SUMUTPOS.CO – Instrumen sistem deteksi dini atau early warning system tsunami di wilayah Palu disebut-sebut tak berfungsi usai gempa 7,4 SR pada Jumat lalu (28/9). Usut punya usut, alat yang disebut buoy tsunami itu hilang dicuri.
PRESIDEN Joko Widodo meminta jajaran terkait segera melakukan perbaikan alat pendeteksi tsunami yang sudah rusak agar dapat kembali berfungsi normal. Dia juga mengimbau agar masyarakat ikut bersama-sama menjaganya. “Kita juga memerlukan kesadaran bersama masyarakat, agar alat-alat seperti itu tidak dirusak atau tidak diambil karena alat ini sangat berguna sekali,” kata Presiden di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (2/10).
Dia pun telah menginstruksikan supaya masalah ini segera diselesaikan. Peralatan yang rusak harus segera diperbaiki. Kemudian dijaga jangan sampai hilang. “Saya perintahkann
agar alat ini diperbaiki kemudian diawasi dan dijaga karena itu alat yang sangat penting dalam mendeteksi kejadian yang akan terjadi,” tambahnya.
Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Penanggulangan Nasional (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyebut pendeteksi tsunami yang disebut buoy itu rusak karena vandalisme dan hilang dicuri sejak 2012. Alat yang disebut Sutopo tersebut adalah Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys. Perangkat ini digunakan untuk mendeteksi perubahan permukaan air laut.
Sutopo mengatakan, kondisi tersebut memperlemah mitigasi atau upaya preventif pemerintah mencegah munculnya korban jiwa saat gelombang tsunami menerjang daratan. Padahal alat deteksi tsunami berteknologi tinggi itu seharusnya dipasang di sepanjang kawasan pesisir Indonesia yang rawan bencana.
Indonesia tadinya memiliki 21 buoy. Sebanyak 10 unit pendeteksi itu diberikan pemerintah Jerman senilai sekitar Rp610 miliar. Sementara itu, tiga buoy lainnya didapat Indonesia dari Amerika Serikat dalam sistem Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis (DART).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan seluruh alat deteksi tsunami tersebut kini tak lagi berfungsi. Anggaran yang terbatas diklaim sebagai salah satu pemicu persoalan itu.
Buoy yang pernah terpasang di Indonesia tidak dikelola BMKG melainkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Ketiadaan buoy mengharuskan BMKG memprediksi potensi tsunami pasca gempa berdasarkan metode pemodelan. Artinya, perkiraan tsunami itu dihitung dalam perangkat lunak, berdasarkan pusat kedalaman dan magnitudo gempa.