MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sudah berupaya maksimal menindaklanjuti pengganti alat tangkap bagi nelayan di Sumut ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Bahkan sudah punya solusinya.
Solusinya, pada tahun anggaran 2019 pemprovsu telah mengalokasikan anggaran senilai Rp4 miliar untuk itu. Dengan anggaran segitu, Pemprovsu menghitung dapat memberikan bantuan alat tangkap untuk 569 nelayan di pantai timur dan pantai barat di Sumut.
“Memang baru sekitar 569 nelayan yang tercover untuk bantuan alat tangkap dari 4 ribuan nelayan yang ada. Karena dana yang baru ditampung Rp4 miliar di APBD tahun 2019, dan kita sudah anggarkan waktu pembahasan bersama Badan Anggaran DPRD Sumut lalu,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumut, Mulyadi Simatupang menjawab Sumut Pos, Senin (3/12).
Menurutnya, bantuan alat tangkap ikan untuk nelayan di akibat dampak pelarangan trawl memang baru bisa dianggarkan pada 2019. Sebab, sebelumnya Pemprovsu masih menunggu kebijakan atas regulasi tersebut. Bahkan, pihaknya juga sudah mengusulkan agar pusat memberi dana saja, namun itu juga belum terealisasi. Sepanjang 2018 pihaknya ada juga memberikan bantuan alat tangkap ikan yang dialokasikan pada kelompok masyarakat di mana nelayan yang membutuhkan alat tangkap. Jadi bukan bantuan kepada nelayan terkena dampak pelarangan trawl.
“Maka itu bantuan ditahun depan sasaran kita bukan hanya kelompok-kelompok tapi perorangan dan nanti kita juga akan meminta ada SK dari kepala daerah setempat untuk memberikan bantuan alat tangkap ikan berupa gilnet yang memang secara umum selalu dipakai nelayan. Dimana satu set gilnet seharga Rp 7,5 juta untuk dipakai satu kapal berukuran dibawah 5 GT,” paparnya.
Menurutnya, sejak pemberlakuan Permen KP 71/2016 tentang larangan pukat trawl yang cukup pelik dihadapi kaum nelayan hingga kini. Di mana, hingga tiga tahun ini, belum ada realisasi mengenai alat tangkap pengganti tersebut kepada nelayan yang diberikan ke Sumut.
“Melalui sekretaris daerah dan gubernur, kami sudah sering surati KKP untuk pengganti alat tangkap tersebut. Namun jawaban mereka masih sedang mengupayakan. Alasan paling mendasar, kriteria yang diberikan ke daerah untuk (pengganti alat tangkap) itu karena belum cocok dengan karakteristik daerah masing-masing,” ujar Mulyadi.
Dia mengatakan, alat tangkap nelayan di Indonesia itu berbeda-beda. Di mana, ada yang spesial menangkap ikan gembung atau ikan senangin dan jenis ikan lainnya. Mata jaring dari masing-masing alat tangkap ini yang disampaikan ke pusat, lalu setelah direkomendasikan ke daerah ternyata daerah menolak karena alat tersebut tidak cocok.
“Kendalanya di sini. Makanya kami kemarin mengusulkan bahwa pusat (KKP) cukup memberi dana untuk alat tangkap itu dan diserahkan ke daerah untuk implementasinya. Sehingga, kalau ada demo kalangan nelayan soal ini, kami hanya bisa memberi solusi untuk mengusulkan permintaan pengganti alat tangkap. Karena kami tidak mungkin mengizinkan trawl beroperasi sebab itu bertentangan dengan Permen KP 71/2016,” pungkasnya.
Sementara itu, Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Drs Agus Andrianto, SH, mengatakan, peraturan yang dikeluarkan menteri kelautan dan perikanan harus ditegakkan, sesuai dengan perintah Bapak Kapolri bagi nelayan yang menggunakan alat tangkap terlarang tidak diproses hukum. Namun, alat tangkapnya akan disita.
Dengan harapan, nelayan modern dapat segera melakukan pergantian alat tangkap. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan kabupaten dan kota serta kapolres yang masyarakatnya di wilayah perairan untuk mengalokasi anggaran dan mendorong melalui dana CSR.
“Bila alat tangkap pengganti ini sudah diterapkan, maka tidak mengganggu biota laut dan ekosistem yang ada di laut. Harapannya ini segera dilaksanakan kabupaten atau kota menerapkan alat tangkap pengganti,” kata kapolda saat menghadiri HUT Polair ke – 68 tahun.
Disingggung apakah tidak ada dispensasi bagi alat tangkap yang dilarang dari Permen KP 71/2016 diperbolehkan melaut sebelum dikeluarkan alat tangkap pengganti, Agus mengatakan, untuk Sumatera Utara tidak akan diberikan toleransi bagi nelayan, akan dikhawatirkan terjadinya berlawanan di masyarakat.
“Intinya, untuk tidak memproses hukum sesuai dengan wewenang pimpinan bisa kita lakukan dengan melakukan pembinaan kepada nelayan. Makanya, kita terus mendorong kepada kabupaten/kota, untuk mensegerakan pergantian alat tangkap,” tegas Agus.
Ketua Assosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB), M Gultom, mengatakan, kebijakan pemerintah mengatur tentang larangan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik yang tertuang dalam Permen KP 71/2016, sangat merugikan segala sektor di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB).
Selama tiga bulan belakangan, sebanyak 70 persen kapal ikan tidak boleh lagi melaut. Sehingga, ribuan nelayan dan karyawan dari perusahaan pendukung di Gabion Belawan dirumahkan atau menganggur.
Pengaruh itu, berdampak keterpurukan secara ekonomi dialami para pengusaha, nelayan dan pekerja yang ada di Gabion Belawan serta pendapatan asli daerah (PAD) dari hasil pungutan hasil perikanan.
“Kita bukan tidak mendukung aturan Permen KP 71/2016, tapi kenapa sampai saat ini pengganti alat tangkap larangan itu belum juga dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Sehingga, banyak yang dirugikan, seharusnya pemerintah pusat memberikan toleransi. Penegakan aturan itu harus dilaksnakan penegak hukum khusunya polisi, tapi harusnya kami diberikan kelonggaran untuk melaut, sebelum alat tangkap pengganti diterbitkan,” pinta M Gultom. (prn/fac/ila)