25.2 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

Hidup Segan Mati tak Mau

Kantin Kejujuran Sekolah-sekolah di Medan

KANTIN KEJUJURAN: Kantin  SMAN 1 Medan.//donni/sumut pos
KANTIN KEJUJURAN: Kantin di SMAN 1 Medan.//donni/sumut pos

Tiga tahun terakhir budaya anti korupsi coba ditanamkan kepada para remaja lewat keberadaan Kantin Kejujuran di sekolah-sekolah di Kota Medan. Bahkan sudah ada nota kesepakatan antara Pemerintah Kota Medan, Kejaksaan Negeri, dan Karang Taruna Medan. Namun bak jauh panggang dari api, keberadaan Kantin Kejujuran kini mati suri.

Tepat pukul 12.00 WIB, lonceng berbunyi tanda istirahat di SMAN 1 Medan Tanpa dikomando para siswa berhamburan menuju sebuah lorong. Menuju kantin sekolah tempat sejenak melepas penat pasca aktivitas belajar di kelas. Seperti biasa kantin menyajikan berbagai makanan siap saji maupun nasi untuk mengisi perut. Ada lima kantin yang berada di sudut lorong. Salah satu yang ramai diserbu adalah Kantin Kejujuran.

Memang tak terlihat lagi ada plang nama bertuliskan Kantin Kejujuran. Hanya sebuah pesan di spanduk bertuliskan “Allah Melihat, Malaikat Mencatat” yang menandakan itulah kantin yang dimaksud. Seharusnya di kantin kejujuran siswa dituntut untuk jujur membeli sesuatu tanpa ada yang mengawasi dan menjaga. Namun proses yang terjadi seperti warung biasa. Setiap transaksi harus dilayani penjaga kantin.

Saat ditanya kepada beberapa siswi soal Kantin Kejujuran, mereka serempak menunjuk kantin tersebut.   “Ini kantin kejujurannya bang. Tapi udah macem warung biasa. Kemarin itu sempat waktu pertama kali masuk sekolah. Tapi awal-awalnya saja. Setelah itu belinya seperti biasa,” ujar Justika, siswa XII IPA 4.

Sementara siswi lainnya, Juli menyebut kantin tidak berjalan efektif. Suasana saat istirahat yang ramai dan waktu yang sempit bisa menjadi faktor.  “Ramai sekali. Rusuh. Desak-desakan. Jadi kurang terbiasa dengan cara begini. Apalagi waktu istirahat kan cuma 15 menit,” kata siswa XII IPA 4 ini. Senada, Fiko, Siswa XII IPA 2 berharap kantin kejujuran ini bisa dipertahankan konsepnya. “Dulu waktu kami kelas 1 sudah ada. Kantin kejujuran itu perlu sih. Jadi kami bisa jujur karena timbul keseganan,” katanya.

Namun tidak berjalannya konsep kantin kejujuran ini diakui pengelola kantin, Mino. Ia mengakui kantin kejujuran sekarang menganut sistem warung biasa. “Dulunya begitu. Ambil barang sendiri balik sendiri.

Semuanya uang pecahan disediakan. Tapi aktifnya hanya satu bulan. Berikutnya kembali ke konsep warung biasa. Waktu jam istirahat nggak terkontrol,” katanya. Lantas apakah menimbulkan kerugian bagi pengelola kantin? Mino tak membantah. “Awalnya sih enak bang. Karena kami tidak usah capai-capai lagi melayani. Cukup duduk. Tapi memang merugi. Namanya jualan kan nyari makan,” ungkapnya.

Mino bukannya meragukan kejujuran siswa-siswa SMAN 1 Medan. Namun ketidakbiasaan dan tempat yang sempit tidak memungkinkan. “Kalau jujur yakinnya saya anak-anak sini jujur. Pasti 99 persen adalah jujur. Paling 1 persen yang tidak jujur.Tempatnya sempit. Waktunya juga. Kalau tidak jam istirahat masih bisa terkontrol. Namun kalau jam istirahat semua kemari,” tambahnya.
Sebenarnya di SMAN 1 Medan sendiri ada dua kantin kejujuran.

Namun saat dipantau satu kantin lainnya tutup. Konsepnya juga sama seperti warung satunya. Menanggapi ini pihak sekolah diwakili Humas, Sudirman Sormin membenarkan tidak berjalannya sistem.  “Program pemerintah ini bagus. Tapi anak-anak belum terbiasa. belum terbiasa dengan sistem. Jadi seperti jual beli biasa. Mengubah image siswa pelan-pelan. Namun memang mengubah perilaku tidak bisa sebentar. Minimal menanamkan dari awal,” katanya.

