26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tidak Dibayar pun Tak Apa

Menyanyi keroncong
Foto: Jawa Pos Menikmati keroncong di sebuah rumah di Jalan Westerham 15, Taringa, Kota Brisbane, Negara Bagian Queensland, Australia.

“Bengawan Solo… riwayatmu ini… Sedari dulu jadi… perhatian insani…”

Suara biduanita mengalun syahdu mendendangkan lagu Bengawan Solo. Denting dawai gitar, ukulele cak, ukulele cuk, bas betot, dan harmonika menciptakan harmoni yang menyejukkan hati. Angin yang berembus pelan malam itu menambah khidmat suasana.

Pemandangan tersebut tidak tampak di Solo, Indonesia, melainkan di sebuah rumah di Jalan Westerham 15, Taringa, Kota Brisbane, Negara Bagian Queensland, Australia. Meski begitu, nuansa nostalgia sangat terasa di rumah milik warga Indonesia yang bermukim di Negeri Kanguru tersebut.

“Menikmati musik keroncong bersama teman-teman seperantauan ini momen mahal. Kami tidak harus pulang kampung, cukup bercengkerama bersama teman-teman di sini seminggu sekali,” ujar Yosi Agustiawan, salah seorang pendiri grup Buaya Keroncong Brisbane (BKB), saat ditemui Jawa Pos (Grup Sumut Pos) di Brisbane pertengahan bulan lalu.

BKB dibentuk pada Mei 2012. Saat itu, Agustiawan yang mengikuti istrinya ke Brisbane untuk belajar bertemu dua warga Indonesia, Miftakhul Maarif dan Lulu Hendri, yang sama-sama mengikuti istri-istri mereka yang mendapat beasiswa kuliah di Brisbane.

Ketiganya seakan berjodoh karena suka bermain musik, meski alirannya berbeda-beda. Sejak duduk di bangku SMA, Agus biasa memainkan musik ska bersama rekan-rekannya, Maarif beraliran rock, dan Hendri menyenangi musik pop. Ketiganya juga masih mencari-cari pekerjaan di Brisbane sehingga memiliki banyak waktu luang.

Ada beberapa alasan akhirnya mereka menjatuhkan pilihan pada keroncong. Pertama, keroncong identik dengan Indonesia. Kedua, saat itu banyak muncul video di YouTube tentang musisi Malaysia yang membawakan lagu-lagu karya Ismail Marzuki, namun tidak pernah menyebut bahwa lagu itu berasal dari Indonesia.

“Kami prihatin, jangan sampai nanti dunia tahunya keroncong itu dari Malaysia,” tegas mantan dosen dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang tersebut.

Karena itulah, BKB mengusung slogan A cultural diplomacy to save our keroncong (Diplomasi budaya untuk menyelamatkan keroncong kita). Nah, nama Buaya Keroncong dipilih karena terinspirasi para maestro keroncong seperti Gesang dan Mus Mulyadi yang biasa disebut buaya keroncong Indonesia.

Ada satu pertimbangan teknis yang juga menjadi alasan pemilihan keroncong. Yakni, musik tersebut tidak menggunakan drum. Itu penting karena aktivitas bermusik mereka dilakukan di permukiman penduduk sehingga rawan diprotes jika berisik.

“Formasi awalnya, Mas Maarif pegang gitar dan harmonika, saya bas betot, Mas Hendri cuk, dan satu lagi Mas Anam pegang cak. Vokalisnya belum ada. Jadi, kami sendiri yang nyanyi sekenanya,” ucap Agus lantas tertawa.

Formasi BKB menjadi lengkap dengan bergabungnya Sri Muniroh, dosen sastra Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, yang tengah menempuh pendidikan S-3 di University of Queensland. Klop. Sebab, sejak di Indonesia, Muniroh gemar mendendangkan lagu-lagu keroncong.

