32.8 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Istri Pegang Kemudi, Suami Menebar Jaring

Keberadaan manusia perahu tidak hanya ditemui di masyarakat Suku Bajo Sulawesi saja. Kondisi tak jauh berbeda ada di Selat Melaka, tepatnya d Perairan Belawan, Medan. Bedanya, menjadi manusia perahu di Belawan ini bukan karena pilihan, tapi karena tak punya tempat tinggal di darat.

Fakhrul Rozi, Belawan

PERAHU: Sahnan  istrinya Asnah beraktivitas  atas perahu  telah menjadi rumahnya selama dua tahun, Senin (3/6). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
PERAHU: Sahnan dan istrinya Asnah beraktivitas di atas perahu yang telah menjadi rumahnya selama dua tahun, Senin (3/6). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

Siang itu, Senin (3/6), matahari garang bersinar di perairan Paluh Perta Kelurahan Belawan II Kecamatan Medan Belawan. Sahnan (51) tak peduli. Tubuh rentahnya dia biarkan tersengat. Dia biarkan dadanya yang tak tegap menyambut sinar sang surya. Ya, siang itu dia hanya mengenakan celana panjang warna biru.

Shanan terlihat fokus. Matanya tertuju pada jaring (jala) yang sedang dia perbaiki. “Iya, jaringnya robek karena tersangkut saat menangkap ikan di laut kemarin malam. Ini sedang dibubul untuk diperbaiki kembali, biar sore nanti bisa berangkat melaut,” ungkap Sahnan.

Di atas perahu itu rupanya pria bercucu enam ini tidak tinggal seorang diri. Di atas lambung perahu bermesin dengan ukuran lebar 1,5 meter dan panjang 4 meter yang mulai mengalami kebocoran itu, Sahnan didampingi oleh Asnah, istrinya. “Mari singgah,naik saja ke atas boat (perahu) tak apa-apa,” timpal perempuan berusia 45 tahun ini menyambut kehadiran Sumut Pos.

Bermukim di atas perahu dilakukan pasangan kakek dan nenek ini sudah hampir dua tahun lamanya. Akibat kebutuhan ekonomi keduanya terpaksa menjual rumah mereka di Gang II Paluh Kecamatan Medan Belawan. “Saya jual rumah karena saat itu memang lagi butuh duit buat keperluan berobat isteri dan bayar utang, sedangkan penghasilan tetap saya tidak ada,” kenang Sahnan.

Usai menjual rumah, Sahnan dan Asnah mulai bingung mencari tempat tinggal, mereka berpindah-pindah menumpang tidur di rumah tetangga serta keluarga. Selama hampir setahun hidup menumpang di rumah orang lain membuat keduanya merasa malu.”Kami memang dibolehkan menumpang oleh tetangga, tapi terus-terusan seperti itu saya dan istri merasa malu. Sedangkan mau menumpang dengan anak kasihan karena kedua
anak saya kondisinya juga susah,” lirihnya.

Dengan sisa uang penjualan rumah, ditambahan lagi uang hasil kerja mocok-mocok (tak tetap), Sahnan berpikir untuk membeli perahu sebagai tempat tinggal sekaligus mencari nafkah. “Perahu ini kami beli bekas pakai lengkap dengan jaring ikan, harganya saat itu sekitar Rp13 juta,” ujar dia.

Kondisi kayu perahu yang lapuk diperbaiki Sahnan. Di atas perahu dia membuat bangun rumah-rumahan berukuran panjang dua meter dan lebar satu meter, sebagai bilik untuk tidur. Sedangkan untuk dapur berada di buritan luasnya hanya 1×1 meter dengan peralatan memasak seadanya.

“Ya beginilah kondisi kami, terus menumpang di rumah orang lain malu. Makanya kami putuskan membeli boat sebagai rumah sekaligus untuk mencari nafkah buat kebutuhan makan setiap harinya. Saya pun bersyukur isteri saya ikhlas menerima kondisi ini,” kata Sahnan.

Hidup sebagai ‘manusia perahu’ dengan keterbatasan, dilakoni keduanya pada setiap hari hingga bertahun lamanya. Kondisi itu tidak membuat Sahnan dan Asnah putus asa. Senyum mereka masih merekah. “Biarpun saya hidup seperti ini, saya tidak mau mengeluh. Sebenarnya saya tidak mau menceritakan soal kesusahan yang kami alami ini pada orang lain. Yang ada dipikiran saya bagaimana berusaha untuk bertahan hidup, itu saja tidak lebih. Kalau untuk hidup meminta-minta kami tidak mau,” ungkapnya.

