25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Orangutan Kok Hidup di Kota

Kecintaan berlebihan dan rasa ingin memiliki orangutan hingga memeliharanya secara ilegal, menerbitkan keprihatinan pemerhati lingkungan.

DIRAWAT: Ekspresi seekor orangutan  diberi nama Gokong Puntung  usia 6 bulan beranjak sehat usai dirawat  ruangan khusus observasi orangutan Stasiun Karantina Batumbelin-Sibolangit, Selasa (5/3). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
DIRAWAT: Ekspresi seekor orangutan yang diberi nama Gokong Puntung dengan usia 6 bulan beranjak sehat usai dirawat di ruangan khusus observasi orangutan Stasiun Karantina Batumbelin-Sibolangit, Selasa (5/3). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

SIBOLANGIT-  Pasalnya, meski dipelihara secara baik, tetap saja binatang asli Pulau Sumatera dan Kalimantan itu tidak bisa hidup normal. Berada jauh dari habitatnya mempercepat proses kepunahan kelangsungan hewan yang dilindungi tersebut.

Itulah yang menjadi dasar Program Konservasi Orangutan Sumatera, Stasiun Karantina Orangutan Betumbelin Sibolangit mengkarantina orangutan. Di tempat konservasi itu telah berdiri sejak 2001 ini, orang-utan disembuhkan agar mampu bertahan saat dilepaskan kembali ke alam liar.
Menurut pengawas di program konservasi orangutan di Sibolangit, Ian Singleton PhD, saat ini ada 46 ekor orangutan di Stasiun Karantina Orangutan Betumbelin Sibolangit.

“Semua orangutan di sini hasil sitaan dari rakyat yang dipelihara secara ilegal karena bertentangan dengan undang-undang. Hewan ini termasuk hewan yang dilindungi sama seperti harimau dan badak,” papar pria kelahiran Kota Hull, Propinsi Yorkshire, Inggris pada 1966 ini.

Sementara ini, ada tiga ekor orangutan yang mungkin tidak bisa dilepaskan ke alam liar karena menderita penyakit. Satu ekor positif hepatitis walau tidak ada symptom penyakit sedangkan satu ekor lainnya menderita penyakit berat.

Pria yang mengawali karirnya sebagai perawat satwa untuk beberapa spesies yang berbeda di Kebun Binatang Whipsnade dan Kebun Binatang Edinburgh ini mengungkapkan, orangutan hasil sitaan selama beberapa tahun terakhir di seluruh Indonesia telah mencapai jumlah 2.800 ekor. “Lokasinya tersebar di berbagai kawasan di Indonesia.” katanya.

Ia menyayangkan lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku pemelihara orangutan tersebut, ditambah lagi lambannya proses dan penegakan hukum.

“Menariknya, kebanyakan orangutan ini dipelihara orang-orang di kota karena memang biaya untuk memberi makannya sangatlah mahal. Rata-rata yang memeliharanya adalah pejabat, kaum birokrat, bisnisman maupun pengusaha,” bebernya.

Untuk tahap pertama semua Orangutan yang disita ini dimasukkan terlebih dahulu ke kandang isolasi selama beberapa hari. Setelah tidak ditemukan tanda-tanda penyakit berbahaya, barulah digabungkan bersama orangutan lain yang telah disita sebelumnya.

Rata-rata orangutan menghabiskan waktu selama enam bulan hingga satu setengah tahun di pusat konservasi tersebut untuk menjalani perawatan maupun proses pengenalan terhadap habitat aslinya. Selain itu mereka juga menghabiskan makanan sebanyak 3-5 kg dalam seharinya.
Untuk urusan penyediaan makanan, pihak konservasi terbantu berkat sumbangan para petani pemilik lahan di sekitar konservasi.

Ian Singleton menjadi spesialis orangutan ketika pindah tugas ke Kebun Binatang Jersey di kepulauan British Channel Islands pada 1989.
Sebagai seorang peneliti, ia berulang kali mengunjungi Indonesia untuk mempelajari lebih mendalam mengenai orangutan liar sampai akhirnya meninggalkan Jersey pada 1996 untuk memulai studi PhD (doktoral) mengenai perilaku (ranging behaviour) orangutan di hutan rawa gambut Suaq Balimbing, di Taman Nasional Gunung Leuser.

Setelah menyelesaikan tesisnya, pada 2001 ia bergabung dengan Yayasan PanEco, yang berbasis di Swiss, dan Yayasan Ekosistem Lestari, untuk mendirikan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP).

Saat ini Ian terus disibukkan dengan recovery orangutan hasil sitaan untuk direintroduksi ke kehidupan liar di alam bebas. Selain itu, dia juga mengurus aktivitas penelitian lapangan dan pemantauan populasi liar orangutan Sumatera yang tersisa, dan mengupayakan perlindungan habitat mereka. (mag-14)

Kecintaan berlebihan dan rasa ingin memiliki orangutan hingga memeliharanya secara ilegal, menerbitkan keprihatinan pemerhati lingkungan.

