27 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Sulitnya Dapatkan Kemiri dan Daun Salam

Potensi makanan Indonesia di Filipina sangat bagus. Tidak sepeti restoran Jepang yang ada di mana-mana. Untuk mendapat pasar orang Filipina, dia sengaja tidak menyajikan makanan terlalu pedas. Maklum, Filipino (sebutan orang Filipina) tidak terlalu suka spicy food. Setiap hari, dia mengaku, ratusan porsi bisa dijual.

Sekitar 10 km dari Makati, tepatnya di Kota Pasig, ada pula restoran yang menyajikan makanan Indonesia. Namanya Warung Kapitolyo. Kapitolyo tidak merefleksikan nama pemilik atau mewakili Indonesia, tapi merupakan salah satu area di Pasig. Lokasi tersebut dikenal sebagai kawasan kuliner.

Tempat makan itu dikelola dua perempuan paro baya. Mereka akrab disapa Miss Louh dan kakaknya, Tess. Saat berbincang di Indonesian Food Festival 2016, Louh fasih berbahasa Indonesia karena 28 tahun tinggal di Jakarta bersama suami dan disusul kakaknya beberapa tahun kemudian.

Dulu mereka punya bisnis konfeksi di ibu kota. Lama tinggal di Jakarta membuat kedua perempuan itu mencintai masakan Indonesia. Kebetulan, mereka memang suka memasak sehingga sering mencoba aneka kuliner Indonesia. Hingga pada 2008, saat kembali ke Filipina, dia memutuskan untuk menjual masakan Indonesia.

“Selama delapan tahun, kami jualan di Legazpi Sunday Marketi,” kata Louh sambil sesekali mengaduk nasi gorengnya.

Pasar yang ada setiap Minggu itu berada di Makati. Jadi, dia memang harus bolak-balik untuk berjualan. Ternyata, banyak orang Filipina yang suka masakannya.

Ibu yang tiga anaknya bersekolah di Jakarta International School (JIS) Jakarta itu tentu makin bersemangat berjualan. Supaya orang-orang suka masakannya, dia tidak mengurangi bumbu masakannya. Louh juga mengaku sebisa-bisanya mempertahankan komposisi bumbu seperti aslinya.

Misalnya, cabai dan kemiri yang disebut dari asalnya, yakni Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan Warung Kapitolyo, mereka juga sempat menanam kemiri dan daun salam. Bumbu disebutnya menjadi kunci masakan Indonesia bisa menjadi so yummy.

“Di tempat kami, segala masakan Indonesia ada lho,” katanya bangga.

Dia lantas menghentikan aktivitasnya untuk melayani pelanggan dan mulai menghitung. Kemudian, dia menyebut aneka makanan seperti ayam kremes, martabak manis, gulai kepala ikan, sampai beef rendang.

”Supaya rasanya tetap terjaga, kami juga punya konsultan makanan dari Pasuruan,” ucapnya.

Louh adalah tipikal perempuan yang bersemangat dan lincah. Saat berjualan, dia tidak capek untuk berpindah melayani satu pembeli ke pembeli lain. Bisa berbahasa Tagalog, Inggris, dan Indonesia membuatnya makin atraktif saat berjualan. ’’Oh, Anda orang Indonesia. Coba sate, Pak,’’ ujarnya.

Meski demikian, sama dengan Mariana, masakan yang disajikan aslinya tidak pedas. Tapi, bagi yang suka spicy food, sambalnya selalu disajikan secara terpisah. Saat itu, dia tiba-tiba menghentikan ceritanya karena teringat sesuatu. ’’Kami juga bisa membuat tempe sendiri,’’ katanya, lantas tertawa.