Saat wartawan koran ini memantau sekolah lain kondisinya hampir sama. Seperti SMAN 4 Medan, Kantin kejujuran tak lagi ada. Padahal awalnya program ini serempak dicanangkan di setiap sekolah. Namun kini bagai hidup segan mati tak mau. Fenomena ini sangat disayangkan psikolog, Dra Irna Mirnauli MPsy.

Menurutnya kantin kejujuran harus terus digalakkan terus menerus karena untuk membentuk prilaku jujur tidak bisa dalam waktu singkat. “Sangat disayangkan. Padahal konsepnya bagus. Seperti orang-orang di luar negeri belajar jujur dari hal-hal kecil. Memang tidak bisa instan karena pengasuhan di setiap rumah itu kan berbeda. Harusnya digalakkan terus menerus tidak menyerah begitu saja,” katanya.

Selain itu tak dipungkiri perlunya pengawasan untuk konsep kantin kejujuran ini. “Tidak bisa dilepas begitu saja. Harus ada pengawasan. Seperti disediakannya CCTV di setiap sudut kantin. Dari situ akan nampak siapa yang jujur dan siapa yang tidak. Karena biasanya kita untuk berprilaku baik harus ada yang mengawasi.

Nah di sini perlu disediakan semacam reward untuk siswa-siswa yang jujur. Sedangkan yang tidak jujur bisa berupa denda. Karena kita terlampau over estimated berharap yang bagus-bagus tapi tidak memperhatikan hal-hal lainnya seperti kultur dan budaya,” tambah Dekan Fakultas UMA ini. Irna menyadari untuk mendukung eksistensi kantin kejujuran ini tidak hanya bergantung siswa. Namun juga pengelola kantin yang turut mengkondisikan.

“Mungkin kondisi juga mengarahkannya. Misalnya uang kembaliannya Rp4 ribu namun uang kembaliannya tidak tersedia. Jadi siswa mengambil Rp5 ribu. Jadi harus sesuai yang disediakan. Jadi pihak pengelola harus mendukung penuh,” tandasnya. (*)

Kantin Kejujuran Sekolah-sekolah di Medan

KANTIN KEJUJURAN: Kantin  SMAN 1 Medan.//donni/sumut pos
KANTIN KEJUJURAN: Kantin di SMAN 1 Medan.//donni/sumut pos

Tiga tahun terakhir budaya anti korupsi coba ditanamkan kepada para remaja lewat keberadaan Kantin Kejujuran di sekolah-sekolah di Kota Medan. Bahkan sudah ada nota kesepakatan antara Pemerintah Kota Medan, Kejaksaan Negeri, dan Karang Taruna Medan. Namun bak jauh panggang dari api, keberadaan Kantin Kejujuran kini mati suri.

Tepat pukul 12.00 WIB, lonceng berbunyi tanda istirahat di SMAN 1 Medan Tanpa dikomando para siswa berhamburan menuju sebuah lorong. Menuju kantin sekolah tempat sejenak melepas penat pasca aktivitas belajar di kelas. Seperti biasa kantin menyajikan berbagai makanan siap saji maupun nasi untuk mengisi perut. Ada lima kantin yang berada di sudut lorong. Salah satu yang ramai diserbu adalah Kantin Kejujuran.

Memang tak terlihat lagi ada plang nama bertuliskan Kantin Kejujuran. Hanya sebuah pesan di spanduk bertuliskan “Allah Melihat, Malaikat Mencatat” yang menandakan itulah kantin yang dimaksud. Seharusnya di kantin kejujuran siswa dituntut untuk jujur membeli sesuatu tanpa ada yang mengawasi dan menjaga. Namun proses yang terjadi seperti warung biasa. Setiap transaksi harus dilayani penjaga kantin.

Saat ditanya kepada beberapa siswi soal Kantin Kejujuran, mereka serempak menunjuk kantin tersebut.   “Ini kantin kejujurannya bang. Tapi udah macem warung biasa. Kemarin itu sempat waktu pertama kali masuk sekolah. Tapi awal-awalnya saja. Setelah itu belinya seperti biasa,” ujar Justika, siswa XII IPA 4.