DIRAWAT: Ekspresi seekor orangutan  diberi nama Gokong Puntung  usia 6 bulan beranjak sehat usai dirawat  ruangan khusus observasi orangutan Stasiun Karantina Batumbelin-Sibolangit, Selasa (5/3). //AMINOER RASYID/SUMUT POS
DIRAWAT: Ekspresi seekor orangutan yang diberi nama Gokong Puntung dengan usia 6 bulan beranjak sehat usai dirawat di ruangan khusus observasi orangutan Stasiun Karantina Batumbelin-Sibolangit, Selasa (5/3). //AMINOER RASYID/SUMUT POS

SIBOLANGIT-  Pasalnya, meski dipelihara secara baik, tetap saja binatang asli Pulau Sumatera dan Kalimantan itu tidak bisa hidup normal. Berada jauh dari habitatnya mempercepat proses kepunahan kelangsungan hewan yang dilindungi tersebut.

Itulah yang menjadi dasar Program Konservasi Orangutan Sumatera, Stasiun Karantina Orangutan Betumbelin Sibolangit mengkarantina orangutan. Di tempat konservasi itu telah berdiri sejak 2001 ini, orang-utan disembuhkan agar mampu bertahan saat dilepaskan kembali ke alam liar.
Menurut pengawas di program konservasi orangutan di Sibolangit, Ian Singleton PhD, saat ini ada 46 ekor orangutan di Stasiun Karantina Orangutan Betumbelin Sibolangit.

“Semua orangutan di sini hasil sitaan dari rakyat yang dipelihara secara ilegal karena bertentangan dengan undang-undang. Hewan ini termasuk hewan yang dilindungi sama seperti harimau dan badak,” papar pria kelahiran Kota Hull, Propinsi Yorkshire, Inggris pada 1966 ini.

Sementara ini, ada tiga ekor orangutan yang mungkin tidak bisa dilepaskan ke alam liar karena menderita penyakit. Satu ekor positif hepatitis walau tidak ada symptom penyakit sedangkan satu ekor lainnya menderita penyakit berat.

Pria yang mengawali karirnya sebagai perawat satwa untuk beberapa spesies yang berbeda di Kebun Binatang Whipsnade dan Kebun Binatang Edinburgh ini mengungkapkan, orangutan hasil sitaan selama beberapa tahun terakhir di seluruh Indonesia telah mencapai jumlah 2.800 ekor. “Lokasinya tersebar di berbagai kawasan di Indonesia.” katanya.

Ia menyayangkan lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku pemelihara orangutan tersebut, ditambah lagi lambannya proses dan penegakan hukum.

“Menariknya, kebanyakan orangutan ini dipelihara orang-orang di kota karena memang biaya untuk memberi makannya sangatlah mahal. Rata-rata yang memeliharanya adalah pejabat, kaum birokrat, bisnisman maupun pengusaha,” bebernya.

Untuk tahap pertama semua Orangutan yang disita ini dimasukkan terlebih dahulu ke kandang isolasi selama beberapa hari. Setelah tidak ditemukan tanda-tanda penyakit berbahaya, barulah digabungkan bersama orangutan lain yang telah disita sebelumnya.

Rata-rata orangutan menghabiskan waktu selama enam bulan hingga satu setengah tahun di pusat konservasi tersebut untuk menjalani perawatan maupun proses pengenalan terhadap habitat aslinya. Selain itu mereka juga menghabiskan makanan sebanyak 3-5 kg dalam seharinya.
Untuk urusan penyediaan makanan, pihak konservasi terbantu berkat sumbangan para petani pemilik lahan di sekitar konservasi.

Ian Singleton menjadi spesialis orangutan ketika pindah tugas ke Kebun Binatang Jersey di kepulauan British Channel Islands pada 1989.
Sebagai seorang peneliti, ia berulang kali mengunjungi Indonesia untuk mempelajari lebih mendalam mengenai orangutan liar sampai akhirnya meninggalkan Jersey pada 1996 untuk memulai studi PhD (doktoral) mengenai perilaku (ranging behaviour) orangutan di hutan rawa gambut Suaq Balimbing, di Taman Nasional Gunung Leuser.

Setelah menyelesaikan tesisnya, pada 2001 ia bergabung dengan Yayasan PanEco, yang berbasis di Swiss, dan Yayasan Ekosistem Lestari, untuk mendirikan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP).

Saat ini Ian terus disibukkan dengan recovery orangutan hasil sitaan untuk direintroduksi ke kehidupan liar di alam bebas. Selain itu, dia juga mengurus aktivitas penelitian lapangan dan pemantauan populasi liar orangutan Sumatera yang tersisa, dan mengupayakan perlindungan habitat mereka. (mag-14)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/