Apa yang ditakuti dari pembatasan solar bersubsidi yakni penimbunan dan penyimpangan distribusi akhirnya terjawab. Pada hari pertama pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi itu, dua truk tangki pengakut solar dan premium diamankan karena ‘kencing sembarangan’. Malah, tempat penimbunan alias penampungan ilegal itu berada di sebuah klenteng tua tak jauh dari depot Pertamina.
Adalah petugas satuan pengamanan Depot Pengisian BBM Pertamina Medan Group, mengamankan dua unit armada truk tangki pengangkut BBM subsidi bernopol BK 8423 CN dan BK 9229 CN. Kedua armada tersebut ditangkap karena kedapatan menurunkan dan menggelapkan muatan ke lokasi penampungan ilegal di Jalan KL Yos Sudarso Km 17,5 Kecamatan Medan Labuhan, Senin (4/8) kemarin.
Diamankannya dua unit armada transportasi khusus pendistribusi BBM subsidi yang dikelolah PT Elnusa Petrofin Medan itu bermula saat truk tangki sarat muatan BBM berangkat dari depot pertamina di Jalan KL Yos Sudarso Km 20 Medan Labuhan, menuju ke SPBU di Medan.
Baru sekitar lebih dari dua kilometer meninggalkan depot, kedua truk tangki berlambang pertamina yang disopiri oleh S dan B berhenti ke lokasi penampungan BBM ilegal milik, H Bedul seorang warga sipil di Jalan KL Yos Sudarso Km 17,5 Medan Labuhan, persisnya berada di depan sebuah klenteng tua bersejarah, Liat Sun Kiong.
Usai menurunkan muatan BBM subsidi, kedua truk tangki berwarna merah putih tersebut langsung diamankan dan dibawa ke depot pertamina. Sopir truk yang tak dapat berdalih selanjutnya diserahkan ke petugas satuan pengaman internal Pertamina guna menjalani proses pemeriksaan.
Kepala Operasional Stasiun BBM Depot Pertamina, Gunawan saat dihubungi mengaku belum mengetahui secara pasti kronologis diamankannya kedua unit armada truk tangki pengangkut BBM yang diduga kuat melakukan kecurangan.”Saya belum ada menerima laporan, tapi nanti akan saya cek kebenarnya,” ujar, Gunawan.
Sementara itu, Plh Head Operation PT Elnusa Petrofin Medan, Hendrimen ketika dikonfirmasi melalui Stafnya, Rajiono membenarkan adanya oknum sopir truk tangki BBM diamankan atas dugaan melakukan penggelapan muatan dan menjualnya ke lokasi penampungan BBM tak resmi.
Ada dua unit armada kita diamankan dan kedua sopirnya saat ini masih diperiksa oleh petugas satuan pengaman pertamina,” ungkapnya.
Atas dugaan tindak kejahatan itu lanjut, Rajiono kedua oknum sopir truk tangki yang terdaftar sebagai karyawan di PT Elnusa Petrofin Medan akan dikenakan sanksi berupa pemutusan hubungan kerja (PHK), karena dinilai telah melakukan pelanggan berat.
Sementara, sejumlah Stasiun Bahan Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di utara Kota Medan, tidak beroperasi seperti biasa menyusul kebijakan pembatasan solar bersubsidi. Contohnya SPBU No 14.202.124 Jalan Yos Sudarso Simpang KIM Kecamatan Medan Deli. Selain itu dua SPBU lainnya yakni di Jalan Pelabuhan Raya dan di kawasan Simpang Kampung Salam Kecamatan Medan Belawan juga tidak beroperasi.
“Sejak menjelang magrib tadi sudah tutup, tapi saya tidak tahu apa penyebabnya. Karena saya di sini cuma sebagai penjaga malam saja dan tidak mengurusi soal stok BBM di SPBU,” sebut pria penjaga SPBU di Jalan Pelabuhan Raya, Belawan yang tak mau menyebutkan namanya.
Akhirnya Poldasu Beri Instruksi
Di sisi lain, setelah disebutkan ‘cuek’, akhirnya Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu), merespon peraturan pemerintah pusat terkait batasan penggunaan BBM bersubsidi di Sumatera Utara (Sumut). Kapoldasu Irjend Pol Syarief Gunawan menginstruksikan seluruh jajarannya agar melakukan pengawasan dari tingkat pendistribusian hingga di sarana pengisian bahan bakar umum (SPBU).
“Aritnya begini, Poldasu sesungguhnya siap melaksanakan dan menerapkan peraturan pemerintah pusat maupun daerah. Untuk itu, Poldasu siap melakukan pengamanan bila ada batasan penggunaan solar subsidi dari jam 8 pagi hingga jam 18 sore. Ini sudah ditegas Kapolda tadi (kemarin, Red) waktu dilakukan aniv (analisis dan evaluasi),” sebut Kabid Humas Poldasu, Kombes Pol Raden Heru Prakoso, saat dikonfirmasi Sumut Pos, Senin (4/8) siang.