Sementara siswi lainnya, Juli menyebut kantin tidak berjalan efektif. Suasana saat istirahat yang ramai dan waktu yang sempit bisa menjadi faktor.  “Ramai sekali. Rusuh. Desak-desakan. Jadi kurang terbiasa dengan cara begini. Apalagi waktu istirahat kan cuma 15 menit,” kata siswa XII IPA 4 ini. Senada, Fiko, Siswa XII IPA 2 berharap kantin kejujuran ini bisa dipertahankan konsepnya. “Dulu waktu kami kelas 1 sudah ada. Kantin kejujuran itu perlu sih. Jadi kami bisa jujur karena timbul keseganan,” katanya.

Namun tidak berjalannya konsep kantin kejujuran ini diakui pengelola kantin, Mino. Ia mengakui kantin kejujuran sekarang menganut sistem warung biasa. “Dulunya begitu. Ambil barang sendiri balik sendiri.

Semuanya uang pecahan disediakan. Tapi aktifnya hanya satu bulan. Berikutnya kembali ke konsep warung biasa. Waktu jam istirahat nggak terkontrol,” katanya. Lantas apakah menimbulkan kerugian bagi pengelola kantin? Mino tak membantah. “Awalnya sih enak bang. Karena kami tidak usah capai-capai lagi melayani. Cukup duduk. Tapi memang merugi. Namanya jualan kan nyari makan,” ungkapnya.

Mino bukannya meragukan kejujuran siswa-siswa SMAN 1 Medan. Namun ketidakbiasaan dan tempat yang sempit tidak memungkinkan. “Kalau jujur yakinnya saya anak-anak sini jujur. Pasti 99 persen adalah jujur. Paling 1 persen yang tidak jujur.Tempatnya sempit. Waktunya juga. Kalau tidak jam istirahat masih bisa terkontrol. Namun kalau jam istirahat semua kemari,” tambahnya.
Sebenarnya di SMAN 1 Medan sendiri ada dua kantin kejujuran.

Namun saat dipantau satu kantin lainnya tutup. Konsepnya juga sama seperti warung satunya. Menanggapi ini pihak sekolah diwakili Humas, Sudirman Sormin membenarkan tidak berjalannya sistem.  “Program pemerintah ini bagus. Tapi anak-anak belum terbiasa. belum terbiasa dengan sistem. Jadi seperti jual beli biasa. Mengubah image siswa pelan-pelan. Namun memang mengubah perilaku tidak bisa sebentar. Minimal menanamkan dari awal,” katanya.

Saat wartawan koran ini memantau sekolah lain kondisinya hampir sama. Seperti SMAN 4 Medan, Kantin kejujuran tak lagi ada. Padahal awalnya program ini serempak dicanangkan di setiap sekolah. Namun kini bagai hidup segan mati tak mau. Fenomena ini sangat disayangkan psikolog, Dra Irna Mirnauli MPsy.

Menurutnya kantin kejujuran harus terus digalakkan terus menerus karena untuk membentuk prilaku jujur tidak bisa dalam waktu singkat. “Sangat disayangkan. Padahal konsepnya bagus. Seperti orang-orang di luar negeri belajar jujur dari hal-hal kecil. Memang tidak bisa instan karena pengasuhan di setiap rumah itu kan berbeda. Harusnya digalakkan terus menerus tidak menyerah begitu saja,” katanya.

Selain itu tak dipungkiri perlunya pengawasan untuk konsep kantin kejujuran ini. “Tidak bisa dilepas begitu saja. Harus ada pengawasan. Seperti disediakannya CCTV di setiap sudut kantin. Dari situ akan nampak siapa yang jujur dan siapa yang tidak. Karena biasanya kita untuk berprilaku baik harus ada yang mengawasi.

Nah di sini perlu disediakan semacam reward untuk siswa-siswa yang jujur. Sedangkan yang tidak jujur bisa berupa denda. Karena kita terlampau over estimated berharap yang bagus-bagus tapi tidak memperhatikan hal-hal lainnya seperti kultur dan budaya,” tambah Dekan Fakultas UMA ini. Irna menyadari untuk mendukung eksistensi kantin kejujuran ini tidak hanya bergantung siswa. Namun juga pengelola kantin yang turut mengkondisikan.

“Mungkin kondisi juga mengarahkannya. Misalnya uang kembaliannya Rp4 ribu namun uang kembaliannya tidak tersedia. Jadi siswa mengambil Rp5 ribu. Jadi harus sesuai yang disediakan. Jadi pihak pengelola harus mendukung penuh,” tandasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/