25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Akademisi: Ada Indikasi Kriminalisasi Perdata

Kasus BNI SKM Medan

MEDAN- Akademisi dari Pascasarjana Fakultas Hukum UMSU, Abdul Hakim Siagian SH MHum, menduga ada indikasi kriminalisasi perdata dalam kasus jaminan kredit tidak terpasang di Bank BNI Sentra Kecil Menengah Medan, yang kini tengah proses sidang di Tipikor Medan.

“Kasus ini sebenarnya adalah murni perdata, mengingat awal mula adanya transaksi kredit antara PT Bahari Dwi Kencana Lestari (BDL) dengan BNI adalah berdasar adanya surat kuasa dari Pemegang Saham PT Atakana Company. Sedang kasus ini terjadi karena adanya pencabutan surat kuasa tersebut dari salah satu pemegang saham. Jadi tidaklah elok dan tidak proporsional dengan mengabaikan hukum acara perdata,” kata Abdul Hakim Siagian, pengajar pada Pascasarjana UMSU yang juga kandidat doktor di USU ini, pada sebuah diskusi di kantornya, kemarin.

Alangkah bijak, lanjutnya, bila pada sidang tipikor ini dilakukan telaah secara seksama terhadap surat kuasa yang diberikan sekaligus terhadap surat pencabutan kuasa tersebut. Selain itu, sidang penting juga menimbang dan memeriksa data-data yang digunakan dalam proses penyidikan, siapa pengadu kasus ini, hingga harus mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan dalam sidang.

“Dalam kasus ini, penyidik sepertinya sudah mengabaikan adanya putusan pengadilan terhadap obyek yang sama dalam perkara perdata yang telah di putus oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh,” tandasnya.

Senada dengan Abdul Hakim. praktisi hukum di Medan, Fery Anthoni Surbakti, juga menilai, kasus jaminan kredit tidak terpasang di Bank BNI Sentra Kecil Menengah (SKM) Medan, terlalu dipaksakan untuk masuk dalam ranah hukum tindak pidana korupsi (tipikor).

“Kalau saya melihat kasus ini terlalu dipaksakan masuk dalam tipikor. Apalagi terkait dakwaan jaksa yang menyebutkan, akibat perbuatan ketiga terdakwa menyebabkan kerugian negara. Sekarang saya tanya, kerugian negara di mananya? Ini sebenarnya hanya masalah perdata saja dan saya nilai tidak ada unsur korupsinya,” ungkap Fery.

Menurutnya, yang perlu dibuktikan Kejaksaan apakah kasus tersebut masuk ranah hukum korupsi atau tidak adalah, apakah tanah jaminan tersebut milik Boy Hermansyah atau M Aka.

“Dibuktikan dulu sengketa kepemilikannya. Karena pada dasarnya objek yang dijadikan sebagai jaminan kredit merupakan sebidang tanah yang diklaim si pemilik asal adalah milik dia,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, Kejaksaan juga tidak melihat putusan di Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang menyatakan bahwa BNI berhak mendapatkan penjaminan atas utang-utang PT BDL berupa HGU 102. “Jika nanti dalam putusan tingkat kasasi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menyatakan tanah itu adalah milik Boy Hermansyah, maka di mana kerugian negaranya?” ujarnya

Selain itu, tiap bulan Boy Hermansyah mencicil kredit pinjamannya sebesar Rp1 miliar. Dan dakwaan jaksa yang menyebutkan ketiga terdakwa telah melanggar ketentuan BNI melalui mekanisme pemberian kredit, juga tidak bisa dibuktikan. “Dalam pengajuan permohonan kredit oleh Boy Hermansyah, persyaratan telah terpenuhi. Lantas, di mana letak pelanggarannya?” bebernya.

Sebagaimana diketahui, dalam eksepsi yang diajukan kuasa hukum tiga terdakwa, Baso Fachruddin, terungkap bahwa kasus ini lebih merupakan perkara perdata. Apalagi dengan menyimak kronologi peristiwa hal ini bisa sampai terjadi, di mana pemberian kuasa kepada Boy Hermansyah, dan kemudian mencabutnya, adalah masalah perdata.

Kasus ini terjadi setelah adanya pemberian kredit dari BNI  SKM Medan kepada PT BDKL. Di mana BNI SKM Medan terlebih dahulu memberi kredit ke PT Atakana Company Group sejak 1996, dengan jaminan kredit berupa kebun seluas 3.445 hektare sesuai Sertifikat HGU N0. 102.

Karena kredit macet tahun 2010, Bank BNI SKM Medan berupaya mengeksekusi jaminan dengan melelang agunan. Namun PT Atakana memohon agar agunan SHGU No. 102 dapat dijual di bawah tangan. Bank BNI SKM Medan setuju.

