MEDAN, SUMUTPOS.CO- Subdit II Harta, Benda, Tanah dan Bangunan (Harda Tahbang) Direktorat Reskrimum Poldasu dinilai tak profesional dan arogan dalam menangani sengkata lahan Tanah 600 di Marelan. Pasalnya, penyidik yang menangani kasus tersebut terkesan berat sebelah dan pro terhadap pelapor (Sri Nurhayani).
Hal ini diungkapkan Ibeng S Rani selaku kuasa hukum terlapor, Muhammad, kepada wartawan di kantornya, kemarin (1/9). Ia menilai, langkah hukum yang dilakukan polisi tak profesional.
Selain itu, polisi juga diduga melakukan kriminalisasi terhadap terlapor. Seperti penetapan status tersangka dan pejemputan paksa serta penggeledahan dalam kasus dugaan pemalsuan surat tanah yang dilaporkan Sri Nurhayani.
“Penetapan tersangka itu seharusnya dilakukan setelah adanya pembanding. Kemudian harus ada uji pemalsuan dan gelar perkara. Setelah itu baru bisa ditetapkan (tersangka, Red). Tapi ini tidak pernah dilakukan, hanya berdasarkan laporan si pelapor dengan menempatkan surat alas hak saja, tidak ada yang lain sebagai alat bukti. Ini jelas sudah ketimpangan dan tidak profesional,” beber Ibeng.
Ia menyebutkan, soal penjemputan dan penggeledahan kliennya atas nama Muhammad kemarin (31/8) malam, terkesan dipaksakan. Itu pun dilakukan pada tengah malam sekitar pukul 00.30 WIB.
“Surat panggilan ada sebagai saksi dan tersangka, tapi tiba-tiba penjemputan paksa. Inikan aneh. Kalau mereka melakukan prosedur, kita tak keberatan dan akan menghadirkannya. Tapi, kenapa dilakukan penjemputan dan penggeledahan pada tengah malam,” sebut Ibeng.
Ia menilai, kasus ini bukanlah kasus kriminal umum. Sebab, dalam penjemputan paksa dan penggeledahan dilakukan pada Minggu dinihari. Karenanya, hal ini sangat disayangkan lantaran kliennya bukan seorang teroris atau penjahat kelas kakap.
“Klien saya bukan teroris atau bagian dari ISIS, tetapi dia seorang tokoh masyarakat Tanah 600 Marelan. Dia sudah berusia lanjut tetapi perlakuan polisi seperti teroris,” ujar Ibeng.
Menurutnya, kedatangan polisi pada malam itu bukanlah dalam kepentingan hukum tetapi kepentingan pelapor. “Jadi, dalam kasus ini Poldasu sepertinya sudah ‘main hakim sendiri’, tidak mengindahkan aturan-aturan hukum atau prosedur yang berlaku,” ucap Ibeng.
Lebih lanjut ia mengatakan, persoalan kliennya dengan Sri Nurhayani itu sangat sederhana. Namun polisi yang membuatnya tidak sederhana. Padahal, sejak sebelum kemerdekaan, lahan yang masih dalam proses sengketa itu sudah ada dan dikelola maupun dimanfaatkan masyarakat. Tapi, ketika harga tanah mulai naik, dilirik investor. Dengan kekuatan penegak hukum maka masyarakat yang menentang diusir.
Ia menambahkan, dengan pergantian Kapoldasu yang baru ini diharapkan penanganan kasusnya bisa profesional dan tidak memihak.
Terkait hal itu, Kasubdit II Harda Tahbang Ditreskrimum Poldasu, AKBP Yusuf Saprudin mengatakan, Muhammad adalah tersangka dalam kasus tersebut dan kasusnya masih dalam proses penyidikan.
Disinggung pihaknya terkesan memihak pelapor, Yusuf mempersilahkan berkomentar apapun. “Silahkan saja, karena nanti ada uji materi di pengadilan. Yang jelas kita berusaha profesional dan tersangka tidak melaksanakan kewajibannya di dalam hukum. Saat dipanggil dia tidak datang,” tandas Yusuf. (ris/adz)