Dalam pengawasan ini, Poldasu melakukan koordinasi dengan Pertamina untuk dilakukan pengawasan ditingkat daerah.”Kita back-up. Kemudian, dijajaran sudah diberitahukan untuk melakukan pengawasan juga, yakni melakukan patroli-patroli SPBU, khususnya pada pengisian kendaraan bermotor truk dan bus yang menggunakan bahan bakar solar bersubsidi,” jelasnya.
Terpisah, Kepala Perwakilan Ombudsman Sumut, Abyadi Siregar meminta kepada Poldasu dan Pertamina untuk serius melakukan pengamanan dan pengawasan terhadap peraturan pemerintah pusat atas batasan penggunaan solar subsidi. “Kita miris dengan peraturan itu. Poldasu dan Pertamina harus melakukan pengawasan,” jelasnya.
“Poldasu kita minta untuk meningkatkan pengawasan jangan main-main dalam pengawasan serta menindak pelaku penimbunan solar itu,” tambahnya.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprocsu) mendukung kebijakan pemerintah pusat terkait pembatasan bahan bakar minyak (BBM) berjenis solar terhitung 1 Agustus 2014 kemarin. Hal itu disampaikan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Gatot Pujo Nugroho, Senin (4/8). “Artinya dari waktu ke waktu memang harus dikurangi. Tetapi kemudian subsidi BBM itu disubsitusi ke daerah untuk pembangunan infrastruktur,” kata Gubsu.
Gubsu mengaku bahwa hal itu sesuai rapat asosiasi Pemprovsu beberapa waktu lalu tentang pembatasan subsidi BBM. Apalagi berdasarkan pertemuan pihaknya dengan GM Pertamina yang baru, di mana dari situ terungkap bahwa jauh sebelum ada ketetepan pembatasan solar bersubsi, kondisi yang dirasakan saat ini juga sudah diwanti-wanti. Menyikapi hal tersebut, kata Gatot, Pertamina juga sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian, Pangdam I/BB, di mana pada akhirnya tereduksi dari 48 menjadi 46 SPBU dari kuota Sumut 1,8 menjadi 1,6. Alhasil pihaknya pun menyadari pasti terjadi kekurangan ketersediaan bahan bakar di lapangan.
“Tentunya hal ini dapat direduksi dari waktu ke waktu guna mengembangkan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah. Artinya pembatasan dari subsidi ini dapat di alokasikan untuk itu,” jelasnya.
Seperti diketahui berdasarkan Undang-undang ((UU) Nomor 12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014, pemerintah dan DPR sepakat untuk memangkas kuota BBM subsidi dari 48 juta kiloliter (kl) menjadi 46 juta kl. Untuk menjaga agar konsumsi BBM bersubsidi tidak lebih dari kuota tersebut, telah diterbitkan Surat Edaran BPH Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, tentang pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.
Dalam surat tersebut ada empat cara yang ditempuh, sebagai langkah pengendalian. yaitu peniadaan solar bersubsidi di Jakarta Pusat mulai 1 Agustus. Pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali mulai tanggal 4 Agustus 2014,akan dibatasi dari pukul 18.00 sampai dengan pukul 08.00 WIB.
Tidak hanya solar di sektor transportasi, mulai tanggal 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30GT. Selanjutnya, terhitung mulai tanggal 6 Agustus 2014, penjualan premium di seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol ditiadakan.
Sedangkan R Aritonang, Ketua DPD Migas Watch Sumatera Utara mengatakan, kebijakan pembatasan solar dinilai kurang tepat sasaran. Malah, kebijakan dengan masih adanya disparitas harga tersebut justru diprediksi akan memicu maraknya terjadi penyimpangan. Sebab, perbedaan harga pada jam-jam tertentu bakal dimanfaatkan para mafia BBM ilegal.
“Kondisi ini justru memancing oknum tertentu untuk melakukan penyelewengan. Sebab, selain disparitas harga antara subsidi dan nonsubsidi, perbedaan harga pada jam-jam tertentu juga akan dimanfaatkan pihak tertentu,” katanya, kemarin.
Aritonang, mengaku lebih sepakat jika hal itu tidak terjadi. Baiknya, saran organisasi pemantau minyak dan gas ini, pemerintah membuat kebijakan secara fiskal, bukan justru membuat kebijakan yang harus diawasi pasar. Karena kebijakan soal BBM yang diambil selama ini, justru banyak dinikmati oleh orang-orang yang bukan rakyat kecil.
“Contohnya, harga BBM baik solar maupun premium harusnya disamaratakan dan jangan ada perbedaan. Terjadinya disparitas harga ini justru menimbulkan rawan terjadi kebocoran subsidi. Jadi harus ada kebijakan secara fiskal, dan tidak membuat kebijakan yang harus diawasi,” ungkapnya. (gus/prn/put/rbb)