“Uniknya, kami ternyata dulu sama-sama kuliah di UNS (Universitas Sebelas Maret Solo) pada 1980-an, tapi tidak pernah kenal. Di sini (Brisbane, Red)-lah kami akhirnya saling kenal,” kenangnya.

Waktu berlalu, aktivitas BKB pun tersiar dari mulut ke mulut. Setiap berlatih pada malam Minggu, makin banyak WNI yang datang untuk sekadar berkumpul dan menikmati syahdunya irama keroncong. Sampai akhirnya, BKB diundang Kedutaan Besar Indonesia di Australia untuk menyambut duta besar RI yang baru, Nadjib Riphat Kesoema, akhir November 2012.

Itu merupakan konser pertama BKB. Bertempat di auditorium High State School Indooroopilly Brisbane, BKB dengan formasi Agus, Maarif, Hendri, Anam, dan Muniroh tampil di hadapan ratusan WNI. Mereka membawakan dua lagu, Bengawan Solo dan Lenggang Surabaya. Dua lagu andalan BKB itu juga menjadi favorit WNI di Australia.

“Waktu itu grogi juga. Sebab, meski nge-band sejak SMA, saya tidak pernah manggung ditonton banyak orang,” ujar Agus lantas tersenyum lebar.

Grogi itu berubah menjadi gugup ketika para WNI makin antusias dan me-request berbagai lagu keroncong lainnya. Bahkan, Dubes Nadjib bermaksud menyumbangkan lagu diiringi BKB. Masalahnya, mereka baru menguasi dua lagu itu: Bengawan Solo dan Lenggang Surabaya. Lagu lainnya belum sempurna dimainkan. “Untuk beberapa lagu lainnya, kunci (chord)-nya masih sering lupa,” katanya.

Akhirnya, para pemain lain pun lebih banyak mengikuti aba-aba Maarif. Di antara para pemain BKB, Maarif memang yang paling jago bermusik. Mantan dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu pernah ikut grup musik gamelan Kyai Kanjeng Jogjakarta pimpinan Emha Ainun Nadjib serta ikut mendirikan kelompok Suku Apakah, cikal bakal grup musik lawak Teamlo Solo. Di Brisbane, Maarif juga berprofesi pemusik di beberapa kafe.

Saking antusiasnya penonton, cerita Agus, pentas malam itu terpaksa dihentikan karena jam sewa gedung dan sound system-nya sudah habis. Padahal, masih banyak WNI yang ingin bernyanyi atau menyaksikan permainan musik BKB.

“Meski pada manggung pertama itu tidak dibayar, kami benar-benar puas dan bangga. Musik keroncong masih punya tempat di hati warga Indonesia di perantauan,” tegasnya.

Setelah manggung pertama itu, nama BKB kian dikenal. Makin banyak pula WNI yang bergabung sehingga formasi grup beberapa kali berganti. Sebab, ada personel yang kembali ke tanah air setelah istrinya menyelesaikan kuliah di Australia.

Saat ini, personel lengkap BKB adalah Miftakhul Maarif (gitar dan harmonika), Yosi Agustiawan (bas betot), Lulu Hendri (cuk), Sugeng Budiharta (bas), Harry Baskhara (gitar), dan Johan Ramadian (bas). Vokalisnya adalah Sri Muniroh, Trimulyani Sunarharum, dan Constantinus Wahju Prijonggo.

Mereka didukung trio backing vocal Yulina Eva Riany, Sovia Sitta Sari Maarif, dan Uswatun Qoyimah. Mereka juga punya manajer, Ahmad Khairul Umam. Profesi keseharian mereka beragam. Sebagian besar adalah dosen dan mahasiswa S-3 program doktoral. Tapi, ada pula fotografer, peneliti, serta jurnalis.

