MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kelompok Nelayan Kamtibmas Young Panah Hijau meradang. Sudah hampir dua tahun lebih, nelayan tradisional di sana kalah bersaing dengan kapal fisher atau kapal pemancing cumi. Bahkan, dari 700 sampan nelayan yang dulunya beroperasi ‘berburu’ cumi-cumi di perairan Belawan, Sumatera Utara, kini jumlahnya hanya tinggal
sekitar 200 sampan saja SAMPAN-SAMPAN nelayan tampak terparkir rapi di sepanjang daerah yang berada di Kelurahan Labuhan Deli, Medan Marelan. Tak sedikit pula yang kondisinya sudah rusak, akibat sudah lama tidak berjalan. Meski beberapa nelayan masih aktif menjaring cumi-cumi di perairan tersebut, tak sedikit pula yang akhirnya memutuskan ‘nyambi’ sebagai kuli bangunan.
Pekerjaan lain yang digeluti para nelayan tradisional di sana, disebabkan hasil tangkapan mereka yang menurun drastis. Dahulu minimal bisa membawa 60-70 kilogram cumi-cumi selama melaut dua hari dua malam, sekarang hanya cuma dapat 4-5 kilogram saja perhari. Sebagian besar nelayan tradisional Young Panah Hijau pun, kini banyak tak melaut akibat merugi. Sebab biaya operasional melaut sehari yang mencapai Rp400 ribu, tak sebanding dengan hasil tangkapan yang dibawa.
“Maksimal pendapatan kami biasanya 100 persen, sekarang menjadi 15 persen. Drastis kali penurunannya. Untuk biaya operasional saja, kami harus menyiapkan minimal uang Rp400 ribu. Semenjak ada kapal mereka (fisher), kami pulang membawa hasil tidak mencapai target. Kami juga tidak bisa memulangi biaya belanja, tidak nutup biaya operasional,” kata perwakilan nelayan Kamtibmas Young Panah Hijau, Andika, saat menyampaikan aspirasi di hadapan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumut, Mulyadi Simatupang, di Jalan Young Panah Hijau, Kecamatan Medan Marelan, Jumat (1/2).
Kapal yang dimaksud ialah kapal berukuran 10 sampai 30 GT yang ikut menangkap cumi-cumi di laut lepas perairan Belawan. Kondisi ini sudah berlangsung sejak 2016 lalu. Mata pencaharian mereka pun nyaris punah, akibat kehadiran kapal modern penangkap cumi-cumi tersebut. Padahal 90 persen masyarakat daerah itu, sangat mengandalkan pekerjaan tersebut sebagai mata pencaharian.
“Kawan-kawan takut melaut karena hasilnya tidak maksimal. Capeknya dapat, hasilnya tak ada. Tempo hari (sebelum kehadiran kapal fisher), minimal 15-20 Kg tangkapan cumi pasti dapat. Tapi sekarang ini kami pastikan ke laut saja takut karena merugi,” keluhnya.
“Bahkan seperti saya baru pulang (melaut) semalam (Kamis), hanya dapat 4,5 Kg. Jikapun dijual harganya Rp40 ribu per kilogram. Pendapatan hanya Rp160 ribu, jadi jelas tak nutup biaya belanja. Lalu sampan yang beroperasi sekarang ini, tinggal sekitar 200 unit dari sebelumnya mencapai 700 unit. Kondisinya sebagian sudah banyak rusak karena lama gak dipakai,” timpal nelayan lainnya.
Ibarat buah mangga diambil putiknya, maka buahnya tidak bakal bisa tumbuh lagi. Seperti itulah kondisi nelayan Young Panah Hijau saat ini. Menurut mereka kapal fisher memang sudah melanggar Permen KKP 37/2017 tentang Standar Operasional Prosedur.
“Dengan alat tangkap mereka saat ini, itu sama saja bermaksud merusak produktivitas hasil laut.
Karena cumi-cumi kecil itu ikut diambil mereka menggunakan kapal tersebut. Jadi mereka sudah berani dan nyata-nyata melanggar SOP oleh karena itu kami dari nelayan Young Panah Hijau, sengaja mengundang Kadiskanla Sumut bersama Ditpolair Poldasu untuk melakukan tindakan kepada nelayan yang tidak patuh itu ,” sambung Andika.
Selain dampak lingkungan yang juga dapat merusak ekosistem laut, kehadiran kapal fisher menurut nelayan tradisional memiliki dampak yang tak kalah hebat yaitu aspek sosial. Pertama, dampaknya mereka jelas kalah bersaing, mata pencaharian tenaga kerja perikanan tradisional juga menjadi mati. “Akibat kondisi kurang lebih dua tahun delapan bulan ini, kawan-kawan di sini kerja mocok-mocok sebagai kuli bangunan. Dan kegiatan lain diluar menangkap cumi-cumi seperti biasanya,
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” katanya.
Penyalaan lampu kapal fisher diduga kuat menyalahi peraturan perundang-undangan. Kemudian mereka juga menduga jaring dari kapal-kapal 10 sampai 30 GT itu tidak sesuai dengan Permen KP Nomor 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkap Ikan. “Di situ posisi kami memancing, di situ pula kapal-kapal itu menghidupkan lampu menangkap cumi-cumi,” pungkas Andika.
Menyahuti keluhan dan aspirasi itu, Kepala DKP Sumut, Mulyadi Simatupang mengakui bahwa sering kali lampiran proses perizinan berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. “Kalau izinnya itu ke kami sudah sesuai semuanya. Kadang di lapangannya sering berbeda,” ujarnya.
Untuk itu ke depan, pengawasan dari DKP sendiri akan terus ditingkatkan. Pihaknya menyarankan nelayan tradisional Young Panah Hijau membentuk Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas). “Itu nanti kita bentuk. Senin (hari ini, Red) para nelayan bisa ke kantor kami untuk membicarakan masalah ini,” ucapnya.
Kata Mulyadi, pihaknya pada 2019 sudah mengalokasikan anggaran pengadaan kapal patroli untuk pengawasan di lapangan. “Karena kalau tim turun itu anggarannya harus banyak. Pada 2018 alokasi anggaran untuk pengawasan itu kecil. Atas dasar itu dari sinilah kita aktifkan. Dari sini pula saya jadi tahu bahwa permasalahannya itu bukan hanya trawl saja. Ada juga permasalahan yang seperti ini,” sebutnya.
Kompol Zonni dari Ditpolair Polda Sumut yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan uji petik terhadap laporan para nelayan Young Panah Hijau. Hanya saja perlu dilakukan langkah koordinasi dengan DKP Sumut, terkait aturan main atau regulasi mengenai masalah ini.
“Pertama tentu kami mendorong supaya kawan-kawan nelayan di sini membentuk Pokwasmas. Langkah berikutnya kami bersama pihak DKP akan meninjau ke lokasi yang diduga banyak kapal fisher sebelum akhirnya mengambil tindakan. Jika terbukti kita akan tindak tegas sesuai aturan yang berlaku,” katanya.(*)