26 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Dewan Nilai Persoalan di Eksekutif

Ilustrasi

MEDAN,SUMUTPOS.CO – Anggota DPRD Sumut Ikrimah Hamidy menilai bahwa produk hukum berupa peraturan gubernur (Pergub) yang akan digunakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) menjadi hak bagi eksekutif. Namun terkait persoalan ketiadaan Perda P-APBD, ada di internal lembaga tersebut.

“Pergub itu hanya boleh mengakomodir terjadinya perubahan plafon anggaran ketika adanya regulasi di atas peraturan daerah (Perda) yang mengamanahkan. Misalnya ada Peraturan Pemerintah (PP), Kepres atau Undang-Undang. Jadi kalau terkait itu, seperti gaji 13 dan 14, itu boleh diakomodir. Demikian pula UU tentang masalah pendidikan 20 persen dan kesehatan 5 persen. Itu dibolehkan saja untuk mengakomodir itu semua,” ujar Ikrimah kepada wartawan, Senin (1/10).

Sedangkan untuk plafon di luar yang diatur Undang-Undang atau regulasi yang diatasnya, tidak boleh ada perubahan sama sekali, baik ditambah maupun dikurangi. Begitu juga terkait adanya perubahan yang dibolehkan dalam detail kegiatan seperti pembangunan jalan, harus mengacu pada APBD induk 2018.

“Bisa saja diubah, misalnya kegiatan yang sama tidak efektif, kemudian mau diganti dengan yang lain. Seperti jalan, mau dipindah pengerjaannya boleh saja, tetapi tidak boleh lain dari plafon, tidak boleh lebih,” sebutnya.

Pun begitu lanjut politisi PKS ini, untuk perubahan tersebut bisa daja dilakukan namun harus masuk dalam rencana kerja (renja). Jika tidak, tetap juga tidak boleh diganti. Sedangkan untuk renja sendiri sebagaimana diketahui, ditetapkan pada 2017 lalu.

Selain itu, Ikrimah menegaskan bahwa secara hubungan politik anggaran, DPRD Sumut merasa tidak ada hubungan antara kesepahaman Badan Anggaran (Banggar) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dengan ketiadaan P-APBD atau tidak ditandatanganinya draf KUA-PPAS.]

“Ini tidak ada hubungannya dengan DPRD. Ini masalah kan di internal Pemprov sendiri. Karena banyak informasi yang kita dapatkan, Pak Edy (Gubernur) itu kurang setuju melakukan (dilakukan) Perubahan-APBD. Jadi kesannya agak terpaksa, beliau kan tidak terlalu ngotot untuk mengubah,” katanya.

Sementara pihaknya mengaku, perubahan dimaksud karena ketika pembahasan KUA-PPAS ada plafon yang diubah dan disepakati bersama. Selanjutnya TAPD memberikan paraf sebagai tanda kesepahaman bersama antara eksekutif dan legislatif. Namun kemudian, apa yang sudah disepakati, berubah.

“Makanya kemarin kita menolak. Jadi bukan karena yang lain. Tetapi karena tidak solidnya TAPD itu sendiri. Tetapi itupun tidak masalah juga,” pungkasnya. (bal/ila)

Ilustrasi

MEDAN,SUMUTPOS.CO – Anggota DPRD Sumut Ikrimah Hamidy menilai bahwa produk hukum berupa peraturan gubernur (Pergub) yang akan digunakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) menjadi hak bagi eksekutif. Namun terkait persoalan ketiadaan Perda P-APBD, ada di internal lembaga tersebut.

“Pergub itu hanya boleh mengakomodir terjadinya perubahan plafon anggaran ketika adanya regulasi di atas peraturan daerah (Perda) yang mengamanahkan. Misalnya ada Peraturan Pemerintah (PP), Kepres atau Undang-Undang. Jadi kalau terkait itu, seperti gaji 13 dan 14, itu boleh diakomodir. Demikian pula UU tentang masalah pendidikan 20 persen dan kesehatan 5 persen. Itu dibolehkan saja untuk mengakomodir itu semua,” ujar Ikrimah kepada wartawan, Senin (1/10).

Sedangkan untuk plafon di luar yang diatur Undang-Undang atau regulasi yang diatasnya, tidak boleh ada perubahan sama sekali, baik ditambah maupun dikurangi. Begitu juga terkait adanya perubahan yang dibolehkan dalam detail kegiatan seperti pembangunan jalan, harus mengacu pada APBD induk 2018.

“Bisa saja diubah, misalnya kegiatan yang sama tidak efektif, kemudian mau diganti dengan yang lain. Seperti jalan, mau dipindah pengerjaannya boleh saja, tetapi tidak boleh lain dari plafon, tidak boleh lebih,” sebutnya.

Pun begitu lanjut politisi PKS ini, untuk perubahan tersebut bisa daja dilakukan namun harus masuk dalam rencana kerja (renja). Jika tidak, tetap juga tidak boleh diganti. Sedangkan untuk renja sendiri sebagaimana diketahui, ditetapkan pada 2017 lalu.

Selain itu, Ikrimah menegaskan bahwa secara hubungan politik anggaran, DPRD Sumut merasa tidak ada hubungan antara kesepahaman Badan Anggaran (Banggar) dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dengan ketiadaan P-APBD atau tidak ditandatanganinya draf KUA-PPAS.]

“Ini tidak ada hubungannya dengan DPRD. Ini masalah kan di internal Pemprov sendiri. Karena banyak informasi yang kita dapatkan, Pak Edy (Gubernur) itu kurang setuju melakukan (dilakukan) Perubahan-APBD. Jadi kesannya agak terpaksa, beliau kan tidak terlalu ngotot untuk mengubah,” katanya.

Sementara pihaknya mengaku, perubahan dimaksud karena ketika pembahasan KUA-PPAS ada plafon yang diubah dan disepakati bersama. Selanjutnya TAPD memberikan paraf sebagai tanda kesepahaman bersama antara eksekutif dan legislatif. Namun kemudian, apa yang sudah disepakati, berubah.

“Makanya kemarin kita menolak. Jadi bukan karena yang lain. Tetapi karena tidak solidnya TAPD itu sendiri. Tetapi itupun tidak masalah juga,” pungkasnya. (bal/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/