Selanjutnya, PT Atakana menggelar RUPS, dan sepakat menjual dan/atau melepaskan hak atas tanah dalam SHGU No. 102, kepada Boy Hermansyah, sekaligus untuk menyelesaikan pinjaman/hutang dan seluruh kewajiban PT Atakana kepada Bank BNI SKM Medan, serta menerima dokumen-dokumen asli SHGU No. 102.

Setelah proses jual beli beres, selanjutnya Boy Hermansyah mengajukan surat Permohonan Kredit ke Bank BNI SKM Medan, dengan total plafon sebesar Rp133 mliar. Salahsatu jaminannya adalah kebun HGU 102 (masih tercatat atas nama PT Atakana, meski telah ada sertifikat jual beli dari PT Atakana kepada Boy Hermansyah).

BNI menyetujui pinjaman Rp 129 miliar. Dari jumlah itu, yang dicairkan baru Rp117,5 miliar. Perjanjian Kredit antara Bank BNI dan PT BDL inilah yang akhirnya mendudukkan tiga pejabat BNI ke depan meja hijau. Pasalnya, salah satu dari empat pemilik saham lama PT Atakana, yakni Muhammad Aka selaku Direktur Utama, secara sepihak (tanpa persetujuan pemegang saham yang lain), mencabut kuasa yang diberikan kepada Boy Hermansyah sebagaimana keputusan RUPS.

Tidak hanya itu, Aka juga mengajukan pemblokiran atas SHGU No. 102 ke kantor BPN. Selanjutnya Aka menggugat Boy Hermansyah ke Poldasu dan Kejatisu, dengan tuduhan penggelapan dokumen pemilikan kebun PT Atakana, sebagai jaminan pinjaman ke BNI SKM Medan. Aka juga melaporkan BNI ke Kejati Sumut atas dugaan penyimpangan proses pemberian kredit BNI kepada PT.BDL.

Adapun ketiga pejabat BNI Medan yang menjadi korban kriminalisasi dalam kasus ini yakni Radiyasto selaku Pimpinan Sentra Kredit Menengah BNI Pemuda Medan, Darul Azli selaku pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan, dan Titin Indriani selaku Relationship BNI SKM Medan. Ketiganya ditetapkan sebagai tahanan kota sejak beberapa waktu lalu. (far)

Kasus BNI SKM Medan

MEDAN- Akademisi dari Pascasarjana Fakultas Hukum UMSU, Abdul Hakim Siagian SH MHum, menduga ada indikasi kriminalisasi perdata dalam kasus jaminan kredit tidak terpasang di Bank BNI Sentra Kecil Menengah Medan, yang kini tengah proses sidang di Tipikor Medan.

“Kasus ini sebenarnya adalah murni perdata, mengingat awal mula adanya transaksi kredit antara PT Bahari Dwi Kencana Lestari (BDL) dengan BNI adalah berdasar adanya surat kuasa dari Pemegang Saham PT Atakana Company. Sedang kasus ini terjadi karena adanya pencabutan surat kuasa tersebut dari salah satu pemegang saham. Jadi tidaklah elok dan tidak proporsional dengan mengabaikan hukum acara perdata,” kata Abdul Hakim Siagian, pengajar pada Pascasarjana UMSU yang juga kandidat doktor di USU ini, pada sebuah diskusi di kantornya, kemarin.

Alangkah bijak, lanjutnya, bila pada sidang tipikor ini dilakukan telaah secara seksama terhadap surat kuasa yang diberikan sekaligus terhadap surat pencabutan kuasa tersebut. Selain itu, sidang penting juga menimbang dan memeriksa data-data yang digunakan dalam proses penyidikan, siapa pengadu kasus ini, hingga harus mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan dalam sidang.

“Dalam kasus ini, penyidik sepertinya sudah mengabaikan adanya putusan pengadilan terhadap obyek yang sama dalam perkara perdata yang telah di putus oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh,” tandasnya.

Senada dengan Abdul Hakim. praktisi hukum di Medan, Fery Anthoni Surbakti, juga menilai, kasus jaminan kredit tidak terpasang di Bank BNI Sentra Kecil Menengah (SKM) Medan, terlalu dipaksakan untuk masuk dalam ranah hukum tindak pidana korupsi (tipikor).

“Kalau saya melihat kasus ini terlalu dipaksakan masuk dalam tipikor. Apalagi terkait dakwaan jaksa yang menyebutkan, akibat perbuatan ketiga terdakwa menyebabkan kerugian negara. Sekarang saya tanya, kerugian negara di mananya? Ini sebenarnya hanya masalah perdata saja dan saya nilai tidak ada unsur korupsinya,” ungkap Fery.

