Dugaan kuat, ribuan narapidana (napi) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Medan, terlibat penipuan melalui layanan pesan singkat (SMS) dan telepon.
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Erlangga Masdiana mengatakan, para penjahat yang sedang menjalani masa hukuman tetap nekad melakukan tindak kejahatan, lantaran penjara dianggap tempat yang nyaman untuk melakukan aksi pidana.
Erlangga mengatakan, sudah bukan rahasia lagi bahwa para napi yang punya uang banyak bisa menikmati fasilitas enak di dalam penjara. Keinginan untuk bisa menikmati fasilitas enak itu juga mendorong napi untuk mencari uang, antara lain melakukan aksi penipuan.
“Di penjara itu mereka bertemu jaringan dan atau membentuk jaringan. Selama ini yang terjadi adalah mafia peredaran narkoba. Para mafia hidup enak di penjara karena mereka punya uang. Penjara tak membuat jera, tapi malah menjadi rumah kedua para napi,” ujar Erlangga Madiana kepada koran ini kemarin (5/10), saat dimintai tanggapa atas terungkapnya pelaku penipuan lewat telepon yang dikendalikan napi LP Tanjung Gusta.
Modus kejahatan jenis baru yang dikendalikan dari balik terali penjara ini, menurut Erlangga, juga membuktikan bahwa para napi saling belajar. “Mereka saling belajar. Karena napi itu sudah punya potensi melakukan kejahatan lagi, maka proses belajar modus kejahatan yang lain cepat sekali,” kata Erlangga.
Faktor lain yang memicu para napi tetap beraksi di balik jeruji penjara adalah banyaknya waktu luang. Ini juga menunjukkan kegagalan pemerintah melakukan pembinaan kepada para napi. Kalau banyak kegiatan pembinaan, maka waktu para napi tersita untuk kegiatan positif. “Kalau waktunya luang, mereka saling berinteraksi, belajar korupsi dari para koruptor, belajar membunuh kepada napi kasus pembunuhan, dan seterusnya,” katanya.
Ditegaskan Erlangga, dugaan ribuan napi di Tanjung Gusta terlibat sindikat penipuan, juga menunjukkan buruknya upaya penyadaran para napi. “Kalau pembinaan berjalan baik, pastilah mampu membuat para napi dihinggapi rasa bersalah yang tinggi karena telah berbuat jahat. Yang terjadi, malah sebaliknya,” imbuhnya.
Menurut Erlangga, karena pembinaan tak jelas, penjara lebih mirip menjadi tempat pembuangan sampah. “Sampah itu, semakin lama semakin membusuk,” ujarnya membuat perumpamaan. Ini terjadi, kata dia, karena aparat hukum lebih banyak melakukan tindakan pemenjaraan, dibanding upaya-upaya pencegahan. Akibatnya, hampir seluruh penjara over capacity.
“Maling singkong dipenjara, maling ayam dipenjara, pembunuh dipenjara, koruptor juga dipenjara. Semua masuk penjara, sesak, tak dibina dengan baik. Mereka dianggap sampah, akhirnya benar-benar membusuk,” pungkas Erlangga. (sam)