MEDAN- Per 31 Desember 2011 lalu, serapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumatera Utara 2011, ternyata hanya 88.53 persen. Dengan kata lain, dari total anggaran sebesar Rp5.355 miliar, yang dibelanjakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara hanya Rp4.741 miliar. Artinya, anggaran yang tersisa Rp614 miliar lebih.
Apakah berarti nominal Rp614 miliar tersebut menjadi Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) 2011? “Silpa atau tidaknya, setelah ada audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan, Red),” jawab Kepala Bagian (Kabag) Perbendaharaan Biro Keuangan Pemprov Sumut Ilyas yang ditemui Sumut Pos di ruang kerjanya, di Biro Keuangan Pemprovsu Lantai II Kantor Gubsu, Selasa (3/1).
Jika memang begitu, setelah 31 Desember, sudah adakah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mengembalikan anggaran-anggaran yang tidak teralisasi? Mengenai hal itu, Ilyas hanya mengatakan, semestinya berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.13 Tahun 2006, yang menjelaskan, setiap per 31 Desember harusnya anggaran-anggaran yang tidak teralisasi harus dikembalikan ke kas daerah.
“Berdasarkan Permendagri itu, kas daerah sudah dari nol lagi,” katanya.
Dari data yang diuraikannya, serapan anggaran tertinggi ada pada Korps Pegawai Negeri (Korpri) sebesar 100 persen dengan jumlah anggaran Rp4,885 miliar lebih. Sedangkan serapan terendah ditempati Badan Penanggulangann
Bencana Daerah (BPBD) Sumut yang hanya mampu menyerap 72.06 persen dari total anggaran sebesar Rp18,018 miliar lebih.
Kenyataan ini memunculkan data yang membengkak. Seperti diketahui, Silpa Sumut pada 2010 ‘hanya’ Rp400 miliar. Jadi, ada kenaikan Rp200 miliar lebih. Dengan kata lain, anggaran yang tersia-sia semakin banyak.
Karena itu, Anggota Fraksi Demokrat Melizar Latif menilai, membengkaknya Silpa ini tidak terlepas dari lemahnya pengawasan dan monitoring. Di samping itu, hal ini juga diakibatkan tidak adanya Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) serta dampak dari mutasi-mutasi di jajaran Pemprov Sumut. “Kita tidak menginginkan hal ini. Oleh karenanya, ke depan, hal serupa diharapkan tidak terjadi lagi,” kata Melizar.
“Kita minta program kerja dilakukan tepat waktu dan tidak ada dilakukan di akhir tahun. Karena sudah jelas mata anggaran dan peruntukkannya,” tambahnya.
Selain itu, banyak yang mengatakan, membengkaknya Silpa tentu bermuara pada Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho. Nah, terkait soal kepemimpinan di Sumut, Prof DR Zudan Arif Fakrulloh SH MH mengatakan sebagai Plt Gubsu, Gatot Pujo Nugroho sejatinya hanya punya kewenangan yang sangat terbatas. Jika Gatot merasa kerepotan menjalankan roda pemerintahan di provinsi yang tergolong besar ini, pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, siap memberikan bantuan.
Apakah tidak bisa dibuat terobosan hukum agar seorang Plt gubernur punya kewenangan besar? Zudan menjelaskan, untuk saat ini persoalan kinerja seorang Plt agar bisa optimal, bisa diatasi dengan ketentuan pasal 117 hingga 122 UU Nomor 32 Tahun 2004, yang memberikan kewenangan pemerintah pusat melakukan pembinaan.
Dengan ketentuan pasal itu, pusat juga punya kewenangan melakukan pengawasan terhadap seorang Plt ataupun penjabat (Pj) kepala daerah. “Kalau Plt nakal, misal dengan melakukan mutasi sewenang-wenang, itu juga sudah ada aturannya, bahwa mutasi oleh seorang Plt gubernur harus seizin Mendagri,” terangnya.
Pengawasan pusat ini dianggap penting guna mencegah kesewenang-wenangan seorang Plt. “Kalau tidak diawasi pusat, semena-mena menganulir apa yang sudah diputuskan gubernur. Yang sudah diatur gubernur pun diganti,” ujar Zudan.
Namun demikian, pusat menyadari bahwa aturan yang ada sekarang masih perlu diperbaiki. Pasalnya, di saat status gubernur definitif lama berstatus nonaktif dan roda pemerintahan hanya dipegang seorang plt dengan kewenangan terbatas, maka roda pemerintahan menjadi tidak normal.
Dalam kasus Sumut, dimana kemungkinan besar putusan incraht Syamsul dalam perkara korupsi APBD Langkat masih lama, maka masa Gatot menjadi Plt juga semakin lama. Karenanya, menurut Zudan, dalam revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 nantinya, kewenangan seorang Plt akan diperbesar.
“Kewenangan seorang Plt akan diperluas. Di sisi lain, seorang kepala daerah yang sudah menjadi tersangka dan ditahan, tidak boleh lagi mengurusi urusan pemerintahan. Selama ini, yang sudah tersangka dan ditahan masih saja tanda tangan-tanda tangan,” terang Zudan. (ari/sam)