Alat musik mereka juga kian komplet. Beberapa di antaranya langsung dibeli di Indonesia karena harganya jauh lebih murah daripada di Australia. Ada pula alat musik yang harus dipesan secara khusus di Indonesia. Misalnya, bas betot. Untuk membawanya ke Australia, Agus terpaksa membeli tiket satu kursi pesawat. “Harga tiket pesawatnya lebih mahal dibanding harga bas betotnya,” tuturnya.

Bukan hanya alat musik, sound system mereka juga kian lengkap. Kini BKB mempunyai mixer, power 1.000 watt, equalizer, effect vocal, powered speaker, powered subwoofer, dan wireless microphone. Total, mereka mengeluarkan lebih dari 7.000 dolar Australia (Rp70 juta) untuk membeli perlengkapan musik keroncong BKB.

Menurut Manajer BKB Ahmad Khairul Umam, setelah tampil perdana, berbagai tawaran manggung terus berdatangan. Mulai peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, halalbihalal, acara-acara keluarga WNI, acara kampus, bahkan beberapa kali diundang dalam acara keluarga warga Australia yang pernah tinggal di Indonesia. BKB juga beberapa kali tampil dalam festival seni yang diadakan pemerintah Australia seperti Ind-Oz maupun East West International Music.

“Kadang kami dibayar 150 dolar, kadang 400 dolar, kadang juga gratisan. Kalau dibayar, uangnya untuk beli perlengkapan alat musik atau barbeque-an bareng-bareng. Yang penting hobi tersalurkan dan stres hilang,” ucap kandidat doktor ilmu politik di University of Queensland tersebut lantas tertawa.

Gitaris BKB Harry Bhaskara menambahkan, BKB bukan hanya media penyalur hobi, tapi sudah menjadi sebuah keluarga bagi para personel. Mendengar musik keroncong di negeri orang, kata jurnalis senior Jakarta Post di Brisbane itu, selalu memantik emosi, nostalgia, serta rindu bercampur jadi satu.

“Rasanya wah banget. Saat berkumpul dengan teman-teman, rasa kangen langsung terobati,” tandasnya. (*/c5/ari/jpnn/tom)

Menyanyi keroncong
Foto: Jawa Pos Menikmati keroncong di sebuah rumah di Jalan Westerham 15, Taringa, Kota Brisbane, Negara Bagian Queensland, Australia.

“Bengawan Solo… riwayatmu ini… Sedari dulu jadi… perhatian insani…”

Suara biduanita mengalun syahdu mendendangkan lagu Bengawan Solo. Denting dawai gitar, ukulele cak, ukulele cuk, bas betot, dan harmonika menciptakan harmoni yang menyejukkan hati. Angin yang berembus pelan malam itu menambah khidmat suasana.

Pemandangan tersebut tidak tampak di Solo, Indonesia, melainkan di sebuah rumah di Jalan Westerham 15, Taringa, Kota Brisbane, Negara Bagian Queensland, Australia. Meski begitu, nuansa nostalgia sangat terasa di rumah milik warga Indonesia yang bermukim di Negeri Kanguru tersebut.

“Menikmati musik keroncong bersama teman-teman seperantauan ini momen mahal. Kami tidak harus pulang kampung, cukup bercengkerama bersama teman-teman di sini seminggu sekali,” ujar Yosi Agustiawan, salah seorang pendiri grup Buaya Keroncong Brisbane (BKB), saat ditemui Jawa Pos (Grup Sumut Pos) di Brisbane pertengahan bulan lalu.

BKB dibentuk pada Mei 2012. Saat itu, Agustiawan yang mengikuti istrinya ke Brisbane untuk belajar bertemu dua warga Indonesia, Miftakhul Maarif dan Lulu Hendri, yang sama-sama mengikuti istri-istri mereka yang mendapat beasiswa kuliah di Brisbane.

Ketiganya seakan berjodoh karena suka bermain musik, meski alirannya berbeda-beda. Sejak duduk di bangku SMA, Agus biasa memainkan musik ska bersama rekan-rekannya, Maarif beraliran rock, dan Hendri menyenangi musik pop. Ketiganya juga masih mencari-cari pekerjaan di Brisbane sehingga memiliki banyak waktu luang.