Bukti banyaknya Filipino yang suka makanan Indonesia terlihat dari pesatnya penjualan. Perempuan 57 tahun itu memang tidak menyebut nominal pendapatannya. Namun, dia mengaku sejak beberapa bulan lalu punya tempat permanen untuk berjualan di Kapitolyo, Pasig. ’’Dari Mei tahun ini,’’ katanya. (*/c5/sof)

Potensi makanan Indonesia di Filipina sangat bagus. Tidak sepeti restoran Jepang yang ada di mana-mana. Untuk mendapat pasar orang Filipina, dia sengaja tidak menyajikan makanan terlalu pedas. Maklum, Filipino (sebutan orang Filipina) tidak terlalu suka spicy food. Setiap hari, dia mengaku, ratusan porsi bisa dijual.

Sekitar 10 km dari Makati, tepatnya di Kota Pasig, ada pula restoran yang menyajikan makanan Indonesia. Namanya Warung Kapitolyo. Kapitolyo tidak merefleksikan nama pemilik atau mewakili Indonesia, tapi merupakan salah satu area di Pasig. Lokasi tersebut dikenal sebagai kawasan kuliner.

Tempat makan itu dikelola dua perempuan paro baya. Mereka akrab disapa Miss Louh dan kakaknya, Tess. Saat berbincang di Indonesian Food Festival 2016, Louh fasih berbahasa Indonesia karena 28 tahun tinggal di Jakarta bersama suami dan disusul kakaknya beberapa tahun kemudian.

Dulu mereka punya bisnis konfeksi di ibu kota. Lama tinggal di Jakarta membuat kedua perempuan itu mencintai masakan Indonesia. Kebetulan, mereka memang suka memasak sehingga sering mencoba aneka kuliner Indonesia. Hingga pada 2008, saat kembali ke Filipina, dia memutuskan untuk menjual masakan Indonesia.

“Selama delapan tahun, kami jualan di Legazpi Sunday Marketi,” kata Louh sambil sesekali mengaduk nasi gorengnya.

Pasar yang ada setiap Minggu itu berada di Makati. Jadi, dia memang harus bolak-balik untuk berjualan. Ternyata, banyak orang Filipina yang suka masakannya.

Ibu yang tiga anaknya bersekolah di Jakarta International School (JIS) Jakarta itu tentu makin bersemangat berjualan. Supaya orang-orang suka masakannya, dia tidak mengurangi bumbu masakannya. Louh juga mengaku sebisa-bisanya mempertahankan komposisi bumbu seperti aslinya.

Misalnya, cabai dan kemiri yang disebut dari asalnya, yakni Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan Warung Kapitolyo, mereka juga sempat menanam kemiri dan daun salam. Bumbu disebutnya menjadi kunci masakan Indonesia bisa menjadi so yummy.

“Di tempat kami, segala masakan Indonesia ada lho,” katanya bangga.

Dia lantas menghentikan aktivitasnya untuk melayani pelanggan dan mulai menghitung. Kemudian, dia menyebut aneka makanan seperti ayam kremes, martabak manis, gulai kepala ikan, sampai beef rendang.

”Supaya rasanya tetap terjaga, kami juga punya konsultan makanan dari Pasuruan,” ucapnya.

Louh adalah tipikal perempuan yang bersemangat dan lincah. Saat berjualan, dia tidak capek untuk berpindah melayani satu pembeli ke pembeli lain. Bisa berbahasa Tagalog, Inggris, dan Indonesia membuatnya makin atraktif saat berjualan. ’’Oh, Anda orang Indonesia. Coba sate, Pak,’’ ujarnya.

Meski demikian, sama dengan Mariana, masakan yang disajikan aslinya tidak pedas. Tapi, bagi yang suka spicy food, sambalnya selalu disajikan secara terpisah. Saat itu, dia tiba-tiba menghentikan ceritanya karena teringat sesuatu. ’’Kami juga bisa membuat tempe sendiri,’’ katanya, lantas tertawa.

Bukti banyaknya Filipino yang suka makanan Indonesia terlihat dari pesatnya penjualan. Perempuan 57 tahun itu memang tidak menyebut nominal pendapatannya. Namun, dia mengaku sejak beberapa bulan lalu punya tempat permanen untuk berjualan di Kapitolyo, Pasig. ’’Dari Mei tahun ini,’’ katanya. (*/c5/sof)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/