MEDAN- Rahudman Harahap mengaku bingung kenapa dirinya dijadikan terdakwa dalam perkara dugaan korupsi dana TPAPD (Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa) di Sekda Pemkab Tapsel Tahun 2004-2005. Sebab menurutnya, ketika menjabat Sekda Pemkab Tapsel (Tapanuli Selatan), Surat Permintaan Pembayaran (SPP) yang ia ajukan, sudah dipertanggungjawabkan semuanya.
“Sejak awal, saya sudah bingung kenapa dijadikan terdakwa. SPP yang saya ajukan sudah dipertanggungjawabkan semuanya. Nanti dipemeriksaan saya, akan saya buktikan. Saya punya bukti, itu ada tandatangan dan nota dinasnya. Bukti itu tidak ada sama jaksa dan hakim,” katanya saat diminta majelis hakim Pengadilan Tipikor mengajukan pertanyaan kepada saksi ahli hukum pidana Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Mahmud Muliyadi SH MHum, Selasa (2/7).
Rahudman menyebutkan dia pernah membuat SPP sebesar Rp480 juta untuk menutupi kekurangan TPAPD 2004. Dia juga membuat SPP triwulan I dan II TPAPD 2005, namun semua SPP tersebut telah dipertanggungjawabkan. Kemudian terjadi masalah dalam penyaluran TPAPD 2005 triwulan III dan IV. Namun saat itu, dirinya sudah tidak menjabat Sekda Tapsel lagi.
“Apakah tugas membuat SPP bisa dikriminalisasi?” tanya Rahudman pada saksi.
Menjawab pertanyaan tersebut, saksi ahli mengatakan, hukum pidana harus terukur, karena jika tidak terukur akibatnya bisa fatal yakni seseorang bisa dihukum bukan karena kesalahannya. Ukurannya, kata ahli, adalah dari awal penyidikan suatu dugaan, penyidik harus mengakumulasi aspek-aspek lain di luar hukum pidana, untuk memastikan ada tidaknya pelanggaran. Akan tetapi, menurutnya,hal ini sering kali tidak dilakukan penyidik.
“Risiko orang terkenal seperti itu Pak. Risiko pejabat juga seperti itu. Jadi Bapak (terdakwa) harus sabar. Bapak jangan dendam sama mereka (JPU) karena mereka hanya melaksanakan tugas. Pada atasan mereka itu pun jangan Pak. Bapak harus tetap sabar, begitulah kehidupan ini Pak,” ucap Dr Mahmud kepada terdakwa disambut gemuruh tepuk tangan pengunjung yang memadati ruang sidang utama PN Medan.
Saksi ahli bergaya nyentrik itu juga mengatakan jika fakta pidana tidak mencukupi, harusnya tuntutan dinyatakan bebas. “Kalau faktanya tidak cukup, saya rindu juga tuntutannya bebas. Tapi itu tidak mungkin. Menurut saya pemberantasan korupsi di Indonesia itu banyak tidak sehat. Dan ini sangat mengerikan. Pemberantasan korupsi itu harusnya multidisiplin, nah ukuran perbuatan melawan hukum itu sangat penting,” tambahnya lagi.
Sebelumnya, dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim yang diketuai Sugianto, Dr Mahmud Muliyadi SH MHum mengatakan, untuk membuktikan suatu perkara sebagai tindak pidana korupsi, dibutuhkan keterangan ahli lainnya. Sebab hukum pidana tidak bisa bekerja sendirian. Untuk itulah penyidik harus betul-betul bisa membuktikan terlebih dahulu ada tidaknya perbuatan pidana dalam dugaan tersebut.
“Agar tidak salah menghukum orang, unsur perbuatan pidana itu dulu yang harus dibuktikan, baru pertanggung jawaban pidananya. Tindak pidana korupsi sangat membutuhkan keterangan ahli lain misalnya ahli bidang administrasi dan keuangan daerah untuk menentukan ada tidaknya perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana,” ujar Mahmud Muliyadi saat dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang tersebut.
Menurutnya, bila para ahli terkait menyatakan semua yang dilakukan telah sesuai prosedur dan tidak ada yang salah sesuai peraturan perundang-undangan, maka tidak ada unsur perbuatan melawan hukum. Sehingga kasus tersebut harus dihentikan dan tidak perlu dimintai pertanggungjawaban hukum. “Ketika adanya dugaan korupsi, sejak awal penyidikan sudah harus diverifikasi terhadap UU yang mengaturnya. Ini butuh keterangan ahli lain. Karena tindak pidana korupsi sangat bergantung pada saksi ahli lainnya,” urainya.
JPU Ditengat 2 Pekan Buat Tuntutan
Dia pun mencontohkan unsur penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menjadi perbuatan melawan hukum ketika seseorang tidak menjalankan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi). Dalam hukum pidana siapa yang berbuat, dia yang harus bertanggungjawab. “Bila seseorang telah melakukan sesuai Tupoksinya dan tidak melanggar ketentuan peraturan yang ada, dia tidak melakukan perbuatan pidana,” ujar pria yang pertama kali menjadi saksi ahli tentang hukuman mati di Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Mahmud bahkan menyatakan tidak sepakat bila tindak pidana korupsi masuk dalam delik formil. Menurutnya, khusus Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, harus ada ditemukan kerugian negara. Namun, kata dapat menimbulkan kerugian negara dalam kedua pasal itu, berarti ada potensi yang bisa menimbulkan kerugian negara. “Pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana, tapi meringankan pidana,” katanya menjawab Jaksa Penuntut Umum (JPU) Polim Siregar.
Usai persidangan, majelis hakim menetapkan pada Kamis (4/7) untuk memeriksa terdakwa. “Karena ini memasuki puasa ramadan, majelis berketetapan langsung memeriksa terdakwa. Kalau pun ada saksi yang akan diajukan penasehat hukum dan jaksa penuntut, Kamis itu harus terakhir sekaligus pemeriksaan terdakwa. Karena perkara ini menarik, majelis juga meminta agar penuntut umum segera menyelesaikan tuntutan,” ucap Hakim Sugianto.
Jaksa meminta kepada majelis hakim agar diberikan waktu minimal dua minggu untuk menyusun tuntutan. “Karena ini perkara menarik dan isu nasional, kami meminta kepada majelis agar diberikan waktu menyusun tuntutan minimal dua minggu. Karena kami harus konsultasikan ke Pusat dulu,” ujar Jaksa Aries kepada majelis disambut sorakan ratusan pengunjung. (far)