Ada beberapa alasan akhirnya mereka menjatuhkan pilihan pada keroncong. Pertama, keroncong identik dengan Indonesia. Kedua, saat itu banyak muncul video di YouTube tentang musisi Malaysia yang membawakan lagu-lagu karya Ismail Marzuki, namun tidak pernah menyebut bahwa lagu itu berasal dari Indonesia.

“Kami prihatin, jangan sampai nanti dunia tahunya keroncong itu dari Malaysia,” tegas mantan dosen dan pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang tersebut.

Karena itulah, BKB mengusung slogan A cultural diplomacy to save our keroncong (Diplomasi budaya untuk menyelamatkan keroncong kita). Nah, nama Buaya Keroncong dipilih karena terinspirasi para maestro keroncong seperti Gesang dan Mus Mulyadi yang biasa disebut buaya keroncong Indonesia.

Ada satu pertimbangan teknis yang juga menjadi alasan pemilihan keroncong. Yakni, musik tersebut tidak menggunakan drum. Itu penting karena aktivitas bermusik mereka dilakukan di permukiman penduduk sehingga rawan diprotes jika berisik.

“Formasi awalnya, Mas Maarif pegang gitar dan harmonika, saya bas betot, Mas Hendri cuk, dan satu lagi Mas Anam pegang cak. Vokalisnya belum ada. Jadi, kami sendiri yang nyanyi sekenanya,” ucap Agus lantas tertawa.

Formasi BKB menjadi lengkap dengan bergabungnya Sri Muniroh, dosen sastra Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, yang tengah menempuh pendidikan S-3 di University of Queensland. Klop. Sebab, sejak di Indonesia, Muniroh gemar mendendangkan lagu-lagu keroncong.

“Uniknya, kami ternyata dulu sama-sama kuliah di UNS (Universitas Sebelas Maret Solo) pada 1980-an, tapi tidak pernah kenal. Di sini (Brisbane, Red)-lah kami akhirnya saling kenal,” kenangnya.

Waktu berlalu, aktivitas BKB pun tersiar dari mulut ke mulut. Setiap berlatih pada malam Minggu, makin banyak WNI yang datang untuk sekadar berkumpul dan menikmati syahdunya irama keroncong. Sampai akhirnya, BKB diundang Kedutaan Besar Indonesia di Australia untuk menyambut duta besar RI yang baru, Nadjib Riphat Kesoema, akhir November 2012.

Itu merupakan konser pertama BKB. Bertempat di auditorium High State School Indooroopilly Brisbane, BKB dengan formasi Agus, Maarif, Hendri, Anam, dan Muniroh tampil di hadapan ratusan WNI. Mereka membawakan dua lagu, Bengawan Solo dan Lenggang Surabaya. Dua lagu andalan BKB itu juga menjadi favorit WNI di Australia.

“Waktu itu grogi juga. Sebab, meski nge-band sejak SMA, saya tidak pernah manggung ditonton banyak orang,” ujar Agus lantas tersenyum lebar.

Grogi itu berubah menjadi gugup ketika para WNI makin antusias dan me-request berbagai lagu keroncong lainnya. Bahkan, Dubes Nadjib bermaksud menyumbangkan lagu diiringi BKB. Masalahnya, mereka baru menguasi dua lagu itu: Bengawan Solo dan Lenggang Surabaya. Lagu lainnya belum sempurna dimainkan. “Untuk beberapa lagu lainnya, kunci (chord)-nya masih sering lupa,” katanya.

Akhirnya, para pemain lain pun lebih banyak mengikuti aba-aba Maarif. Di antara para pemain BKB, Maarif memang yang paling jago bermusik. Mantan dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu pernah ikut grup musik gamelan Kyai Kanjeng Jogjakarta pimpinan Emha Ainun Nadjib serta ikut mendirikan kelompok Suku Apakah, cikal bakal grup musik lawak Teamlo Solo. Di Brisbane, Maarif juga berprofesi pemusik di beberapa kafe.

