MEDAN, SUMUTPOS.CO – Naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Sumatera Utara (Sumut), yakni senilai Rp200 per liter untuk beberapa jenis bahan bakar, sangat dikeluhkan masyarakat Kota Medan. Sebagai Ibukota Provinsi Sumut, sekaligus kota dengan konsumsi BBM terbanyak di Sumut, kenaikan harga ini dinilai sangat memberatkan beban hidup warga, khususnya di masa pandemi Covid-19 yang belum kunjung berakhir.
Keluhan-keluhan itupun mulai berdatangan ke telinga para wakil rakyat di DPRD Medan. Mereka menilai, apa yang dilakukan PT Pertamina (Persero) sangat tidak layak untuk dilakukan di masa pandemi seperti saat ini.
“Kami sudah dengar keluhan-keluhan dari masyarakat. Kita masih dalam situasi pandemi, ekonomi punn
sedang merangkak di kalangan masyarakat kecil. Tapi justru di saat itu pula harga BBM dinaikkan oleh Pertamina. Khususnya untuk jenis pertalite, masyarakat sangat mengeluhkan kenaikan harganya,” ungkap Pimpinan DPRD Medan, HT Bahrumsyah, Minggu (4/4).
Bahrumsyah mengatakan, pihaknya tidak dapat menerima secara penuh alasan PT Pertamina yang menjadikan Perda atau Pergub tentang naiknya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dari 5 persen menjadi 7,5 persen, sebagai acuan untuk menaikkan harga BBM. Sebab pada dasarnya, naiknya harga BBM mengacu kepada kebijakan nasional dan terjadi secara merata di seluruh Indonesia.
“Faktanya kenaikan hanya terjadi di Sumut. Padahal kita ketahui, Pak Presiden bertekad untuk membuat BBM satu harga dari Sabang sampai Merauke, sebagai wujud nyata pemerataan energi di Indonesia. Harusnya Pertamina mendukung target Presiden yang ingin membuat BBM satu harga di seluruh Indonesia,” tegasnya.
Untuk itu, Bahrumsyah berharap, Pemko Medan dapat menyampaikan keluhan ini kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut yang telah mengeluarkan Pergub Sumut Nomor 01 Tahun 2021, tentang Tarif PBBKB Khusus Bahan Bakar Nonsubsidi, yang naik dari 5 persen menjadi 7,5 persen. Hal itu harus dilakukan, supaya Pemprov Sumut dapat berkoordinasi dengan melanjutkan keluhan tersebut kepada PT Pertamina, dan kenaikan harga BBM dapat dibatalkan.
“Memang sekilas kenaikannya cuma Rp200. Tapi bukan Rp200-nya itu yang memberatkan, tapi imbas dari kenaikan harga BBM itu yang akan memberikan kenaikan-kenaikan pada sejumlah kebutuhan lainnya, misalnya sembako, dan masih banyak kenaikan harga-harga lainnya,” jelas Bahrumsyah.
Kenaikan harga BBM, lanjut Bahrumsyah, memang harus dibatalkan. Pasalnya, kenaikan harga BBM di masa pandemi memang akan semakin melemahkan daya beli masyarakat. Hal ini sekaligus bertentangan dengan program-program pemerintah pusat yang sangat ingin memulihkan perekonomian dan meningkatkan daya beli masyarakat.
“Justru pemerintah pusat sudah gencar dalam memberikan dana-dana stimulus agar ekonomi dapat bangkit. Tujuannya jelas, agar daya beli masyarakat semakin meningkat. Sebaliknya, kenaikan harga BBM ini justru membuat daya beli masyarakat melemah. Pertamina tak pantas cari untung di tengah pandemi,” tegasnya.
Seperti diketahui, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi, membantah pernyataan PT Pertamina terkait alasan kenaikan harga BBM nonsubsidi di Sumut. Sebelumnya, PT Pertamina secara resmi menaikan harga BBM nonsubsidi di wilayah Sumut mulai Kamis, 1 April 2021 lalu.
PT Pertamina beralasan, kenaikan harga mengikuti kenaikan PBBKB yang ditetapkan Pemprov Sumut. Dalam Pergub Sumut yang ditandatangani Edy itu, disebutkan, PBBKB naik dari 5 persen menjadi 7,5 persen. Hal itu pun menyebabkan harga BBM di Sumut naik sebesar Rp200. Sedangkan untuk tarif PBBKB Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) seperti premium dan Jenis BBM Tertentu (JBT) seperti biosolar, tidak mengalami perubahan.
Menanggapi alasan yang dikemukakan PT Pertamina, Edy menyatakan, kenaikan harga BBM tidak ada kaitannya dengan Pergub Sumut yang diterbitkannya. Menurutnya, yang menentukan harga BBM adalah PT Pertamina. Karena itu Pemprov Sumut harus menyesuaikan, satu di antaranya dengan mengeluarkan Pergub.
Sementara itu, Pemprov Sumut pun mempertanyakan kebijakan PT Pertamina menaikkan tarif BBM nonsubsidi dengan mengalaskan terbitnya Pergub Sumut No 01/2021, tentang Juklak PBB-KB (Petunjuk Pelaksanaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) untuk wilayah Sumut naik dari 5 persen menjadi 7,5 persen.
“Yang menjadi persoalan saat ini adalah kenapa Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi mengalaskan terbitnya Pergub. Menurut kami, jika dia mau naikkan BBM naikkan saja, itukan wewenang Pertamina pusat bila ada persetujuan DPR RI,” tutur Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah (BP2RD) Sumut, Achmad Fadly, Minggu (4/4).
