MEDAN- “Lebih baik menanam sebatang pohon di alam terbuka, daripada menyimpan sebuah piala ataupun piagam yang megah dan bergengsi di dalam lemari kaca yang terkunci.”
Kalimat tersebut disampaikan ketiga lelaki peraih Kalpataru (sanskerta: pohon kehidupan, Red) dan penghargaan lingkungan dari Pemerintah Sumatera Utara, Jumat (2/8). Aksi ini dilakukan sebagai protes atas pembiaran terhadap perusakan ekosistem Danau Toba yang terus-menerus tanpa ada tindak lanjut dari pemerintah.
Aksi yang dilakukan oleh Marandu Sirait, peraih Kalpataru 2005 dan LSM PILIHI Dairi pimpinan Hasoloan Manik (Kecamatan Sitinjo, Sidikalang, Kabupaten Dairi), peraih Kalpataru 2010. Selain itu, juga ada Wilmar Eliaser Simanjorang, peraih Danau Toba Award. Hadir pula Ngakat Tarigan, penerima Kalpataru 2002. Para penerima penghargaan ini memulai prosesi pengembalian dengan berorasi di Taman Beringin, Jalan T Cik Ditiro, Medan. Aksi mereka diiringi musik tradisional Gondang Batak.
Dikatakan Wilmar Eliaser Simanjorang hal ini dilakukan karena miris dengan kerusakan yang sudah terjadi di ekosistem Danau Toba. “Sungai dan anak sungai kering, sebagian disikat escavator. Jika dibiarkan, akan terjadi gurun pasir di sana. Jadi bila terus menerus maka rusak Danau Toba dan akan menjadi kering sehingga menjadi kubangan saja. Dan ini bisa terjadi banjir bandang yang bisa membahayakan kita,” ucap Wilmar yang merupakan mantan Pj Bupati Samosir 2004-2005.
Selain itu, Marandu Sirait juga mengatakan kekesalnya kepada pemerintah. Dikatakannya pemerintah kurang serius untuk menjaga Danau Toba. Untuk itu, dia pun berharap dengan aksi ini ada perubahan, tetapi kalau pemerintah tidak serius pihaknya akan melakukan hal yang sama ke presiden dalam waktu dekat.
“Di Sumut ada 13 orang yang mendapat penghargaan kalpataru dan sudah banyak keluhan yang sama untuk masyarakat Sumut kita dan bukan orang batak juga. Di sini terlihat bahwa pemerintah tidak serius untuk menjaga hutan. Kami sudah kehabisan akal. Untuk itu kami kembalikan piagam dari Pemprov Sumut karena mereka penciptanya. Makanya, kalau tidak juga digubris, kami akan ke Jakarta menyerahkan Kalpataru kepada penciptanya yaitu presiden,” ucapnya.
Dia mengatakan, perbaikan ekosistem lebih baik dibandingkan pemberian penghargaan. Mereka kecewa karena pemerintah tidak serius dalam melestarikan kawasan hutan Danau Toba. “Kami sudah lapor sampai ke Kapolri, tapi tidak ada tindak lanjutnya,” tukasnya.
Hal serupa juga dikatakan WNA yang berasal dari Jerman.”Saya juga siap kembalikan penghargaan saya,” kata Annette Horschmann, warga Jerman yang merupakan pecinta Danau Toba.
Untuk itu, bila keinginan mereka dalam waktu dekat tidak juga ditanggapi, maka mereka akan tidur di kantor pemerintahan sampai ada keputusan dari pemerintah. “Hal ini kami lakukan karena kami cinta Sumut, Danau Toba, Indonesia dan dunia. Jadi, ada program kawasan strategi yang harus ditata. Di mana hutan sudah gundul, binatang sudah banyak mati, dan harus diperbaiki,” tegas Wilmar Eliaser Simanjorang.
Penghargaan yang dikembalikan tokoh lingkungan hidup itu diterima oleh Sekretaris Daerah Sumatera Utara, Nurdin Lubis, di kantor Gubernur Sumut di Jalan Diponegoro Medan. Nurdin Lubis mengajak para tokoh tersebut untuk membatalkan rencananya. Dihadapan ketiga tokoh lingkungan hidup yang tiba di halaman kantor Gubernur Sumatera Utara, di Jalan Diponegoro Medan sambil membawa penghargaan-penghargaan yang akan dikembalikan tersebut.
“Kalau bisa bertemu dululah membicarakan ini setelah Lebaran. Jadi kalau bisa ini tidak dikembalikan begini karena ini diserahkan kepada bapak-bapak sekalian kan didasarkan niat tulus,” katanya di halaman Kantor Gubernur Sumut, Jumat.
Dia menyatakan, pertemuan dengan ketiga pahlawan lingkungan hidup akan menjadi langkah tepat untuk mencari solusi atas apa yang menjadi kekecewaan ketiganya. Dalam pertemuan tersebut, mereka akan menghadirkan seluruh instansi terkait yang berkaitan dengan masalah lenghijauan di kawasan Danu Toba. (nit)