Selama bertempat tinggal di dalam perahu susah senang dilalui bersama. Siang hari, Sahnan sibuk memperbaiki jaring, sementara isterinya tampak sibuk memasakan di dapur buat keperluan makan. Di dapur ukuran 1×1 meter tanpa dinding dan atap itu hanya dilengkapi sebuah kompor berkarat, priuk, kuali, sutil, serta tiga buah piring.

“Kalau siang saya memasak di dapur ini, saya baru bisa belanja di darat setelah menjual ikan hasil tangkapan. Untuk air bersih kami juga beli di darat pakai jeriken, itu buat minum dan cuci pakaian,” tutur Asnah.

Dalam mencari nafkah keduanya sama-sama berangkat melaut. Sebelum berangkat melaut segala kebutuhan operasional harus dipenuhi, mulai dari solar sebagai kebutuhan bahan bakar mesin hingga keperluan lainnya sudah dipersiapkan.”Biaya buat beli solar yang mahal, sekali berangkat paling tidak 20 liter harus dibeli. Harga per liternya saya beli Rp5.500,” kata Sahnan.

Menjelang sore atau sekitar pukul 17.00 WIB, perahu yang ditumpangi pasutri ini berangkat melaut, dan baru pulang pada keesokan harinya atau pukul 08.00 WIB. Ketika berada di tengah laut untuk menangkap ikan suami-isteri ini saling berbagi tugas, Asnah bertugas mengendalikan kemudi perahu. Sedangkan, suaminya menarik jaring ke atas perahu yang ditebar di laut sembari memisahkan ikan yang terperangkap.

“Jadi kalau pun tidur cuma sebentar. Untuk ikan hasil tangkapan tidak bisa dipastikan berapa banyaknya, kalau cuaca lagi bagus paling banyak 10 kg, kadang-kadang pun bisa tak mendapat ikan kalau cuaca buruk seperti sekarang ini,” katanya. (bersambung)

Keberadaan manusia perahu tidak hanya ditemui di masyarakat Suku Bajo Sulawesi saja. Kondisi tak jauh berbeda ada di Selat Melaka, tepatnya d Perairan Belawan, Medan. Bedanya, menjadi manusia perahu di Belawan ini bukan karena pilihan, tapi karena tak punya tempat tinggal di darat.

Fakhrul Rozi, Belawan

PERAHU: Sahnan  istrinya Asnah beraktivitas  atas perahu  telah menjadi rumahnya selama dua tahun, Senin (3/6). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
PERAHU: Sahnan dan istrinya Asnah beraktivitas di atas perahu yang telah menjadi rumahnya selama dua tahun, Senin (3/6). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

Siang itu, Senin (3/6), matahari garang bersinar di perairan Paluh Perta Kelurahan Belawan II Kecamatan Medan Belawan. Sahnan (51) tak peduli. Tubuh rentahnya dia biarkan tersengat. Dia biarkan dadanya yang tak tegap menyambut sinar sang surya. Ya, siang itu dia hanya mengenakan celana panjang warna biru.

Shanan terlihat fokus. Matanya tertuju pada jaring (jala) yang sedang dia perbaiki. “Iya, jaringnya robek karena tersangkut saat menangkap ikan di laut kemarin malam. Ini sedang dibubul untuk diperbaiki kembali, biar sore nanti bisa berangkat melaut,” ungkap Sahnan.

Di atas perahu itu rupanya pria bercucu enam ini tidak tinggal seorang diri. Di atas lambung perahu bermesin dengan ukuran lebar 1,5 meter dan panjang 4 meter yang mulai mengalami kebocoran itu, Sahnan didampingi oleh Asnah, istrinya. “Mari singgah,naik saja ke atas boat (perahu) tak apa-apa,” timpal perempuan berusia 45 tahun ini menyambut kehadiran Sumut Pos.