Menurut Fadly, dasar pihaknya atas kenaikan tarif PBBKB mengacu pada UU No 28/2009, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pada UU itu tepatnya pasal 9, pemerintah daerah diperkenankan menaikkan tarif PBBKB maksimal 10 persen melalui penerbitan peraturan kepala daerah.
“Kalau kami dari sisi teknis, terkait kenaikan tarif PBBKB ini, tidak ada sesuatu regulasi pun yang dilanggar. Karena ini adalah kewenangan pemerintah daerah sendiri. Kenapa ini menjadi polemik, karena Pertamina berlindung dibalik Pergub tersebut,” jelasnya lagi.
Sebelum Pergub Sumut No 01/2021 ini terbit, diakui Fadly, Sumut menggunakan Pergub Sumut No 22/2011, yakni sebesar 5 persen untuk tarif PBBKB-nya.
“Dan sudah berjalan sekitar 10 tahun. Baru inilah kami naikkan lagi jadi 7,5 persen. Sebelum ini dinaikkan, kami sudah duduk bersama, bukan hanya dengan Pertamina, tapi juga para distributor BBM. Dan mereka menyepakati tidak ada menaikkan harga BBM nonsubsidi. Artinya kami sudah sosialisasi. Lalu ditekenlah Pergub itu pada Maret 2021 yang berlaku mulai 1 April lalu,” beber Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Setdaprov Sumut itu.
Selain dengan distributor BBM, pihaknya mengamini telah ada berkoordinasi dengan DPRD Sumut perihal keinginan Pemprov Sumut menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor PBBKB ini. Artinya, DPRD Sumut melalui Komisi C sebagai mitra kerja BP2RD, telah mengetahui ihwal niatan dimaksud.
“Dari informasi yang saya peroleh melalui rekan-rekan di BP2RD, perihal ini juga sudah disampaikan ke Komisi C DPRD Sumut sebagai mitra kerja kami,” katanya.
Meski lingkup Sumbagut, lanjut Fadly, kenaikan tarif BBM nonsubsidi ini merupakan kewenangan pemerintah pusat. Apalagi jika merasa rugi, Pertamina juga bisa menaikkan harga minyak ecerannya. Terlebih lagi pasar untuk BBM nonsubsidi ini sudah ada, ialah masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Jadi kita wilayah Sumatera ini yang paling lama naik adalah Sumut dan Aceh. Malah yang paling signifikan itu adalah Riau yakni maksimal kenaikannya 10 persen untuk tarif ini. Dan harga pertalite di Riau itu sudah Rp8.000, kita di Sumut Rp7.680,” jelasnya.
Pihaknya lantas meminta PT Pertamina mengklarifikasi pernyataannya yang sudah membuat gaduh masyarakat. Sebab ditambah lagi, kondisi pandemi yang masih terjadi telah membuat perekonomian masyarakat kian sulit.
“Momennya kurang menguntungkan di mana masih masa pandemi. Tapi sangat disayangkan kenapa Pergub yang kami keluarkan dijadikan landasan kenaikan harga BBM nonsubsidi. Padahal informasinya harga BBM nonsubsidi yang naik di Aceh, tidak ada berita kami dengar lantaran Pergub seperti halnya Sumut. Ini yang menjadi pertanyaan. Biasanya jika BBM mau naik, pada malam harinya kami sudah lihat pengumuman di televisi tentang itu. Itu artinya wewenang menaikkan BBM tersebut ada di Pertamina sendiri. Bukan karena lahir Pergub,” tegasnya.
Copot
Senada dengan itu, Ketua Komisi A DPRD Sumut, Hendro Susanto menegaskan, kebijakan tak populer itu bukan karena adanya Pergub, melainkan PT Pertamina selaku instansi yang diberikan kewenangan oleh UU. Dia lantas meminta Direktur Utama PT Pertamina pusat mencopot Kepala Pertamina Regional Sumbagut. Pasalnya menurut Hendro, kebijakan dimaksud tidak memiliki dasar hukum yang tepat.
“Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3 menegaskan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Karena itu, pengelolaan dan penetapan harga bahan bakar minyak haruslah memerhatikan kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. terlebih kenaikan tersebut dilakukan dalam kondisi perekonomian masyarakat Sumut yang sedang sulit akibat dampak wabah pandemi Covid-19. Pertamina tidak memiliki sense of crisis,” tegasnya.
Dia juga menuturkan, penetapan harga BBM haruslah berdasarkan ketentuan UU Republik Indonesia No 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi pasal 28 ayat 2, yang berbunyi Harga BBM dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Hendro menilai, alasan kenaikan harga BBM untuk wilayah Sumut dikaitkan dengan terbitnya Pergub No 01/2021 sangatlah tidak tepat.
“Pergub No 01 Tahun 2021 itu tentang petunjuk pelaksanaan pajak bahan bakar dan pajak rokok. Ini ngawur, Pertamina harus mempertanggungjawabkan atas ini. Kami minta surat Pertamina Regional Sumbagut untuk dibatalkan. Kasihan masyarakat Sumut. Dan kepada Dirut Pertamina agar segera mencopot Kepala Pertamina Regional Sumbagut,” tegasnya.
Berikut rincian terbaru harga BBM Pertamina di Sumut, pertalite dari Rp7.650 menjadi Rp7.850, pertamax dari Rp9.000 menjadi Rp9.200, pertamax turbo dari Rp9.850 jadi Rp10.050, pertamina dex dari Rp10.200 jadi Rp10.450, dexlite dari Rp9.500 menjadi Rp9.700, dan solar non PSO dari Rp9.400 jadi Rp9.600. (map/prn/saz)