25 C
Medan
Saturday, July 6, 2024

Baru 37 Persen RS di Sumut Terakreditasi

MEDAN – Dari total 190 rumah sakit yang ada di Provinsi Sumatera Utara, hanya 37 persen atau sekitar 70 rumah sakit saja yang telah terakreditasi. Padahal sesuai rencana strategis (Renstra) Nasional, setiap Provinsi, harus memiliki setidaknya 90 persen rumah sakit yang terakreditasi.

Hal ini disampaikan Kasi Bimdal Sarana dan Peralatan Kesehatan Dinkes Provsu, Bambang Suprayetno saat ditemui di ruang kerjanya Senin (2/7).
“Sesuai Undang-undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 yang baru, bahwa tiap rumah sakit harus terakreditasi. Bahkan tiap Provinsi harus memenuhi 90 persen sesuai Renstra. Hanya saja Undang-undang yang mulai diimplementasikan pada 2010 ini belum bisa berjalan maksimal karena masih terkendala beberapa hal,”terangnya.

Kendala tersebut bilang Bambang, yakni masih banyaknya rumah sakit kecil yang terkendala dana saat mengajukan akreditasi perpanjangan kepada petugas Komite Akreditasi RS (KARS) Pusat.

Masih menurut Bambang, setidaknya hingga saat ini ada sekitar 25 RS di Sumut yang telah mengajukan untuk bimbingan dan akreditasi oleh KARS namun belum juga diproses.

“Jadi sebenarnya kalau kita lihat, bahwa rumah sakit di Sumut sudah banyak yang mengajukan untuk diperpanjang akreditasinya ke pusat. Karena sesuai tugas pokok dan fungsinya pengajuan dilakukan rumah sakit langsung ke Pusat, dan mereka hanya memberikan tembusan ke provinsi. Namun permohonan ini masih harus menunggu lama,”ujarnya.

Lambatnya proses bimbingan dan akreditasi yang dilakukan pusat atas permintaan sejumlah rumah sakit di Provinsi, menurut Bambang dikarenakan keterbatasan petugas KARS Pusat.

Pasalnya dari sekitar 3000 rumah sakit yang ada di Indonesia, hanya ditangani oleh sebuah lembaga akreditasi independen yakni KARS.
“Terang saja kondisi ini menyebabkan rumah sakit yang telah mengajukan perpanjangan akreditasi harus menunggu lama,”ungkapnya.
Padahal menurut Bambang, untuk Juli 2012, akreditasi yang akan dikeluarkan merupakan versi baru yang sudah mengarah ke standar Internasional.
“Bagaimana ini bisa berjalan efektif, sementara untuk akreditasi versi lama saja belum semua rumah sakit mendapatkannya. Sejauh ini kita hanya bisa melakukan sosialisasi ke beberapa rumah sakit baik negeri dan swasta terkait akreditasi versi baru, namun bisa atau tidaknya diterapkan, kembali kepada kebijakan pemerintah,”tuturnya.

Terkait dampak tidak diperpanjangnya akreditasi, menurut Bambang yakni lebih kepada efek pelayanan disebuah rumah sakit. Mengingat standarisasi rumah sakit lebih kepada standar operasional (SOP) pelayanan.

“Dengan tidak adanya akreditasi maka rumah sakit kurang optimal dalam pelayanan karena tidak ada SOP pelayanan. Apalagi saat ini, asuransi kesehatan (ASKES) sudah mulai mewajibkan penetapan kelas dan akreditasi untuk penanganan pasien peserta ASKES,”sebut Bambang.
Melihat kondisi ini Bambang mengatakan, pemerintah pusat dalam hal ini Kemenkes sudah seharusnya mengambil kebijakan menyiasati agar pengajuan akreditasi bisa secepatnya direalisasikan. (uma)

MEDAN – Dari total 190 rumah sakit yang ada di Provinsi Sumatera Utara, hanya 37 persen atau sekitar 70 rumah sakit saja yang telah terakreditasi. Padahal sesuai rencana strategis (Renstra) Nasional, setiap Provinsi, harus memiliki setidaknya 90 persen rumah sakit yang terakreditasi.

Hal ini disampaikan Kasi Bimdal Sarana dan Peralatan Kesehatan Dinkes Provsu, Bambang Suprayetno saat ditemui di ruang kerjanya Senin (2/7).
“Sesuai Undang-undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 yang baru, bahwa tiap rumah sakit harus terakreditasi. Bahkan tiap Provinsi harus memenuhi 90 persen sesuai Renstra. Hanya saja Undang-undang yang mulai diimplementasikan pada 2010 ini belum bisa berjalan maksimal karena masih terkendala beberapa hal,”terangnya.

Kendala tersebut bilang Bambang, yakni masih banyaknya rumah sakit kecil yang terkendala dana saat mengajukan akreditasi perpanjangan kepada petugas Komite Akreditasi RS (KARS) Pusat.

Masih menurut Bambang, setidaknya hingga saat ini ada sekitar 25 RS di Sumut yang telah mengajukan untuk bimbingan dan akreditasi oleh KARS namun belum juga diproses.

“Jadi sebenarnya kalau kita lihat, bahwa rumah sakit di Sumut sudah banyak yang mengajukan untuk diperpanjang akreditasinya ke pusat. Karena sesuai tugas pokok dan fungsinya pengajuan dilakukan rumah sakit langsung ke Pusat, dan mereka hanya memberikan tembusan ke provinsi. Namun permohonan ini masih harus menunggu lama,”ujarnya.

Lambatnya proses bimbingan dan akreditasi yang dilakukan pusat atas permintaan sejumlah rumah sakit di Provinsi, menurut Bambang dikarenakan keterbatasan petugas KARS Pusat.

Pasalnya dari sekitar 3000 rumah sakit yang ada di Indonesia, hanya ditangani oleh sebuah lembaga akreditasi independen yakni KARS.
“Terang saja kondisi ini menyebabkan rumah sakit yang telah mengajukan perpanjangan akreditasi harus menunggu lama,”ungkapnya.
Padahal menurut Bambang, untuk Juli 2012, akreditasi yang akan dikeluarkan merupakan versi baru yang sudah mengarah ke standar Internasional.
“Bagaimana ini bisa berjalan efektif, sementara untuk akreditasi versi lama saja belum semua rumah sakit mendapatkannya. Sejauh ini kita hanya bisa melakukan sosialisasi ke beberapa rumah sakit baik negeri dan swasta terkait akreditasi versi baru, namun bisa atau tidaknya diterapkan, kembali kepada kebijakan pemerintah,”tuturnya.

Terkait dampak tidak diperpanjangnya akreditasi, menurut Bambang yakni lebih kepada efek pelayanan disebuah rumah sakit. Mengingat standarisasi rumah sakit lebih kepada standar operasional (SOP) pelayanan.

“Dengan tidak adanya akreditasi maka rumah sakit kurang optimal dalam pelayanan karena tidak ada SOP pelayanan. Apalagi saat ini, asuransi kesehatan (ASKES) sudah mulai mewajibkan penetapan kelas dan akreditasi untuk penanganan pasien peserta ASKES,”sebut Bambang.
Melihat kondisi ini Bambang mengatakan, pemerintah pusat dalam hal ini Kemenkes sudah seharusnya mengambil kebijakan menyiasati agar pengajuan akreditasi bisa secepatnya direalisasikan. (uma)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/