan sempit yang sangat memprihatinkan. Mereka juga kekurangan asupan gizi, hingga daya tangkap dan perkembangan otaknya melambat,” ungkapnya.
Agustina dan warga pengungsi berharap pemerintah memperhatikan nasib anak-anak mereka. “Kalau boleh, bangunlah tempat belajar bagi anak-anak kami di posko ini. Perhatikanlah asupan gizi mereka, karena di posko pengungsian ini makanan hanya ala kadarnya,” katanya.

