MEDAN, SUMUTPOS.CO-Penyertaan modal sebesar Rp600 miliar dari kas pemerintah provinsi kepada PT Perkebunan ternyata masih sebatas wacana. Sebab, hingga kemarin (4/12) badan usaha milik daerah (BUMD) itu mengaku belum melakukan usulan terkait hal dimaksud.
Ketua Dewan Komisaris PT Perkebunan Provsu yang juga Asisten Ahli gubsu Bidang Ekonomi dan Administrasi Pembangunan (Ekbang) Dr. Sabrina mengatakan, adapun faktor pedorong penyertaan modal itu karena adanya perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Selain itu sebagai pengembangan perusahaan, di mana membutuhkan modal dasar perseroan senilai Rp600 miliar.
Menurutnya hal itu baru sebatas wacana. Nantinya tergantung kebutuhan perusahaan, apakah memang memerlukan dana tersebut. “Tentunya dengan mempertimbangkan aspek keuangan daerah,” ujarnya saat dihubungi Sumut Pos, Kamis (4/12).
Sabrina mengungkapkan, uang untuk penyertaan tersebut sebenarnya belum ada. Cuma kalau mau berjalan, tentu modal dasar yang dimiliki perusahaan, minimal senilai Rp600 miliar. “Dulu di AD/ART kita modalnya itu cuma Rp160 miliar. Jadi sejak peralihan dari perusahaan daerah dan PT, memerlukan perubahan modal dasar sebesar itu,” sebutnya.
Nantinya juga, sambung Sabrina, diperlukan persetujuan Gubsu untuk penyertaan modal. Namun sejauh ini, pihaknya belum melakukan pengajuan itu. Mengenai kritikan pengamat anggaran publik yang menyatakan bahwa BUMD itu belum laik diberikan penyertaan modal, dengan alasan PT Perkebunan dinilai tidak berprestasi dan terlihat indikasi manajemen yang tidak transparan, Sabrina mengatakan, hal itu adalah keliru. Dijelaskan, awalnya perusahaan mendapat uang Rp157 miliar secara bertahap. Sementara mulai dari berdiri sampai sekarang, perusahaan sudah mampu memberikan kontribusi diatas Rp140 miliar ke kas pemerintah daerah. Sedangkan untuk aset, jelasnya, PT Perkebunan memiliki jumlah ratusan juta berupa tanaman, lahan, serta aset lainnya. “Jadi setelah dikasih uang Rp157 M, kita sudah mengembalikan ke kas negara atau daerah lebih dari 10 kali, dengan cara mencicil. Di mana kurang efektifnya?” kata Sabrina. (prn/ije)
MEDAN, SUMUTPOS.CO-Penyertaan modal sebesar Rp600 miliar dari kas pemerintah provinsi kepada PT Perkebunan ternyata masih sebatas wacana. Sebab, hingga kemarin (4/12) badan usaha milik daerah (BUMD) itu mengaku belum melakukan usulan terkait hal dimaksud.
Ketua Dewan Komisaris PT Perkebunan Provsu yang juga Asisten Ahli gubsu Bidang Ekonomi dan Administrasi Pembangunan (Ekbang) Dr. Sabrina mengatakan, adapun faktor pedorong penyertaan modal itu karena adanya perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Selain itu sebagai pengembangan perusahaan, di mana membutuhkan modal dasar perseroan senilai Rp600 miliar.
Menurutnya hal itu baru sebatas wacana. Nantinya tergantung kebutuhan perusahaan, apakah memang memerlukan dana tersebut. “Tentunya dengan mempertimbangkan aspek keuangan daerah,” ujarnya saat dihubungi Sumut Pos, Kamis (4/12).
Sabrina mengungkapkan, uang untuk penyertaan tersebut sebenarnya belum ada. Cuma kalau mau berjalan, tentu modal dasar yang dimiliki perusahaan, minimal senilai Rp600 miliar. “Dulu di AD/ART kita modalnya itu cuma Rp160 miliar. Jadi sejak peralihan dari perusahaan daerah dan PT, memerlukan perubahan modal dasar sebesar itu,” sebutnya.
Nantinya juga, sambung Sabrina, diperlukan persetujuan Gubsu untuk penyertaan modal. Namun sejauh ini, pihaknya belum melakukan pengajuan itu. Mengenai kritikan pengamat anggaran publik yang menyatakan bahwa BUMD itu belum laik diberikan penyertaan modal, dengan alasan PT Perkebunan dinilai tidak berprestasi dan terlihat indikasi manajemen yang tidak transparan, Sabrina mengatakan, hal itu adalah keliru. Dijelaskan, awalnya perusahaan mendapat uang Rp157 miliar secara bertahap. Sementara mulai dari berdiri sampai sekarang, perusahaan sudah mampu memberikan kontribusi diatas Rp140 miliar ke kas pemerintah daerah. Sedangkan untuk aset, jelasnya, PT Perkebunan memiliki jumlah ratusan juta berupa tanaman, lahan, serta aset lainnya. “Jadi setelah dikasih uang Rp157 M, kita sudah mengembalikan ke kas negara atau daerah lebih dari 10 kali, dengan cara mencicil. Di mana kurang efektifnya?” kata Sabrina. (prn/ije)