Saking antusiasnya penonton, cerita Agus, pentas malam itu terpaksa dihentikan karena jam sewa gedung dan sound system-nya sudah habis. Padahal, masih banyak WNI yang ingin bernyanyi atau menyaksikan permainan musik BKB.

“Meski pada manggung pertama itu tidak dibayar, kami benar-benar puas dan bangga. Musik keroncong masih punya tempat di hati warga Indonesia di perantauan,” tegasnya.

Setelah manggung pertama itu, nama BKB kian dikenal. Makin banyak pula WNI yang bergabung sehingga formasi grup beberapa kali berganti. Sebab, ada personel yang kembali ke tanah air setelah istrinya menyelesaikan kuliah di Australia.

Saat ini, personel lengkap BKB adalah Miftakhul Maarif (gitar dan harmonika), Yosi Agustiawan (bas betot), Lulu Hendri (cuk), Sugeng Budiharta (bas), Harry Baskhara (gitar), dan Johan Ramadian (bas). Vokalisnya adalah Sri Muniroh, Trimulyani Sunarharum, dan Constantinus Wahju Prijonggo.

Mereka didukung trio backing vocal Yulina Eva Riany, Sovia Sitta Sari Maarif, dan Uswatun Qoyimah. Mereka juga punya manajer, Ahmad Khairul Umam. Profesi keseharian mereka beragam. Sebagian besar adalah dosen dan mahasiswa S-3 program doktoral. Tapi, ada pula fotografer, peneliti, serta jurnalis.

Alat musik mereka juga kian komplet. Beberapa di antaranya langsung dibeli di Indonesia karena harganya jauh lebih murah daripada di Australia. Ada pula alat musik yang harus dipesan secara khusus di Indonesia. Misalnya, bas betot. Untuk membawanya ke Australia, Agus terpaksa membeli tiket satu kursi pesawat. “Harga tiket pesawatnya lebih mahal dibanding harga bas betotnya,” tuturnya.

Bukan hanya alat musik, sound system mereka juga kian lengkap. Kini BKB mempunyai mixer, power 1.000 watt, equalizer, effect vocal, powered speaker, powered subwoofer, dan wireless microphone. Total, mereka mengeluarkan lebih dari 7.000 dolar Australia (Rp70 juta) untuk membeli perlengkapan musik keroncong BKB.

Menurut Manajer BKB Ahmad Khairul Umam, setelah tampil perdana, berbagai tawaran manggung terus berdatangan. Mulai peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, halalbihalal, acara-acara keluarga WNI, acara kampus, bahkan beberapa kali diundang dalam acara keluarga warga Australia yang pernah tinggal di Indonesia. BKB juga beberapa kali tampil dalam festival seni yang diadakan pemerintah Australia seperti Ind-Oz maupun East West International Music.

“Kadang kami dibayar 150 dolar, kadang 400 dolar, kadang juga gratisan. Kalau dibayar, uangnya untuk beli perlengkapan alat musik atau barbeque-an bareng-bareng. Yang penting hobi tersalurkan dan stres hilang,” ucap kandidat doktor ilmu politik di University of Queensland tersebut lantas tertawa.

Gitaris BKB Harry Bhaskara menambahkan, BKB bukan hanya media penyalur hobi, tapi sudah menjadi sebuah keluarga bagi para personel. Mendengar musik keroncong di negeri orang, kata jurnalis senior Jakarta Post di Brisbane itu, selalu memantik emosi, nostalgia, serta rindu bercampur jadi satu.

“Rasanya wah banget. Saat berkumpul dengan teman-teman, rasa kangen langsung terobati,” tandasnya. (*/c5/ari/jpnn/tom)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/