Bermukim di atas perahu dilakukan pasangan kakek dan nenek ini sudah hampir dua tahun lamanya. Akibat kebutuhan ekonomi keduanya terpaksa menjual rumah mereka di Gang II Paluh Kecamatan Medan Belawan. “Saya jual rumah karena saat itu memang lagi butuh duit buat keperluan berobat isteri dan bayar utang, sedangkan penghasilan tetap saya tidak ada,” kenang Sahnan.

Usai menjual rumah, Sahnan dan Asnah mulai bingung mencari tempat tinggal, mereka berpindah-pindah menumpang tidur di rumah tetangga serta keluarga. Selama hampir setahun hidup menumpang di rumah orang lain membuat keduanya merasa malu.”Kami memang dibolehkan menumpang oleh tetangga, tapi terus-terusan seperti itu saya dan istri merasa malu. Sedangkan mau menumpang dengan anak kasihan karena kedua
anak saya kondisinya juga susah,” lirihnya.

Dengan sisa uang penjualan rumah, ditambahan lagi uang hasil kerja mocok-mocok (tak tetap), Sahnan berpikir untuk membeli perahu sebagai tempat tinggal sekaligus mencari nafkah. “Perahu ini kami beli bekas pakai lengkap dengan jaring ikan, harganya saat itu sekitar Rp13 juta,” ujar dia.

Kondisi kayu perahu yang lapuk diperbaiki Sahnan. Di atas perahu dia membuat bangun rumah-rumahan berukuran panjang dua meter dan lebar satu meter, sebagai bilik untuk tidur. Sedangkan untuk dapur berada di buritan luasnya hanya 1×1 meter dengan peralatan memasak seadanya.

“Ya beginilah kondisi kami, terus menumpang di rumah orang lain malu. Makanya kami putuskan membeli boat sebagai rumah sekaligus untuk mencari nafkah buat kebutuhan makan setiap harinya. Saya pun bersyukur isteri saya ikhlas menerima kondisi ini,” kata Sahnan.

Hidup sebagai ‘manusia perahu’ dengan keterbatasan, dilakoni keduanya pada setiap hari hingga bertahun lamanya. Kondisi itu tidak membuat Sahnan dan Asnah putus asa. Senyum mereka masih merekah. “Biarpun saya hidup seperti ini, saya tidak mau mengeluh. Sebenarnya saya tidak mau menceritakan soal kesusahan yang kami alami ini pada orang lain. Yang ada dipikiran saya bagaimana berusaha untuk bertahan hidup, itu saja tidak lebih. Kalau untuk hidup meminta-minta kami tidak mau,” ungkapnya.

Selama bertempat tinggal di dalam perahu susah senang dilalui bersama. Siang hari, Sahnan sibuk memperbaiki jaring, sementara isterinya tampak sibuk memasakan di dapur buat keperluan makan. Di dapur ukuran 1×1 meter tanpa dinding dan atap itu hanya dilengkapi sebuah kompor berkarat, priuk, kuali, sutil, serta tiga buah piring.

“Kalau siang saya memasak di dapur ini, saya baru bisa belanja di darat setelah menjual ikan hasil tangkapan. Untuk air bersih kami juga beli di darat pakai jeriken, itu buat minum dan cuci pakaian,” tutur Asnah.

Dalam mencari nafkah keduanya sama-sama berangkat melaut. Sebelum berangkat melaut segala kebutuhan operasional harus dipenuhi, mulai dari solar sebagai kebutuhan bahan bakar mesin hingga keperluan lainnya sudah dipersiapkan.”Biaya buat beli solar yang mahal, sekali berangkat paling tidak 20 liter harus dibeli. Harga per liternya saya beli Rp5.500,” kata Sahnan.

Menjelang sore atau sekitar pukul 17.00 WIB, perahu yang ditumpangi pasutri ini berangkat melaut, dan baru pulang pada keesokan harinya atau pukul 08.00 WIB. Ketika berada di tengah laut untuk menangkap ikan suami-isteri ini saling berbagi tugas, Asnah bertugas mengendalikan kemudi perahu. Sedangkan, suaminya menarik jaring ke atas perahu yang ditebar di laut sembari memisahkan ikan yang terperangkap.

“Jadi kalau pun tidur cuma sebentar. Untuk ikan hasil tangkapan tidak bisa dipastikan berapa banyaknya, kalau cuaca lagi bagus paling banyak 10 kg, kadang-kadang pun bisa tak mendapat ikan kalau cuaca buruk seperti sekarang ini,” katanya. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/