Menurutnya, yang perlu dibuktikan Kejaksaan apakah kasus tersebut masuk ranah hukum korupsi atau tidak adalah, apakah tanah jaminan tersebut milik Boy Hermansyah atau M Aka.

“Dibuktikan dulu sengketa kepemilikannya. Karena pada dasarnya objek yang dijadikan sebagai jaminan kredit merupakan sebidang tanah yang diklaim si pemilik asal adalah milik dia,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, Kejaksaan juga tidak melihat putusan di Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang menyatakan bahwa BNI berhak mendapatkan penjaminan atas utang-utang PT BDL berupa HGU 102. “Jika nanti dalam putusan tingkat kasasi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menyatakan tanah itu adalah milik Boy Hermansyah, maka di mana kerugian negaranya?” ujarnya

Selain itu, tiap bulan Boy Hermansyah mencicil kredit pinjamannya sebesar Rp1 miliar. Dan dakwaan jaksa yang menyebutkan ketiga terdakwa telah melanggar ketentuan BNI melalui mekanisme pemberian kredit, juga tidak bisa dibuktikan. “Dalam pengajuan permohonan kredit oleh Boy Hermansyah, persyaratan telah terpenuhi. Lantas, di mana letak pelanggarannya?” bebernya.

Sebagaimana diketahui, dalam eksepsi yang diajukan kuasa hukum tiga terdakwa, Baso Fachruddin, terungkap bahwa kasus ini lebih merupakan perkara perdata. Apalagi dengan menyimak kronologi peristiwa hal ini bisa sampai terjadi, di mana pemberian kuasa kepada Boy Hermansyah, dan kemudian mencabutnya, adalah masalah perdata.

Kasus ini terjadi setelah adanya pemberian kredit dari BNI  SKM Medan kepada PT BDKL. Di mana BNI SKM Medan terlebih dahulu memberi kredit ke PT Atakana Company Group sejak 1996, dengan jaminan kredit berupa kebun seluas 3.445 hektare sesuai Sertifikat HGU N0. 102.

Karena kredit macet tahun 2010, Bank BNI SKM Medan berupaya mengeksekusi jaminan dengan melelang agunan. Namun PT Atakana memohon agar agunan SHGU No. 102 dapat dijual di bawah tangan. Bank BNI SKM Medan setuju.

Selanjutnya, PT Atakana menggelar RUPS, dan sepakat menjual dan/atau melepaskan hak atas tanah dalam SHGU No. 102, kepada Boy Hermansyah, sekaligus untuk menyelesaikan pinjaman/hutang dan seluruh kewajiban PT Atakana kepada Bank BNI SKM Medan, serta menerima dokumen-dokumen asli SHGU No. 102.

Setelah proses jual beli beres, selanjutnya Boy Hermansyah mengajukan surat Permohonan Kredit ke Bank BNI SKM Medan, dengan total plafon sebesar Rp133 mliar. Salahsatu jaminannya adalah kebun HGU 102 (masih tercatat atas nama PT Atakana, meski telah ada sertifikat jual beli dari PT Atakana kepada Boy Hermansyah).

BNI menyetujui pinjaman Rp 129 miliar. Dari jumlah itu, yang dicairkan baru Rp117,5 miliar. Perjanjian Kredit antara Bank BNI dan PT BDL inilah yang akhirnya mendudukkan tiga pejabat BNI ke depan meja hijau. Pasalnya, salah satu dari empat pemilik saham lama PT Atakana, yakni Muhammad Aka selaku Direktur Utama, secara sepihak (tanpa persetujuan pemegang saham yang lain), mencabut kuasa yang diberikan kepada Boy Hermansyah sebagaimana keputusan RUPS.

Tidak hanya itu, Aka juga mengajukan pemblokiran atas SHGU No. 102 ke kantor BPN. Selanjutnya Aka menggugat Boy Hermansyah ke Poldasu dan Kejatisu, dengan tuduhan penggelapan dokumen pemilikan kebun PT Atakana, sebagai jaminan pinjaman ke BNI SKM Medan. Aka juga melaporkan BNI ke Kejati Sumut atas dugaan penyimpangan proses pemberian kredit BNI kepada PT.BDL.

Adapun ketiga pejabat BNI Medan yang menjadi korban kriminalisasi dalam kasus ini yakni Radiyasto selaku Pimpinan Sentra Kredit Menengah BNI Pemuda Medan, Darul Azli selaku pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan, dan Titin Indriani selaku Relationship BNI SKM Medan. Ketiganya ditetapkan sebagai tahanan kota sejak beberapa waktu lalu. (far)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/